Jakarta (SIB)
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuntaskan permasalahan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Salah satunya, pengadaan satelit untuk mempermudah akses internet di daerah terpencil.
"Membuat jaringan fiber optic dan atau satelit biar memurahkan internet. Internet kita ini mahal sehingga sulit mahasiswa kita menggunakan PJJ," kata ketua Aptisi, Budi Djatmiko dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR, Selasa (14/7).
Selain itu, dia juga meminta adanya pengadaan bantuan sarana prasarana PJJ berupa gawai. Bantuan ini dikhususkan kepada kampus swasta dengan kemampuan finansial rendah.
"Berikan bantuan kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berupa hardware, peralatan yang menunjang PJJ berupa server misalnya, laptop. Serta pembuatan software bahan ajar dosen, terutama PTS kecil yang kurang mampu," lanjutnya.
Menurutnya hal itu dapat dilakukan Kemendikbud dengan mengalokasikan anggaran pendidikan. Bantuan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga diharapkan, utamanya untuk PTS kecil yang mahasiswanya kesulitan dalam PJJ.
"Selama ini bantuan hanya diberikan kepada PTN. Nah ini juga ada suatu ketimpangan. Selama ini CSR BUMN hanya masuk ke PTN. PTS tidak ada. Padahal PTN itu hanya 9 persen dari jumlah PTS," ungkapnya.
TIDAK RELEVAN
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda menilai, pasal 53 dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 51 tahun 2018 sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Sebab di pasal yang membahas soal syarat pembukaan program studi PJJ hanya mengizinkan PJJ di perguruan tinggi terakreditasi A.
"Perlu ditinjau ulang dan dilihat relevansinya, terutama syarat perguruan tinggi terakreditasi A untuk bisa melakukan PJJ," kata Huda.
Menurutnya, Permenristekdikti yang terbit di 2018 itu tidak mempertimbangkan kondisi seperti pandemi Covid-19. Akhirnya banyak perguruan tinggi, utamanya PTS yang kecil tidak siap dengan PJJ.
Lebih lanjut, Permenristekdikti itu bisa menjadi suatu pengecualian untuk jangka pendek di tengah pandemi. Namun, untuk jangka panjang, Komisi X DPR mendorong agar Permenristekdikti itu ditinjau ulang.
"Saya setuju 'permen' itu ditinjau lagi karena tidak relevan dengan masa depan model pendidikan kita, terlebih untuk kampus swasta yang memang rata-rata belum terakreditasi A. Memang harus jujur diakui, kalau permen itu bunyinya masih seperti itu, malah jadi regulasi yang menghambat dalam jangka panjang," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Aptisi menyebut pasal itu bermasalah karena hanya memberikan izin bagi perguruan tinggi yang terakreditasi A yang dapat melakukan PJJ. Sementara, di tengah pandemi Covid-19, seluruh perguruan tinggi diminta untuk melakukan PJJ.
"Jadi ada gagal paham di kementerian, PJJ dijadikan perizinan baru. Dengan kata lain, sekarang semua perguruan tinggi melanggar peraturan," kata Budi Djatmiko dalam RDP tersebut.
Permenristekdikti Nomor 51 Tahun 2018 yakni regulasi tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Pasal 53 ayat 1 aturan itu mengatur tentang syarat pembukaan program studi PJJ.
Ayat 1 huruf a menyebutkan, perguruan tinggi yang mengusulkan pembukaan program studi PJJ telah memiliki program studi dalam bentuk tatap muka dengan nama dan jenjang yang sama.
Ayat 1 huruf b menyebut, program studi dalam bentuk tatap muka sebagaimana dimaksud dalam huruf a memiliki peringkat terakreditasi A atau unggul. (Medcom/CEU/c)