AS Kebut Pengiriman Senjata untuk Ukraina, Rusia Peringatkan Akibatnya

* NATO: Rusia Kemungkinan Gunakan Senjata Kimia untuk Invasi Ukraina

434 view
AS Kebut Pengiriman Senjata untuk Ukraina, Rusia Peringatkan Akibatnya
Foto:Rtr
KURSUS KILAT: Para pejuang Ukraina mengikuti kursus kilat belajar menggunakan misil anti-tank jenis NLAW dan AT4 buatan Jerman dan Swedia, di Kyiv, Rabu (9/3). Presiden AS, Joe Biden, Sabtu (12/3) waktu setempat mengeluarkan memorandum soal tambahan bantuan untuk Ukraina. Memorandum tersebut dapat mempercepat pengiriman bantuan militer untuk Ukraina, termasuk sistem anti-tank dan anti-pesawat. 

Washington DC (SIB)

Amerika Serikat mempercepat proses pengiriman senjata senilai US$200 juta atau setara Rp2,8 triliun untuk Ukraina di tengah invasi Rusia yang semakin gencar. Seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa Negeri Paman Sam dapat mempercepat pengiriman tersebut setelah Presiden Joe Biden mengeluarkan memorandum soal tambahan bantuan Ukraina pada Sabtu (12/3). "Dana itu dapat mempercepat bantuan militer untuk Ukraina, termasuk sistem anti-tank, anti-pesawat, dan senjata kecil demi mendukung garda terdepan Ukraina," ujar pejabat anonim itu, seperti dilansir dari Reuters, Minggu (13/3).


Dalam memorandum itu, Biden memerintahkan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatur alokasi dana Rp2,8 triliun berlandaskan aturan Undang-Undang Bantuan Asing. Berdasarkan UU tersebut, presiden AS dapat memerintahkan pengiriman aset negara ke pihak asing tanpa melalui persetujuan parlemen.


Dana tersebut dapat dipergunakan membantu memperkuat pertahanan Ukraina, termasuk dengan cara mengirimkan senjata hingga menggelar pelatihan militer. Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri AS masih belum menjawab permintaan konfirmasi Reuters terkait detail penggunaan dana tersebut.


Ukraina memang terus mendesak AS mengirimkan senjata anti-tank Javelin dan rudal Stinger tambahan untuk membantu menembak jatuh pesawat-pesawat Rusia.


Dengan keputusan tersebut, total AS sudah memberikan bantuan US$1,2 miliar atau sekira Rp17,1 triliun untuk pertahanan Ukraina dalam setahun terakhir. AS sedang terus memutar otak untuk mengirimkan bantuan senjata dan alutsista ke Ukraina, terutama setelah Presiden Volodymyr Zelensky berbicara dengan anggota parlemen Negeri Paman Sam akhir pekan lalu. Dalam perbincangan itu, Zelensky mendesak AS segera mengirimkan bantuan jet tempur karena Rusia masih terus menggempur Ukraina.


Namun, masalah pengiriman jet ke Ukraina sangat pelik karena AS harus memikirkan agar tidak memicu konflik langsung dengan Rusia. AS pun terus menggodok sejumlah skenario. Salah satu skenario itu adalah mengirimkan F-16 AS ke negara-negara sekitar Ukraina yang kini sudah menjadi anggota NATO. Setelah itu, negara tersebut mengirimkan jet MiG era Soviet yang dapat dikendarai oleh pilot Ukraina.


Skema itu akhirnya diadopsi Polandia. Polandia menyatakan siap mengirimkan seluruh jet tempur MiG mereka ke pangkalan udara AS di Jerman. Mereka lalu meminta AS mengirimkan jet itu ke Ukraina.


Meski demikian, AS menyatakan bahwa Polandia mengumumkan rencana itu tanpa konsultasi terlebih dulu mengenai detail pengiriman ke Ukraina. AS pun menolak rencana Polandia itu.


Juru bicara Kementerian Pertahanan AS, John Kirby mengatakan, menerbangkan jet dari pangkalan AS di negara NATO ke wilayah udara yang bersinggungan dengan Rusia meningkatkan kekhawatiran serius untuk seluruh aliansi NATO.


Sementara itu, Rusia memperingatkan AS agar tidak mengoordinasikan pengiriman senjata ke Ukraina melalui sekutu-sekutunya. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, mewanti-wanti bahwa jika AS tetap ngotot, konvoi yang membawa senjata itu akan menanggung akibatnya.


"Kami memperingatkan AS bahwa mempersenjatai Ukraina dari negara-negara yang mereka koordinasikan bukan hanya langkah berbahaya, tapi juga membuat konvoi yang berkaitan menjadi target kami," ujar Ryabkov, seperti dilansir CNN, Minggu (13/3).


