Jakarta (SIB)
UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setelah dipublikasikan, UU Cipta Kerja resmi digugat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Dilihat di situs Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3/11), UU Cipta Kerja digugat KSPI per hari Senin (2/11) pukul 22.45 WIB dengan nomor tanda terima 2045/PAN.MK/XI/2020. "Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945," tulis MK di bagian pokok perkara.
Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSPI Said Iqbal, Sekjen KSPI Ramidi, dan kawan-kawan bertindak sebagai pemohon. "Kami informasikan, bahwa judicial review KSPI sudah didaftarkan ke MK," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyono kepada wartawan.
Sedianya, KSPI akan mengajukan gugatan pagi ini. Tetapi tidak jadi. "Benar. Ternyata sudah didaftarkan," kata Kahar.
Seperti diketahui, Omnibus Law UU Cipta Kerja kini sudah resmi diundangkan. Jumlah halaman final menjadi 1.187 lembar. Dokumen UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diunggah di situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat Negara (JDIH Setneg), diakses detikcom pada Senin (2/11). Jumlah halaman di UU ini adalah 1.187 lembar. Tanda tangan Jokowi ada di halaman 769.
UU Cipta Kerja disahkan Jokowi lewat tanda tangan tertanggal 2 November 2020 atau senin (3/11). Ada pula tanda tangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam salinan ini, ada pula tanda tangan Lydia Silvana Djaman selaku Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Setneg. Jumlah halaman UU Cipta Kerja sempat berubah-ubah meski sudah disahkan via rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Awalnya, berkas digital (soft file) yang terunggah di situs resmi DPR adalah draf RUU Cipta Kerja 1.028 halaman.
ADA SALAH KETIK
Secara terpisah disebutkan, terdapat salah ketik dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pihak Istana pun angkat bicara.
Mensesneg Pratikno mengatakan, awalnya Kemensetneg melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan teknis dari berkas RUU Cipta Kerja dari DPR. Setneg sudah menyampaikan kepada DPR untuk memperbaikinya.
"Setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis. Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya," kata Pratikno kepada wartawan lewat pesan singkat, Selasa (3/11).
Usai dilakukan cleansing dan dipublikasikan, masih terdapat kesalahan di UU Cipta Kerja. Pratikno mengatakan, kekeliruan ini bersifat teknis administratif dan tidak berpengaruh pada impelementasi UU. "Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," ucap Pratikno.
Pratikno menambahkan, kesalahan teknis UU Cipta Kerja menjadi masukan bagi pemerintah. Ia berharap tidak terulang kesalahan serupa ke depannya. "Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.
UU Cipta Kerja dipublikasikan per hari Senin (2/11). Setelah dipublikasikan, masih terdapat sejumlah kesalahan. Apa saja?
Diberitakan sebelumnya, salah ketik dalam UU Cipta Kerja berada di halaman 6 Pasal 6 tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Ditulis bahwa Pasal 6 itu merujuk ke Pasal 5 ayat (1) huruf a. Namun tidak ada 'ayat (1) huruf a' di dalam Pasal 5.
Halaman 6 UU Cipta Kerja Pasal 6 berbunyi:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.
Lalu apa bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf a?
Pasal 5 ayat 1 huruf a tidak ada. Sebab, Pasal 5 adalah pasal berdiri sendiri tanpa ayat. Pasal 5 berbunyi:
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Pasal 757 juga terdapat kesalahan, yaitu:
(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Apa kesalahannya? Ayat (5) di atas seharusnya berbunyi:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.
"Ayat 5 itu harusnya merujuk ayat 4, tapi ditulisnya 3," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.
SUSUN RENCANA
Di dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja merevisi UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Yaitu terkait kewenangan Pemda membuat Peraturan Daerah (Perda) hingga dalam membuat rencana pembangunan di daerah masing-masing.
Sebagaimana dikutip, Selasa (3/11), dalam Pasal 260 ayat 1 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda disebutkan:
Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
Nah, oleh UU Cipta Kerja, ditambahkan syarat harus berpedoman kepada nilai Pancasila. Pasal 260 ayat 1 menjadi berbunyi:
Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berlandaskan pada riset dan inovasi nasional yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
Penyusun UU Cipta Kerja mengakui, dengan penyederhanaan perizinan, pendapatan Pemda akan berkurang. Untuk mengantisipasinya, UU Cipta Kerja membuat Pasal baru, yaitu Pasal 292A yang berbunyi:
Pasal 292A
(1) Dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini menyebabkan berkurangnya pendapatan asli daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran.
(2) Pemberian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Adapun untuk syarat dibentuknya Pemda, juga direvisi. Dalam Pasal 250 UU Pemda, disebutkan:
(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Pasal 250 itu kemudian direvisi oleh UU Cipta Kerja menjadi:
Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. (detikcom/a)