Jakarta (SIB)
PBNU menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk tidak menggunakan politik identitas di Pemilu 2024.
PBNU menilai politik identitas berpotensi memecah keutuhan bangsa.
"Bahwa tetap kita mengajak seluruh komponen bangsa ini supaya tidak menggunakan politik identitas apakah identitas agama, etnis, suku atau misalnya identitas lainnya yang menurut kita, kalau politik identitas itu digunakan akan memecah kerukunan antar umat beragama, kerukunan keutuhan bangsa ini," kata Wasekjen PBNU Sulaiman Tanjung kepada wartawan, Rabu (11/1).
Sulaiman menegaskan kembali pernyataan sikap dari Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). PBNU menyatakan tak ada capres dan cawapres atas nama NU.
"Jadi NU ya menyerukan ke semua lapisan masyarakat supaya, tetap konsisten, jangan bawa-bawa identitas agama, buktinya ketua umum pun baru mengeluarkan pernyataan sikap NU tidak ada capres dan dan cawapres atas nama NU, itu salah satu bukti konkret dari PBNU supaya kita ini konsisten menolak politik identitas itu," imbuh dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf memastikan tidak akan ada Calon Presiden maupun Calon Wakil Presiden yang mengatasnamakan NU pada Pilpres 2024.
Ia mengatakan, demikian karena dalam setiap kontestasi politik, PBNU tak ambil bagian dalam kompetisi namun berada di posisi netral.
"Enggak ada, enggak ada. Pokoknya saya tegaskan bahwa tidak ada calon presiden atau wakil presiden atas nama NU. Tidak ada sama sekali," kata dia di Surabaya, Rabu (11/1).
Menurutnya, NU tidak akan terlibat ke dalam arus perpolitikan pada Pemilu 2024 adalah komitmen dirinya sejak terpilih menjadi Ketum PBNU.
Yahya mengatakan, apabila ada tokoh NU yang ikut dalam ajang Pemilu atau Pilpres 2024, itu adalah kehendak sosok tersebut, bukan kesepakatan dari PBNU.
"Kalau ada tokoh NU yang maju itu berarti atas nama prestasinya sendiri, kinerjanya sendiri," kata dia.
MUI Ingatkan
Terpisah, Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr KH Abdul Moqsith Ghazali mengingatkan akan pentingnya untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Terlebih jelang tahun politik.
"Karena agama ini harus bisa membawa misi kemanusiaan. Bukan hanya politik saja yang bisa mengoyal kebersamaan,” kata Abdul dikutip dalam laman resmi MUI Digital, Kamis (12/1).
Dia menyebut, kerukunan antarumat beragama di Indonesia telah berjalan dengan baik.
Hal ini terlihat dari adanya kesepahaman relasi umat beragama di Indonesia yang menyangkut pada posisi negara Undang-Undang dasar (UUD), dan kesadaran dari tokoh-tokoh lintas agama.
Kiai Moqsith juga menyampaikan terkait refleksi kerukunan umat beragama selama 2022, yaitu pertama, negara Indonesia adalah keputusan bersama.
Sehingga argumen-argumen lain yang menolak UUD tidak bisa ditoleransi lagi.
Kedua, perbedaan antarumat beragama jika itu terkait akidah maka itu tidak bisa ditukar tambah lagi dengan apapun itu.
“Akan tetapi sejauh menyangkut bukan akidah, maka itu bisa ditoleransi kan?” ujarnya.
Walaupun begitu, ia juga menyampaikan beberapa kendala terkait kerukunan umat beragama pada 2022 kemarin. Di antaranya adanya agama-agama yang unik yang tidak toleran, dan tidak moderat.
“Itulah yang menjadi kendala arus komunikasi antarumat lintas agama,” ujar dia.
Kiai Moqsith juga memberikan pengarahan agar kedepannya kerukunan antarumat beragama tetap terjaga, di antaranya: “Bisa dilakukan dengan membangun tafsir agama yang terbuka dan moderat,” katanya.
Oleh karena itu, Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI telah membuat buku saku.
Buku saku tersebut berisi tentang etika berinteraksi dan bagaimana menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain. (Detikcom/CNNI/Okz/a)