Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 13 November 2025

Ironi Prada Lucky: Gugur di Tangan Senior, Bukan di Medan Perang, TNI Didesak Usut Tuntas

Redaksi - Minggu, 10 Agustus 2025 21:19 WIB
35 view
Ironi Prada Lucky: Gugur di Tangan Senior, Bukan di Medan Perang, TNI Didesak Usut Tuntas
Foto ist
Suasana duka keluarga korban.
Jakarta (harianSIB.com)

Sebuah ironi menyelimuti Tentara Nasional Indonesia (TNI). Prajurit Dua (Prada) Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit muda berusia 23 tahun, gugur bukan karena peluru musuh di medan perang, melainkan diduga tewas setelah dianiaya secara brutal oleh para seniornya di Batalyon Infanteri 834/Waka Nga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Kasus ini memicu amarah publik dan seruan keras agar TNI melakukan evaluasi total terhadap sistem pembinaan prajuritnya.

Peristiwa tragis ini terjadi pada akhir Juli 2025. Lucky, yang baru bertugas sejak Juni 2025, diduga disiksa selama berhari-hari oleh sekitar 20 seniornya. Pihak Polisi Militer (PM) telah bergerak cepat dan menetapkan empat prajurit sebagai tersangka, yaitu Pratu AA, Pratu EDA, Pratu PNBS, dan Pratu ARR. Keempatnya kini ditahan di Ende.

"Kami berkomitmen untuk jujur dan transparan dalam menangani kasus ini. Jika terbukti bersalah, siapa pun akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku," ujar Kolonel Infanteri Candra dari Kodam IX/Udayana dalam keterangannya.

Jeritan Seorang Ibu dan Kronologi Penyiksaan

Kisah pilu ini terungkap dari penuturan keluarga. Ibu Lucky, Sepriana, menceritakan percakapan terakhirnya dengan sang anak. "Dia telepon dan bilang, 'Mama, saya disiksa'," ungkap Sepriana dengan suara bergetar.

Saat tiba di rumah sakit, ia mendapati tubuh putranya dalam kondisi yang mengenaskan. "Tubuhnya penuh luka bakar, ada sayatan, dan lebam membiru di sekujur badan," lanjutnya.

Menurut informasi yang dihimpun, penyiksaan diawali dengan tuduhan bahwa Lucky "malas kerja". Ia dicambuk dengan selang hingga babak belur. Lucky sempat melarikan diri ke rumah keluarga angkatnya, namun para senior menjemputnya secara paksa dan membawanya kembali ke markas, di mana siksaan diduga berlanjut.

Keluarga dengan tegas membantah motif "malas kerja" tersebut. Rekan-rekannya mengenal Lucky sebagai sosok pendiam, rendah hati, dan merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Ironisnya, Lucky adalah anak dari seorang prajurit TNI, Serma Kristian Namo, dan butuh delapan kali percobaan untuk bisa mewujudkan cita-citanya menjadi abdi negara.

Fitnah dan Tuntutan Keadilan

Di tengah proses penyidikan, muncul isu yang menambah luka keluarga. Sebuah bocoran laporan internal yang beredar menyebutkan bahwa Lucky diduga "melakukan penyimpangan seksual".

Tuduhan ini memicu kemarahan aktivis. "Orang sudah disiksa sampai mati, sekarang martabatnya coba diinjak-injak dengan fitnah! Ini adalah upaya pembunuhan karakter yang keji," seru Gabriel Goa, seorang aktivis lokal.

Suasana haru dan amarah meledak saat prosesi pemakaman. Ribuan pelayat yang hadir bergemuruh ketika keluarga meneriakkan tuntutan mereka.

"Mereka itu bukan prajurit, mereka preman berseragam! Usut tuntas!" pekik salah satu kerabat. Otniel Fau, kerabat lainnya, menyebut para pelaku sebagai "duri dalam daging TNI". Saking terpukulnya, keluarga besar menyatakan melarang keturunan mereka untuk menjadi anggota TNI di masa depan.

"Tolong, Bapak Presiden, Bapak Panglima TNI, usut kasus ini secara transparan! Nyawa adik saya tidak akan pernah bisa tergantikan," seru Novilda, kakak kandung Lucky.

Desakan Evaluasi Sistemik

Hingga Minggu (10/8/2025), total 24 prajurit telah diperiksa. Hasilnya, empat orang ditetapkan sebagai tersangka utama dan 16 lainnya berstatus sebagai saksi. Kasus ini mendapat sorotan tajam dari parlemen. Anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh, mendesak Panglima TNI untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan dan pengawasan di tubuh TNI.

"Kekerasan senior terhadap junior adalah penyakit lama yang harus diberantas sampai ke akarnya. TNI harus membuktikan ketegasannya tanpa pandang bulu. Jangan sampai ada kesan melindungi pelaku," tegas Oleh.

Gugurnya Prada Lucky bukan sekadar catatan kriminal, melainkan cermin kegagalan sistem yang membiarkan kekerasan dinormalisasi di balik dinding barak. Publik kini menanti apakah keadilan akan benar-benar ditegakkan dan apakah tragedi ini akan menjadi titik balik reformasi di tubuh TNI.(**)

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru