Medan (SIB)
Kelompok-kelompok kebangsaan harus rutin mengedukasi dan mengembangkan literasi agar tumbuh dialog atas keberagaman Indonesia sebagai sebuah bangsa. Hal ini untuk mencegah munculnya generasi yang tumbuh dan mengalami Indonesia. Dengan makna yang berbeda-beda, sempit dan terisolasi.
Keragaman agama, ikatan sosial, dan rasa kebersamaan sebagai bangsa tidak boleh terdegradasi oleh kepentingan politik pragmatis.
Demikian inti sari webinar nasional bertajuk “Gerakan Radikal dan Krisis Identitas di Tengah Masyarakat Indonesia†yang diprakarsai oleh Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) Medan, Rabu (10/9).
Tampil sebagai narasumber, Ketum PGI Pusat Pdt Gomar Gultom, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof H Syahrin Harahap, Ketum Permabudhi Prof Philip K. Wijaya, Pembina Gembala Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rumah Persembahan, Pdt Bambang Jonan dan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny S, Pr. Webinar yang diikuti 65 peserta dari berbagai daerah itu dimoderatori oleh DR AD Handoko SH MH, serta menghadirkan Koordinator KITA KH Maman Imanul Haq sebagai keynote speaker.
Mengawali webinar, Majelis Hikmah KITA Medan, Dr RE Nainggolan MM mengatakan, denyut jantung KITA adalah untuk Indonesia. “Sebuah imajinasi kolektif mesti dihidupkan dan dirawat, senantiasa diperbarui dan dialami bersama-sama. Tujuan webinar ini adalah KITA mengunggah kembali rasa kebangsaan, menghilangkan radikalisme yang sempit untuk mendukung pembangunan yang dilaksanakan Presiden Jokowi karena dia sungguh-sungguh membangun bangsa,†tegasnya.
Kordinator KITA KH Maman Imanul Haq mengingatkan, KITA adalah kerapatan untuk membangun masyarakat madani sebagaimana digaungkan pertama kali pada momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Mengingat historinya yang monumental, kerapatan ini (KITA, Red) juga akan dideklarasikan secara resmi pada 28 Oktober 2020 di Yogyakarta.
Berbicara tentang radikalisme dan krisis kebangsaan, dia menyebutkan, adagium kebangsaan saat ini dikerdilkan dengan konsepsi keagamaan yang puritan dengan pemaknaan yang kelewat berlebihan.
Sementara Pdt Gomar Gultom mengungkapkan, radikalisme tidak hanya monopoli satu agama, melainkan merebak ke seluruh penganut agama di dunia. “Di Eropa seperti kasus Norwegia misalnya, ada kelompok Kristen sayap kanan yang radikal. Di India, ada kelompok Hindu yang radikal, atau juga muncul komunitas Buddha yang radikal seperti di Myanmar,†ujarnya.
Di Indonesia, Gomar menganalisis, gerakan radikalisme merupakan reaksi atas sesuatu, semisal kebijakan negara yang tidak berpihak kepada golongan miskin dan marjinal. Pemerintah dianggap kurang bijak memaknai perlawanan atas mereka yang kerap bersikap radikal. “Pada kasus Papua, misalnya, mereka yang berjuang atas keadilan dicap separatis, atau pada zaman Soeharto, mereka yang berjuang melawan penindasan dicap sebagai komunis. Sehingga muncul kelompok-kelompok yang bekerja di bawah tanah secara radikal atau underground movement,’’ katanya.
Di mata sebagian kelompok, menurut dia, demokrasi atau Pancasila tidak menjanjikan masa depan. Pancasila dianggap hanya slogan kaum kapitalis yang hendak mengeksploitasi situasi yang menguntungkan kelompok mereka.
Dia mengutip hasil riset dari Sidney Jones yang merupakan pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara dan penasihat senior dari International Crisis Group (ICG).
Sidney, menyebutkan hasil riset yang diperolehnya atas kemunculan kaum radikalisme di Indonesia bukan sekadar berkonteks agama melainkan reaksi atas radikalisme yang digerakkan kelompok lain.
“Tapi ada juga realitas di atas teks, yaitu situasi sosial, politik, dan ekonomi. Ketika realitas itu jauh dari yang diharapkan, maka cenderung mencari bunker perlindungan dan pembenaran. Bunker agama salah satunya,’’ tukasnya.
Dia juga menyebutkan sekitar 40 persen dari penduduk Indonesia yang merupakan kategori usia 30-an tahun adalah kelompok tuna Pancasila. Kelompok ini sebagian besar minim hidup dalam keberagaman. “Tuna Pancasila di satu sisi, kemiskinan dan ketimpangan di sisi lain, ditambah negara juga abai, menjadi ruang paling subur bagi berkembangnya ideologi-ideologi alternatif, termasuk ideologi agama yang radikal,’’ katanya.
Selanjutnya, Pdt Bambang Jonan menggarisbawahi bahwa saat agama masuk dalam lingkaran politik, saat itu lah muncul radikalisme dan intoleransi.
Dicontohkannya, di sejumlah negara, seperti Singapura dan AS mulai memikirkan untuk memisahkan agama dari konteks politik.
Sehingga agama dikembalikan ke ruang yang sebenarnya, yaitu hubungan pribadi antara penganutnya dengan Tuhan. "Contoh lain yang saya soroti adalah radikalisme dan intolerasi muncul dari pembangunan rumah-rumah ibadah. Penting sekali tokoh-tokoh kebangsaan seperti Kang Maman (Maman Imanul Haq, Red) dan pemerintah perlu mencarikan solusinya seperti apa,’’ ujarnya.
Adapun Romo Benny, Prof Syahrin Harahap, dan Prof Philip K. Wijaya sependapat bahwa segregasi pendidikan yang ada tidak mendukung proses naratif dalam membentuk identitas Indonesia yang merefleksikan keberagaman, serta mendorong interaksi lintas kelompok. “Saat ini lah perlu kita hidupkan budaya tanding untuk melawan radikalisme. Budaya tanding itu adalah memaknai agama sebagai nilai-nilai humanisme. Mereka yang mencintai agama dan Tuhan-nya adalah mereka yang juga mencintai kemanusiaan, menghargai manusia dengan seluruh perbedaannya,’’ ujar Romo Benny. (Rel/M11/f)