Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 03 November 2025

Menguji Independensi Media

- Kamis, 20 Maret 2014 10:17 WIB
757 view
 Menguji Independensi Media
MEDIA jadi perbincangan publik saat Pemilu mendekati final (9 April 2014). Apalagi pada masa kampanye ini media banyak disorot karena ada saja media yang berafiliasi ke beberapa parpol saja. Saat ini ada pemilik media yang juga pengurus, bahkan ketua umum partai politik. KPI pun sudah beberapa kali meminta supaya semua media independen agar kualitas pemilu 2014 terjaga dengan baik.

Keterlibatan beberapa pemilik media dalam dunia politik memang tidak bisa disalahkan dengan alasan tidak ada peraturan yang mengatur keterlibatan pemilik media dalam politik. Tidak ada aturan atau UU Pemilu yang melarang keterlibatan pemilik media dalam dunia politik seringkali menjadi penguat supaya mereka mau terlibat dalam politik praktis justru melahirkan masalah baru. Ini tentu jadi alasan mengapa para pemilik media mau terjun dalam dunia politik yang sarat dengan dinamika. Sementara tidak bisa  dipungkiri para pekerja di media akan takut kepada pimpinannya atau pemilik media (pemodal) karena profesinya sangat tergantung kepada si empunya media.

Lihat saja saat ini iklan beberapa parpol  durasinya sangat tinggi. Bahkan pemberitaan parpol tidak berimbang dengan partai yang tidak punya media. Ini harus jadi pembelajaran berharga bagi bangsa ini agar kedepannya bisa mengatur hal seperti ini. Bahkan sebelum kampanye resmi pun dibuat sudah ada pasangan Capres dan Cawapres yang secara terang-terangan mengiklankan dirinya sebagai capres.

Sementara kampanye Capres belum dimulai tetapi sudah ada beberapa capres yang jor-joran kampanye di Televisi. Bahkan pencalonan Capres dan Cawapres sebagaimana yang diatur dalam UU Pilpres masih menunggu hasil dari pemilu legislatif (pileg). Setelah pileg selesai maka capres dan cawapres bisa dilihat sejauh mana parpol mampu meraih suara untuk tiakt sebagai capres.

Keberpihakan media pada beberapa Capres dan Parpol tidak bisa kita pungkiri karena pemiliknya terlibat dalam parpol tertentu. Etiskah pemilik media terjun dalam dunia politik sementara dia mempergunakan frekuensi publik? Masalah etis dan tidak etis seringkali perdebatan bagi kita. Kalau kita mau jujur keterlibatan media dalam setiap event politik, apalagi sebesar pemilu 2014 seharusnya netral.

Media juga milik publik karena publik lah yang menghidupi media. Mulai dari membeli siaran, membeli koran, sampai melakukan iklan sebagai  pemasukan bagi media. Berarti, media harus adil dalam melakukan pemberitaan dan berimbang agar media bisa jadi kekuatan demokrasi yang keempat yang sesungguhnya (the four estate).

Menjelang pemilu 2014 ini berbagai iklan media makin gesit kita lihat di televisi. KPI sebagai regulator mengenai masalah pengaturan iklan kampanye harus mampu menegur media yang melakukan kesalahan. Kita menginginkan pemilu 2014 menghasilkan caleg dan capres yang berkualitas. Tentu peran media sangatlah penting karena media seringkali digunakan sebagai media pencitraan untuk mendongkrak citra seseorang atau parpol secara keseluruhan.

Kita tidak menginginkan pemilu 2014 mengalami kemunduran. Harapan kita bersama pemilu 2014 harus punya kualitas yang bisa menjadi sarana untuk menyeleksi wakil rakyat yang amanah, merakyat, dan punya kemampuan menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya. Dalam rangka inilah media harus memposisikan dirinya sebagai media yang memberitakan kebenaran dan tidak bisa melakukan pemberitaan yang berpihak pada salah satu parpol atau caleg, ataupun capres. Independensi media sangat dibutuhkan dalam rangka mendorong Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang bisa diharapkan masyarakat membentuk DPR dan Presiden yang berkualitas, dan berintegritas. (#)

Simak berita selengkapnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB) edisi 20 Maret 2014. Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap pukul 13.00 WIB.

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru