Kekayaan materi membawa seribu satu cerita dalam kehidupan manusia. Memperbanyak kekayaan sering sekali menjadi tujuan hidup tanpa memperdulikan norma sosial sehingga tak heran merampok dan korupsi menjadi sesuatu yang umum terlihat di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan kekayaan materi yang berlimpah. Lebih jauh, keluarga dekat bahkan saudara kandung saling menyakiti karena memperebutkan kekayaan.
Seharusnya seseorang tidak melekat pada kekayaan materi. Dalam Anguttara Nikaya diceritakan Ugga, perdana menteri yang menjadi abdi Raja Migara, memuji-muji kekayaan materi yang dimiliki raja di hadapan Buddha. Kepada Ugga, Sang Buddha menjelaskan bahwa kekayaan materi yang dimiliki oleh Raja Migara bukanlah kekayaan sejat. Kekayaan materi tersebut dapat musnah karena terbakar, kebanjiran, disita pemerintah, dirampok, direbut musuh, dan dihamburkan oleh ahli waris. Seseorang yang tidak dapat melepaskan diri dari kemelekatan pada kekayaan materi akan membawa petaka bagi dirinya karena kehidupan yang dijalaninya akan menjadi penuh derita karena mengejar kekayaan materi ataupun rasa takut dan sedih kehilangan kekayaan materi yang dimilikinya.
Kemelekatan pada kekayaan materi akan menimbulkan penyakit bathin berupa keserakahan, kebencian dan kebodohan bathin. Bathin yang serakah, kikir, penuh kemelekatan akan membuat derita bagi kehidupan ini dan pada kehidupannnya yang akan datang. Kemelekatan materi menyebabkan seseorang tidak pernah akan merasa puas dan berujung pada ketidakbahagiaan. Lebih jauh, kemelekatan menjadikan seseorang ingin memiliki kekayaan yang bukan hak miliknya sehingga menimbulkan kebodohan bathin dengan mencuri, berbohong ataupun merampas materi yang bukan menjadi hak miliknya.
Penderitaan batin karena kemelekatan pada kekayaan materi dapat dikurangi dengan berlatih mempraktekkan kemurahan hati yang mampu mengobati kekikiran, keserakahan, dan kemelekatan. Dalam Buddhisme, makna memberi yang sebenarnya adalah melepas dari kemelekatan. Kemelekatan merupakan salah satu ikatan mental yang sangat kuat. Dorongan negatif keterikatan membuat kita tidak mudah untuk memberi atau melepaskan sesuatu yang telah dimiliki. Kemelekatan merupakan rantai yang membelenggu kita dalam ikatan penderitaan samsara. Tujuan berdana selain untuk melepas kemelekatan adalah menimbun buah karma baik untuk mencapai ataupun untuk merealisasi nibanna sebagaimana tujuan akhir dari umat Buddha.
Kemurahan hati dalam memberi tidak hanya dalam bentuk materi berupa makanan, baju atau berbagai bentuk barang lain yang dibutuhkan. Namun sebenarnya nasehat dan tutur kata juga dapat digolongkan sebagai kemurahan hari atau disebut dana dalam ajaran Buddha. Bila seseorang memberikan senyum, berbicara dengan kata-kata yang baik ataupun memberikan nasehat kepada orang lain, hal tersebut juga merupakan "dana". Memberi juga berarti memiliki pengertian yang sempurna. Bila kita bersedia memaafkan orang lain yang telah melakukan kesalahan, ini juga berarti kita telah melakukan "dana".
Kemurahan hati (Dana) juga dapat di artikan sebagai tindakan perbuatan luhur berupa berkorban baik materi maupun non-materi. Kemurahan hati (dana) berarti memberi dengan belas kasihan, ikhlas, dan penuh kebijaksanaan kepada orang lain serta tanpa mengharapkan imbalan. Perbuatan ini merupakan salah satu jalan untuk mencapai parami atau pencapaian kesempurnaan. Dana merupakan salah satu dari sepuluh kesempurnaan yang harus dilengkapi dalam proses mencapai penerangan sempurna. Dalam Manggala Sutta, Sang Buddha menjelaskan dana (memberi ) adalah berkah utama dan membawa keselamatan. Akibat dari berdana memberikan hasil berlipat ganda. Dalam pandangan agama Buddha dijelaskan sebagai berikut:
Pitimudaram vindati data
Garavamasmim gacchati loke
Kittimanantam yati ca data
Vissasaniyo hoti ca data
"Pemberi dana mendapatkan kegembiraan dari hasil perbuatannya. Ia akan dihormati oleh orang yang bijaksana. Nama baiknya akan dikenal luas. Ia akan mendapat kepercayaan dari orang lain. Setiap orang akan menilai ia patut dipercaya."
Bagaimana praktik kemurahan hati dapat menjadi berkah utama dari begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh? Untuk menjawab ini , coba kita kaji siapa yang tidak suka diberikan sesuatu/ hadiah. Jangankan hanya dapat mempererat hubungan, setiap orang akan berusaha untuk menjadi teman seorang yang murah hati dan senang membantu. Seorang yang murah hati bukan hanya disenangi, tapi juga pasti dikagumi banyak orang, tentu saja termasuk oleh para bijaksana. Para bijaksana adalah orang yang tahu benar dan salah ataupun membedakan baik dan buruk. Para bijaksana tentunya lebih memilih bekerjasama dengan yang baik juga.
Sifat murah hati bertolak belakang dengan sifat kikir, serakah, dan mudah marah/benci. Sehingga bila praktik berdana ini dikembangkan dan menjadi sebuah kebiasaan, praktik ini akan dapat menaklukkan kekikiran, keserakahan, dan kebencian. Di sini terlihat jelas bahwa praktik berdana dapat mendatangkan banyak manfaat dan menjadi salah satu berkah utama sebagaimana disebut dalam Manggala Sutta.
(r)