Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 03 November 2025

Empati Lewat Plasma Konvalesen

Redaksi - Jumat, 22 Januari 2021 10:04 WIB
369 view
Empati Lewat Plasma Konvalesen
Foto: Pixabay/Ahmad Ardity
Ilustrasi donor plasma konvalesen di Bondowoso 
Di tengah vaksinasi nasional, saat ini ramai diperbincangkan juga tentang donor plasma konvalesen yang diklaim bisa mengobati Covid-19.

Plasma konvalesen semakin ramai dibahas karena pada Senin, 18 Januari kemarin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan donor plasma.

Menyusul itu, seorang warga Sumut, Marangkup Manullang menawarkan plasma konvalesen dalam tubuhnya bagi siapa saja yang membutuhkan. Penawaran plasma darah yang mengandung antibodi tersebut, menurut pejabat BPN Deliserdang itu, untuk membantu pasien Covid-19 melawan virus corona.

Dikutip dari situs resmi Kementerian kesehatan, terapi donor plasma konvalesen sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/346/2020.

Terapi donor plasma konvalesen dilakukan melalui induksi imunitas pasif secara artifisial. Hal ini dilakukan melalui transfer plasma darah pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 terhadap pasien yang masih tertular pandemi.

Sebenarnya plasma konvalesen sudah dikenal sejak lama sebagai sebuah metode terapi. Terapi plasma konvalesen berpijak pada pemahaman bahwa seorang penyintas infeksi, setelah sembuh akan membentuk antibodi dalam tubuhnya. Dan persyaratan donor darah plasma konvalesen hampir sama dengan donor darah biasa.

Terapi plasma konvalesen dalam hal Covid-19, acuannya adalah penyintas penyakit itu diharapkan sudah membentuk antibodi. Plasma penyintas Covid-19 itu kemudian diberikan kepada orang lain yang sedang menghadapi infeksi virus corona. Antibodi yang diberikan melalui plasma tadi diharapkan membantu untuk melawan infeksi yang sedang berjalan.

Masalahnya, apakah semua mantan penderita Covid-19 mau mendonorkan darahnya untuk pasien terpapar? Hingga saat ini sepertinya belum banyak kabar tentang donor darah plasma konvalesen itu. Kita belum tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena kurang sosialisasi atau rasa empati yang kurang dari masyarakat yang sudah sembuh dari Covid-19.

Kasus terpapar Covid-19 terus meningkat setiap hari di Indonesia, dan lebih banyak pasien sembuh daripada yang meninggal dunia. Artinya potensi untuk mendapatkan darah plasma sudah sangat banyak dan bisa membantu orang lain yang masih membutuhkan.

Bila pedonor yang sudah benar-benar sehat mau mendonorkan darahnya, tentu akan menimbulkan efek sangat baik bagi pasien yang lagi menderita untuk bisa disembuhkan. Dalam hal ini harus ada sosialisasi atau pemberian pemahaman oleh tenaga medis kepada pasiennya yang sudah sembuh. Sosialisasi hendaknya dilakukan dengan gencar oleh pemerintah (Satgas Covid) atau lembaga lainnya seperti Palang Merah Indonesia (PMI). Sehingga masyarakat (pasien dan keluarganya) paham betul dengan donor plasma konvalesen ini.

Pada dasarnya semua manusia memiliki rasa empati. Cuma kadarnya saja berbeda, karena banyak faktor penyebabnya. Apalagi ketika seseorang sudah pernah mengalami kondisi sangat buruk, bahkan kritis, karena Covid-19. Normalnya tentu dia akan memiliki empati sangat tinggi supaya orang lain tidak sakit seperti dia.

Lihat saja Airlangga Hartarto atau Marangkup Manullang, dengan kesadaran yang sangat tinggi mereka berempati terhadap sesama. Mereka tidak ingin orang lain sakit seperti dirinya.

Masyarakat harus belajar dari pengalaman mereka dan keduanya layak mendapat penghargaan kemanusiaan yang dengan sukarela menawarkan yang ada di dirinya untuk orang lain. Memang kita tidak harus merasakan sakitnya seperti yang dialami Marangkup Manullang, tetapi sikap baiknya perlu ditransfer kepada semua orang.

Coba bayangkan bagaimana dia dalam posisi ‘tidur’ didatangi orang-orang yang sudah meninggal dunia yang akan membawanya bersama ke pangkuan Tuhan. Sehingga dokter yang merawatnya memastikan, kesembuhan Manullang yang selama 3 pekan di ICU sebagai mujizat. Karena pasien dengan kondisi seperti posisi dia, seluruhnya tak terselamatkan.

Bersama sang istri, Marangkup Manullang kini memberi waktu semaksimal mungkin pada warga pasien yang membutuhkan untuk melawan virus mematikan tersebut.

Pengalaman Marangkup Manulang harus bisa dijadikan contoh agar masyarakat tidak hanya berempati, tetapi juga harus benar-benar menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19. Penyampaian yang dilakukannya secara terbuka juga menjadi contoh bahwa terpapar Covid bukan sebuah aib yang harus disimpan rapat. Tetapi upaya menyelamatkan manusia agar tidak menderita seperti dia, apalagi sampai kehilangan nyawa.

Bukan penyakit atau virus sebagai pembunuh nomor satu, tetapi ketika rasa empati sudah tak ada lagi, merupakan pembunuh paling keji. (***)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru