Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 02 November 2025
Cerpen

Lengkung Bibir Mama

Karya : Fika Wandayani Simbolon - SMAN 2 Rantau Selatan
Redaksi - Minggu, 07 Juni 2020 21:40 WIB
404 view
Lengkung Bibir Mama
tempo.co
Ilustrasi
Miranda duduk diam sendiri di antara keriuhan kawan-kawannya. Ada Angel, Tika, Sinta, Desi dan termasuk Nina. Di pikirannya berkelibat wajah papanya, senyum mamanya.

Kemarin papa sempat menyuapkan telur rebus bebek asin. Warna kulitnya hijau pudar. Papa bilang, telurnya lebih enak ketimbang yang cangkangnya putih. Benar apa tidak, Miranda tak pernah mencari tahu. Yang pasti, karena disuapkan papa, terasa lebih enak.

Sebelum tidur, papa masih mengingatkannya untuk mencuci kaki dan membasuh wajah. Bahkan papa berkenan mengantar Miranda ke kamar. Mama? Ia hanya berteriak dari kamar.

“Jangan telat bangun,” ingatnya. “Besok banyak kegiatan kan. Kalau tak mampu, tak usah diikuti ya!”

“Siap bos!”

Papa membelai rambut Miranda dengan manja. Menggendong sampai ke tempat tidur, Miranda terbangun ketika papanya sudah pergi dan mamanya bekerja.

Rumah sudah sepi. Yang ada cuma adik dan kakaknya. Aduh, mama dan papa cepat sekali berangkat. Miranda pun bergegas mandi dan sarapan.

Di meja tersedia sarapan. Ada nasi goreng, telur dadar dan mata sapi. Miranda bertanya-tanya dalam hati. Buatan mama atau papa? Ketika dimakannya, ini pasti buatan papa. Soalnya lebih manis.

Papa sih tak suka terlalu banyak garam. Mungkin tertular ke wajahnya, yang tak pernah cemberut. Tak pernah marah. Kalau mama? Ah, tiada hari tanpa ngerepet.

Miranda terkesiap ketika kawan-kawannya berteriak karena bel berbunyi. Pelajaran les terakhir, Ilmu Budaya. Gurunya cakep.
Ada kumis tipis di atas bibirnya yang merah. Bibirnya berukir, seperti punya mama. Kawan-kawan di kelas bilang, bibir Guru Ilmu Budaya seperti bibir Miranda tapi ia menolak. Tak mau disama-samakan dengan orang lain.

Tapi ada benarnya. Bibirnya merah, seperti bibir mama. Mama perempuan, Guru Ilmu Budaya..
.
Pluk! Ada gumpalan kertas yang diarahkan ke Miranda dan membuatnya terkejut. Seisi kelas pun tertawa karena Miranda berteriak.
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Guru Ilmu Budaya. Miranda diam saja sambil menggosok bibirnya.

Rekannya di kelas menyebut satu aplikasi sosial media tapi ia diam saja. Miranda lebih menikmati teguran gurunya yang lembut itu. Seperti gaya papanya, yang kalem. Penuh kebapakan. Tiba-tiba ia ingat ke papanya.

Pergi pagi, pulang malam. Tapi kok gak kaya? Beda dengan orangtua rekannya, kerja singkat tapi mewah. Mama juga. Ikut kerja tapi tak kaya. Di lain hal, mama kawan-kawan, di rumah saja. Mengurusi keluarga tapi kaya.

Guru Ilmu Budaya memanggil Miranda. Bicara dari hati ke hati. Ia menasihati, banyak-banyak berdoa untuk orangtua, untuk diri
sendiri dan keluarga. Yang paling diingatnya, papa-mama Miranda bekerja bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk anaknya.

Sejak saat itu, Miranda jadi lebih dekat dengan Guru Ilmu Budaya. Ia bahkan selalu menyingkir sendiri dari kawan-kawan. Posisi itu membuat rekannya bertanya.

“Jangan-jangan sudah falling in love,” tebak Angel. Ia memang paling heboh. Soalnya, ia pun suka pada guru tampan yang atletis itu.
Pendapat pun terbelah. Tika, Sinta, Desi dan Nina berkesimpulan, jika ada rasa istimewa, ya biarlah... Tapi Angel marah. Ia tak setuju guru pacaran sama murid.

Pendapat-pendapat makin menyudutkan Miranda. Akhirnya ia tahu bahwa kawan-kawan memosisikannya menjadi obyek gunjingan. Saking kesal, ia menangis di pojok kelas.

Ada yang simpati tapi Angel justru menuduhnya buaya. Menangis kok di tengah hujan. Miranda mencoba sabar tapi terus saja suara-suara sumbang didengarnya.
Ia memang mengaku ada rasa dengan Guru Ilmu Budaya tapi belum ada hal-hal aneh dilakukannya. Lalu, apakah salah menyukai seorang guru?

Merasa tertekan, Miranda cerita pada Guru Ilmu Budaya. Ketika air matanya menitik, lelaki tampan itu menghapus dengan lembut dan mencium ujung kepala muridnya.

“Saya menyayangi semua murid-murid. Soal ada rasa istimewa, itu peristiwa lain. Yang pasti... Miranda harus kuat,” bisiknya di ruang guru, ketika tak ada orang lain di situ.

“Tapi...”

“Saya berterima kasih jika kamu ada rasa lain... Itu nanti dapat dipanjangkan...”

Miranda terkesiap. Berarti... gak salah menyenangi guru yang lengkung bibirnya segambar dengan mama. (p)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru