Rabu, 16 Oktober 2024

Ketua MPR RI Dukung Penerapan Prinsip Ultimum Remedium untuk Berantas Korupsi

Redaksi - Minggu, 17 Maret 2024 09:32 WIB
245 view
Ketua MPR RI Dukung Penerapan Prinsip Ultimum Remedium untuk Berantas Korupsi
Ist/harianSIB.com
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo
Jakarta (SIB)
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Surya Jaya, Prof Faisal Santiago, Prof Arifin dan Dr Ahmad Redi menjadi penguji Studi Hasil Penelitian (SHP) disertasi Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Sahroni mengangkat tema disertasi tentang 'Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remedium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara'.
Dalam disertasinya, ia menyoroti keberadaan UU Tipikor, KUHAP, maupun KUHP belum memadai dalam mencegah sekaligus memberantas korupsi sehingga perlu didukung penerapan prinsip ultimum remedium berupa pengembalian kerugian negara.
"Penelitian ini dapat mengubah mindset penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dari pendekatan retributif (menghukum dengan ekspektasi menimbulkan deterrent effect) ke pendekatan restoratif (pemulihan kerugian negara) dengan mengupayakan penyelesaian secara menyeluruh berdasarkan prinsip ultimum remedium dengan mengedepankan teori negara kesejahteraan, teori hukum dekonstruksi, dan teori hukum progresif," ujar Bamsoet dalam keterangannya.
Hal ini disampaikannya usai menguji Seminar Hasil Riset disertasi Ahmad Sahroni, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (16/3).
Bamsoet yang juga Dosen Pascasarjana (S3) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Borobudur ini menjelaskan penerapan prinsip ultimum remedium pada pemberantasan korupsi dapat diartikan memberikan kesempatan penyidik untuk menerapkan prosedur hukum administrasi atau hukum perdata terlebih dahulu. Adapun hukum pidana dapat dijadikan sebagai jalan terakhir jika kedua jalur tersebut dianggap tidak mampu mencapai tujuannya.
"Karena itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya pemahaman penyidik mengenai peraturan perundang-undangan administrasi terhadap tindak pidana yang diatur dalam berbagai UU sektoral. Misalnya, sesuai pasal 20 UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, jika ada temuan BPK yang mengindikasikan adanya kerugian negara karena masalah administrasi, maka diberikan waktu selama 60 hari kepada pihak tersebut untuk mengklarifikasi sekaligus mengembalikan kerugian negara, sehingga tidak serta merta langsung proses pidana," jelasnya.
Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2022, terdapat 1.218 perkara korupsi. Jumlah tersebut meliputi perkara yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, dengan total 1.298 terdakwa.
Bamsoet menilai prinsip ultimum remedium dapat diterapkan dalam rangka menekan kerugian negara akibat tindakan korupsi.
"Penerapan ultimum remedium bisa menjadi jalan keluar dalam pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Dari berbagai kajian, pada periode 2011-2015 saja, kerugian akibat korupsi mencapai Rp 203,9 triliun. KPK melaporkan, setidaknya sudah 429 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, serta anggota DPR dan DPRD sebanyak 344 tersangka," pungkas Bamsoet.
Sebagai informasi, turut hadir pada kegiatan tersebut, antara lain, Ko-Promotor Disertasi yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, dan penguji internal Dr. Ahmad Redi. (**)


SHARE:
komentar
beritaTerbaru