Senjata Kimia

Di lain pihak, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan Rusia mungkin saja menggunakan senjata kimia untuk melancarkan invasinya ke Ukraina. Dalam wawancara yang dimuat surat kabar Jerman Welt am Sonntag tersebut, Stoltenberg mengkhawatirkan jika benar senjata kimia digunakan, akan terjadi kejahatan perang.


"Dalam beberapa hari terakhir, kami telah mendengar klaim yang tidak masuk akal tentang laboratorium senjata kimia dan biologi," kata Stoltenberg, seraya menambahkan bahwa Kremlin sengaja menciptakan dalih palsu untuk membenarkan apa yang tidak dapat dibenarkan.


"Sekarang setelah klaim palsu ini dibuat, kita harus tetap waspada karena ada kemungkinan bahwa Rusia sendiri dapat merencanakan operasi senjata kimia di bawah kebohongan yang dibuat-buat ini. Itu akan menjadi kejahatan perang," kata Stoltenberg dalam wawancara tersebut, dilansir Reuters, Minggu (13/3). Dia menambahkan bahwa meskipun orang-orang Ukraina melawan invasi Rusia dengan berani, hari-hari ke depan kemungkinan akan membawa kesulitan yang lebih besar jika dugaan tersebut terjadi.


Sebelumnya, Rusia menuduh Ukraina memiliki program senjata biologis yang didanai oleh Amerika Serikat (AS). Rusia pun meminta digelar rapat mendadak Dewan Keamanan PBB pada Jumat (11/3) lalu untuk membahas tudingan tersebut.


Dalam rapat itu, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menuduh Ukraina mengoperasikan jaringan 30 laboratorium yang melakukan 'eksperimen biologis sangat berbahaya' yang bertujuan menyebarkan 'patogen virus' dari kelelawar ke manusia.


Patogen itu, sebut Nebenzia, mencakup wabah, antraks, kolera dan penyakit mematikan lainnya. Klaim dan tuduhan itu disampaikan Nebenzia tanpa menyodorkan bukti kuat yang mendukung.


Klaim Rusia itupun dibantah oleh PBB. Negara-negara Barat bahkan menuduh Rusia melakukan 'kebohongan' dan 'omong kosong'. Negara-negara Barat menuduh Rusia telah menyebarkan teori konspirasi 'liar' dalam forum PBB sebagai dalih awal untuk meluncurkan serangan biologis atau serangan kimia mereka sendiri dalam invasinya ke Ukraina.


Tembaki

Sementara itu, sebanyak tujuh warga sipil, termasuk satu anak-anak, tewas karena ditembaki pasukan Rusia ketika sedang berupaya evakuasi dari Desa Peremoga yang terletak di dekat Ibu Kota Ukraina, Kyiv, pada Jumat (11/3) waktu setempat.


"Akibat tindakan brutal ini, tujuh orang tewas, salah satu di antaranya anak-anak," demikian pernyataan Intelijen Pertahanan Ukraina yang dikutip AFP, Sabtu (12/3).


Mereka menyatakan, Rusia menembaki warga saat sedang evakuasi di jalur aman yang sebenarnya sudah disepakati sebelumnya. Setelah melancarkan serangan itu, tentara Rusia memaksa kelompok warga yang sedang evakuasi untuk kembali ke rumah masing-masing. "Saat ini, nyaris mustahil berkomunikasi dengan mereka, juga memberikan bantuan kemanusiaan dan medis," tulis Intelijen Pertahanan Ukraina.


Peremoga, yang dalam bahasa Ukraina berarti kemenangan, merupakan desa kecil berjarak sekitar 36 kilometer dari Kyiv. Ini bukan kali pertama Rusia menembaki masyarakat Ukraina saat sedang berupaya evakuasi ke tempat lebih aman di tengah perang yang terus berkecamuk.


Awal pekan lalu, setidaknya delapan warga sipil di distrik Irpin yang terletak di Kyiv juga tewas karena ditembaki pasukan Rusia saat sedang berupaya evakuasi demi menghindari pertempuran.


Penembakan itu tetap terjadi meski Rusia sudah menyetujui jalur evakuasi warga Ukraina. Bara perang pun terus menyala di negara pecahan Uni Soviet tersebut.


Hingga kini, PBB melaporkan total 579 warga sipil tewas akibat serangan Rusia, sementara layanan darurat Ukraina mencatat sudah lebih dari 2.000 jiwa melayang. (Rtr/CNNI/detikcom/a)

Penulis
: Redaksi
Sumber
: KORAN SIB
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com