Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 12 November 2025
Sinyal Buruk Perekonomian Nasional

Pinjol Bengkak Hingga Rp 90,99 T

Redaksi - Rabu, 12 November 2025 13:56 WIB
141 view
Pinjol Bengkak Hingga Rp 90,99 T
Ist/SNN
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira.

Jakarta(harianSIB.com)

Utang masyarakat di layanan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) yang terus membengkak hingga Rp 90,99 triliun peer September 2025, merupakan sinyal buruk untuk perekonomian nasional. Sebab kondisi ini menunjukkan banyaknya warga RI yang sudah tak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

"Bukan sinyal pinjaman untuk menggerakkan sisi produktivitas ekonomi, tapi lebih ke survival mode atau bertahan hidup," kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, Selasa (11/11).

Masalahnya, jika kondisi ini terus berlanjut, Bhima mengatakan, daya beli masyarakat yang sudah rendah dapat semakin tergerus karena gaji atau pendapatan mereka habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pinjol.

Belum lagi jika ternyata mereka terjebak dalam siklus utang ke utang, di mana untuk bisa membayar utang sebelumnya mereka perlu menambah utang di pinjol lain. Alhasil jarak kemampuan ekonomi antara mereka yang terpaksa berutang di pinjol dengan mereka yang tidak akan semakin lebar. "Pendapatan dari gaji atau penghasilan lain akan terkuras buat bayar cicilan dan bunga pinjol," tegasnya.

Baca Juga:
"Ekonomi jauh lebih berat, yang rentan ketagihan pinjol, yang kaya beli emas batangan. Indikator ekonomi sedang hadapi perfect storm. Makin lebar ketimpangan," jelas Bhima lagi.

Jumlah ini tercatat naik hingga 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Secara bulanan, angka itu juga tercatat naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun. Parahnya lagi, pertumbuhan pembiayaan itu juga diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025.

Jumlah wanprestasi ini lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Menunjukkan bagaimana jumlah orang yang gagal bayar utang pinjol semakin bertambah.

Secara umum peningkatan jumlah utang tersebut menunjukkan bagaimana pendapatan masyarakat tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

Masalahnya, menurut Bhima mayoritas utang pinjol digunakan untuk pendanaan konsumtif, sehingga dana tersebut habis begitu saja dan menyisakan bunga yang terus berlipat ganda. Jika tidak diatasi dengan baik, utang-utang ini malah akan menjadi beban yang semakin hari semakin berat.

"Masyarakat makin butuh dana cepat, pinjol jadi jawabannya, dan ini bukan indikator ekonomi yang positif," kata Bhima.

"Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan. Khawatir pinjol yang sifatnya konsumtif akan berakhir menjadi siklus utang ke utang. Untuk tutup tagihan pinjol, akhirnya pinjam ke pinjol lainnya," sambungnya.

Karena sifat utang pinjol yang dominan digunakan untuk keperluan konsumtif inilah, Bhima melihat kenaikan outstanding utang yang kini mencapai Rp 90,99 triliun sebagai sebuah kekhawatiran.

Pada akhirnya, daya beli masyarakat yang sudah rendah hingga memaksa mereka untuk berutang akan semakin turun imbas kehabisan dana karena bayar utang, yang secara jangka panjang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

"Daya beli makin turun, pertumbuhan ekonomi bisa sulit capai di atas 5,5% tahun ini," tegas Bhima.

Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad turut memperingatkan bagaimana peningkatan utang pinjol dapat menggerus daya beli masyarakat karena penghasilan mereka habis hanya untuk bayar cicilan dan bunga. "Mereka akan cenderung konsumtif, bukan produktif. Tentu saja daya belinya turun. Sehingga bisa jadi ketika utang mereka berlebih atau over leverage, itu akhirnya menyebabkan gagal bayar massal. Nah itu yang dikhawatirkan bagi rumah tangga tersebut," jelasnya.

Lebih lanjut, Tauhid mengatakan, secara makro tingginya utang masyarakat di pinjol ini dapat menyebabkan distorsi keuangan. Di mana karena kemudahan saat meminjam dana serta persyaratan yang lebih ringan, banyak orang malah akan lari ke pinjaman konsumtif berbunga tinggi.

Sebab untuk mengajukan pinjaman dengan bunga yang lebih terjangkau seperti di bank mereka sudah tak memenuhi syarat imbas kepemilikan utang pinjol tadi. Masalahnya, jika kondisi ini terus berlanjut, baik dari sisi peminjam maupun pemberi pinjaman akan menghadapi risiko gagal bayar utang yang semakin tinggi. "Nah itu akan membuat stabilitas sistem keuangan juga berisiko tinggi. Apalagi kalau nilai pinjamannya di atas Rp 90 triliun ya ini yang tercatat dan tidak ada agunan, tidak ada jaminan dan sebagainya otomatis itu meningkatkan risiko gagal bayar jauh lebih besar," terangnya.

"Nah sehingga bukan ke investasi yang produktif. Kan kalau orang pinjamnya ke produktif itu akan baik buat perekonomian. Tapi kalau kelamaan buat konsumtif ya bisa buat ekonomi nggak berkembang," jelas Tauhid lagi.(**)

Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
beritaTerkait
Buruh Bangunan di Tebingtinggi Keluhkan Hidup Sulit, Proyek Infrastruktur Belum Juga Jalan
Masyarakat Bergaji Rendah Lebih Banyak Gunakan Gajinya untuk Judol
Antisipasi Judol Dan Pinjol, HP Personil Mendadak Diperiksa
Ribuan Pengaduan Pinjol dan Investasi Ilegal Masuk ke OJK
Cegah Pinjol Ilegal, Bank Mestika Edukasi Mahasiswa Kisaran
PPATK Ungkap 3,8 Juta Penjudi Online 2024 Terlibat Utang
komentar
beritaTerbaru