"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa", (QS Al-Baqarah: 183)
Menurut ahli sejarah, ayat yang memerintahkan puasa di atas turun pada bulan Sya'ban tahun ke 2 Hijriyah. Sebelum diwajibkan puasa Ramadan, Rasulullah dan para sahabat telah biasa mengerjakan puasa tiga hari dalam sebulan (Ayyamil Bidh) dan juga berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Setelah puasa Ramadan ditetapkan sebagai kewajiban, maka puasa-puasa sebelumnya menjadi puasa sunnah saja.
Pada ayat yang mewajibkan ibadah puasa kepada orang beriman yakni QS Al-Baqarah : 183, setidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan. Salah satunya adalah bahwa puasa juga diwajibkan oleh umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Syeikh Mahmud Syaltut dalam Al-Islam Aqidah wa Syariah menjelaskan bahwa puasa sesungguhnya merupakan sebuah ibadah lama yang diwajibkan pada umat terdahulu. Mereka pun meyakini bahwa puasa ialah salah satu jalan untuk berhubungan dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta cara untuk mendidik jiwa dan melatih jasmani.
Selain itu, puasa pada kepercayaan umat terdahulu mengandung berbagai maksud antara lain, 1) untuk menarik perhatian orang yang diinginkan, 2) menunggu datangnya masa menikmati makanan suci, agar makanan itu berkah, 3) manifestasi ikut berduka cita atau berkabung atas kematian seseorang, 4) untuk mencapai cita-cita, 5) untuk membersihkan ruh agar ruh nenek moyangnya mau berhubungan dengannya dan sebagainya.
Syeikh Ahmad Al-Jarjawi menyebutkan bahwa agama budaya (non agama samawi) juga melakukan puasa. Misalnya, bangsa Yunani berpuasa pra pesta rahasia Alusis, karena ingin memperoleh rahasia Tuhan, atau mereka berpuasa sebelum terjun ke gua Trovunius. Bangsa Mesir kuno berpuasa untuk memuliakan Tuhan kesuburan. Bangsa Romawi berpuasa setahun penuh untuk memuliakan Siris. Demikian pula dengan agama Yogi, Budhha serta beragam agama dahulu semua berpuasa dengan berbagai cara.
Dalam perjanjian lama, ada beberapa puasa yang tercatat yakni puasa Musa, Daud, Elia, Ester Ayub, Daniel, Yunus, Niniwe. Sedangkan dalam perjanjian baru, tercatat beberapa puasa yakni puasa Yesus, Yohanes, Paulus dan Jemaat mula-mula. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan salah satu ibadah tertua serta ibadah kemanusiaan.
Puasa Ramadan yang disyariatkan Allah pada umat Islam juga sejatinya ialah puasa yang bernuansa toleran dan lebih memudahkan ketimbang syariat puasa umat terdahulu. Dalam bahasa Arab kata toleransi diartikan sebagai Tasamuh. Para pakar leksikograf Arab mengartikan sebagai berlaku lembut dan mempermudah. Imam Ibnu Hajar mendefenisikan kata al-samhah dengan pengertian kemudahan yaitu sesuatu yang berlandaskan kemudahan.
Hal ini dapat dilihat bahwa manusia diperbolehkan tidak berpuasa, boleh makan dan minum sebagaimana biasa manusia itu Non-muslim, Sakit, hamil, sedang menyusui, sedang menstruasi, anak-anak, dalam keadaan uzur, musafir dan sakit ingatan atau gila. Selain itu, syariat puasa dalam Islam juga tidak siang dan malam tetapi malam hari boleh makan dan minum serta berhubungan suami istri.
Bagi yang tidak berpuasa pun 'hukumannya' cukup ringan yakni membayar fidyah atau menggantinya di hari yang lain. Salah satu yang berat ialah kaffarah akibat melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan yakni memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.
Bentuk hukuman yang sedemikian berat bagi pelaku hubungan intim di siang hari ini hanya berlaku pada bulan Ramadan. Tidak di bulan lainnya. Bentuk kaffaroh ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadan sebab mulianya bulan tersebut. Kafaroh ini hanya berlaku bagi puasa di bulan Ramadan, namun tidak berlaku pada puasa qodho' dan puasa sunnah lainnya. Pendapat ini dianut oleh Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di.
Kembali pada masalah toleransi dalam ibadah berpuasa. Puasa adalah ibadah tertua dalam sejarah kemanusiaan sehingga sesama manusia baik yang puasa maupun tidak berpuasa hendaknya saling menghormati. Tidak perlu meminta hormat pada pihak lainnya. Meminta-minta hormat hanyalah bentuk perilaku tidak terhormat.
Bagi yang berpuasa, tidak perlu meminta dihormati sebab menjalankan perintah Allah sendiri adalah sebuah kehormatan. Puasa adalah ibadah privat kita dengan Tuhan. Dalam sebuah hadist, Nabi bersabda "Puasa itu perisai, jika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah berkata keji dan janganlah berkelahi dan jika seseorang mencelanya atau memusuhinya maka katakanlah "Inni Shoim" (aku sedang berpuasa)." Shoimin adalah orang yang lebih berfokus kepada internal dirinya bukan gangguan eksternal.
Fokus mencari-cari kesalahan yang lain bukan tujuan puasa. Puasa adalah interaksi internal diri terhadap nafsu dan kesalahan-kesalahan serta memperbaiki hubungannya dengan Tuhan dan manusia lain. Bagi yang tidak berpuasa juga mesti menghormati ibadah puasa tanpa diminta. Disebabkan puasa adalah ibadah kemanusiaan, maka nuansa saling memahami dan saling merasakan seyogianya bisa dirasakan oleh sesama manusia.
Penutup
Puasa adalah salah satu ibadah tertua dalam sejarah kemanusiaan. Orang yang berpuasa dan tidak berpuasa haruslah saling menghormati sebagai wujud rasa kemanusiaan. Sikap mengakui kesamaan hak, saling tenggang rasa dan tidak semena-mena ialah sikap yang harus dikembangkan. Wallahua'lam. (q)