Pengamat sosial politik yang juga akademisi USU Wara Sinuhaji menyebut munculnya nama Bupati Taput Nikson Nababan sebagai salah satu bakal calon Gubernur Sumut sebagai sebuah alternatif di tengah persaingan 3 nama besar yang sudah muncul yakni, Edy Rahmayadi, Bobby Nasution dan Musa Rajekshah.
Wara bahkan tegas menilai peluang Nikson Nababan sama besarnya dengan petahana Edy Rahmayadi, mantan Wagub Sumut yang saat ini menjadi anggota DPR RI terpilih Musa Rajekshah dan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang merupakan menantu Presiden RI.
"Saya melihat Sumatera Utara ini penduduknya heterogen dan sangat toleran. Artinya, jika sosok Nikson Nababan yang berhasil membangun Tapanuli Utara selama 10 tahun, dengan inovasi dan visinya, tentu itu menjadi prestasi dan kebanggaan Sumatera Utara juga.
Sebab, meski yang merasakan kemajuan pembangunan itu masyarakat yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara, tetapi masyarakat di kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Sumut ikut mengakui prestasi dan rekam jejak Nikson Nababan tersebut," kata Wara Sinuhaji kepada wartawan, Jumat (15/3/2024).
Wara menyebut dirinya tidak sependapat jika politik identitas akan menjadi ganjalan utama bagi Nikson Nababan jika kelak ikut berkontestasi di Pilgub Sumut 2024. Alasannya, dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara tidak sedikit sosok minoritas yang menjadi pemimpin di tingkat nasional, baik di era Orde Lama, Orde Baru dan era reformasi.
"Masyarakat kita sudah terbiasa hidup dalam perbedaan dan itu dianggap sebagai kekayaan. Siapa saja sangat bisa menjadi pemimpin di Sumut ini sepanjang ia dipercaya rakyat bisa memimpin dan memajukan Sumatera Utara," tegasnya.
Disebutnya, jika keberhasilan pembangunan yang dilakukan Nikson Nababan dengan berbagi inovasi dan visinya selama memimpin Taput 10 tahun, dieksploitasi maka bisa memunculkan keyakinan masyarakat Sumut kepadanya.
Ia mencontohkan visi Nikson yang memerdekakan desa, meningkatkan performa RSUD Tarutung, Perda Pengakuan dan Perlindungan Hutan Masyarakat Adat, modernisasi pertanian, peningkatan mutu pendidikan dan lainnya adalah sebuah bukti dirinya telah menghadirkan pemerintah di tengah masyarakat.
"Memang jika kita cermati, kebijakan yang dijalankan Nikson Nababan sangat pro rakyat atau sangat sejalan dengan konsep nawacita yang digaungkan PDIP. Tentu masyarakat Sumatera Utara lainnya yang bukan penduduk Kabupaten Tapanuli Utara akan merasa tertarik juga dengan sosok serta rekam jejak Nikson Nababan," paparnya.
Wara tidak memungkiri jika dalam kontestasi pilkada akan selalu muncul isu politik identitas. Namun, ia menegaskan isu tersebut bukanlah datang dari masyarakat tetapi digaungkan oleh elit politik untuk kepentingan tertentu.
Hal tersebut menurutnya hal yang wajar dalam sebuah kontestasi untuk menjatuhkan lawan dan menguntungkan kelompoknya. Ia juga yakin isu tersebut akan dimunculkan jika kemudian benar Nikson Nababan menjadi peserta Cagubsu.
"Tetapi itu bisa diantisipasi oleh tim Nikson Nababan dengan mengeksploitasi nasionalisme yang ditunjukkan selama memimpin Taput, serta dengan menempatkan tokoh-tokoh agama berkhrisma di dalam timnya.
Jika itu dilakukan maka isu politik identitas tidak bisa jalan di Pilgubsu 2024," tegasnya.
Ia memaparkan situasi Pilgubsu 2024 akan sangat jauh berbeda dengan Pilgubsu 2019. Pada 2019, Pilgubsu masih diwarnai imbas dari Pemilihan Gubernur DKI yang ditengarai bernuansa politik identitas. Saat itu , kata Wara, calon PDIP Djarot Sihar terimbas isu tersebut sehingga menjadi salah satu faktor penyebab kekalahannya.
Situasi berbeda akan terjadi di Pilgubsu kali ini, karena masyarakat tidak akan tertarik lagi dengan isu politik identitas dan lebih tertarik dengan prestasi, nilai tawar dan kemampuan meyakinkan siapa calon yang paling masuk akal bus memajukan Provinsi Sumatera Utara. (*)