Jakarta (SIB)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menko Polhukam Mahfud Md mereformasi hukum di Indonesia buntut Hakim Agung Sudrajad Dimyati menjadi tersangka kasus dugaan korupsi di KPK. Mahfud memastikan akan berkoordinasi secepatnya untuk melaksanakan perintah Jokowi itu.
"Saya akan segera berkoordinasi untuk merumuskan formula reformasi yang memungkinkan secara konstitusi dan tata hukum kita itu. Presiden sangat serius tentang ini," kata Mahfud dalam keterangannya, Senin (26/9).
Mahfud lantas menjelaskan alasan Jokowi akhirnya memerintahkan jajarannya di eksekutif mengambil sikap terhadap lembaga yudikatif. Dia menyebut keinginan Jokowi itu berangkat dari keprihatinannya terhadap upaya pemerintah memberantas korupsi yang kerap digembosi oleh lembaga peradilan.
"Presiden sangat prihatin dengan peristiwa OTT oleh KPK yang melibatkan hakim agung. Pemerintah sudah berusaha menerobos berbagai blokade di lingkungan pemerintah untuk memberantas mafia hukum, tapi sering gembos di pengadilan," jelas Mahfud.
"Pemerintah sudah bertindak tegas, termasuk mengamputasi bagian tubuhnya sendiri seperti menindak asuransi Jiwasraya, Asabri, Garuda, satelit Kemhan, kementerian, dan lain-lain. Kejaksaan Agung sudah bekerja keras dan berhasil menunjukkan kinerja positifnya. KPK juga cukup lumayan. Tetapi kerap kali usaha-usaha yang bagus itu gembos di MA," lanjut dia.
Mahfud juga mengungkit banyaknya koruptor yang dikorting hukumannya atau bahkan dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Selain itu, kata dia, pemerintah juga tidak bisa berbuat apa-apa lantaran berbeda lembaga dan dalih keputusan hakim tidak bisa dicampuri, tapi di sisi lain muncul kasus yang menimpa hakim.
"Ada koruptor yang dibebaskan, ada koruptor yang dikorting hukumannya dengan diskon besar. Kami tidak bisa masuk ke MA karena beda kamar, kami eksekutif sedang mereka yudikatif. Mereka selalu berdalil bahwa hakim itu merdeka dan tak bisa dicampuri. Eh, tiba-tiba muncul kasus Hakim Agung Sudrajad Dimyati dengan modus perampasan aset koperasi melalui pemailitan. Ini industri hukum yang sudah gila-gilaan," imbuhnya.[br]
Atas dasar itulah, Mahfud menyebut akhirnya Jokowi memerintahkan dirinya melakukan reformasi hukum. Kekecewaan Jokowi itu, kata dia, muncul gegara usaha pemberantasan korupsi justru digembosi oleh lembaga yudikatif.
"Maka Presiden meminta saya sebagai Menko Polhukam untuk mencari formula reformasi di bidang hukum peradilan sesuai dengan instrumen konstitusi dan hukum yang tersedia. Presiden kecewa karena usaha pemberantasan korupsi yang cukup berhasil di lingkungan eksekutif justru kerap kali gembos di lembaga yudikatif dengan tameng hakim itu merdeka dan independen," imbuhnya.
Sebelumnya, Jokowi berbicara mengenai pentingnya reformasi di bidang hukum setelah Hakim Agung Sudrajad Dimyati menjadi tersangka kasus dugaan korupsi di KPK. Jokowi telah memerintahkan Menko Polhukam Mahfud Md mengawal proses reformasi hukum.
"Memang saya melihat ada urgensi yang sangat penting untuk mereformasi bidang hukum kita. Dan itu saya sudah perintahkan kepada Menko Polhukam," kata Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (26/9).
Jokowi mengatakan proses hukum Sudrajad Dimyati saat ini masih berjalan di KPK. Dia meminta semua pihak mengikuti proses hukum hingga selesai.
"Saya kira kita ikuti seluruh proses hukum yang ada di KPK," ujar Jokowi.
Kata KPK
KPK turut menanggapi kekecewaan Jokowi tersebut. Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut KPK telah melakukan upaya pencegahan korupsi selain penindakan pihak-pihak yang koruptif. Menurut Ali, langkah-langkah preventif bakal terus diupayakan KPK untuk mencegah korupsi.
"KPK tentu akan menindaklanjutinya tidak hanya pada aspek penindakannya saja. Namun juga akan melakukan analisis untuk kemudian melakukan langkah-langkah preventif guna mencegah serta edukatif guna memberikan penyadaran kepada masyarakat khususnya stakeholder terkait, sehingga modus korupsi serupa tidak kembali terjadi di masa-masa mendatang," kata Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (27/9).
Ali mengatakan KPK telah melakukan upaya pendekatan preventif lewat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Dia mengungkap adanya tiga tantangan yang ditemukan KPK dalam upaya penegakan hukum tersebut.
Pertama, Ali mengungkapkan koordinasi antaraparat penegak hukum (APH) tidak berlangsung secara optimal. Khususnya dalam pertukaran informasi dan data lintas penegak hukum.[br]
"Hal ini menjadi sangat relevan terkait dengan titik rawan korupsi pada pengurusan perkara ini. Karena jika data tersebut dapat diakses antar-APH, tentu akan mengurangi potensi risiko korupsi, karena bisa saling mengawasi," ucap Ali.
Kemudian, KPK juga menemukan masih adanya penyelewengan dalam penegakan hukum. Hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) dalam memberikan edukasi pencegahan korupsi kepada pemangku kepentingan.
Ali mengatakan lemahnya independensi, pengawasan dan pengendalian internal juga menjadi salah satu tantangan. Sebab, kata dia, OTT Hakim Agung Sudrajad menjadi salah satu peringatan agar pengawas peradilan dapat bekerja sesuai hukum.
"Adanya tangkap tangan ini kemudian juga menjadi alert bagi institusi pengawas peradilan, untuk memastikan proses-proses peradilan bisa betul-betul mempedomani prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Sehingga penegakan hukum itu sendiri bisa jauh dari praktik-praktik permufakatan jahat dan korupsi," ujarnya.
Menurut Ali, KPK juga mengungkap belum meratanya kualitas keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan layanan publik. Dia berharap penanganan perkara dapat dibuka dan diakses oleh masyarakat.
"Jika proses penanganan suatu perkara dibuka dan dapat diakses oleh publik, hal ini akan sangat membantu pada aspek pengawasannya. Sehingga APH akan terawasi, kemudian meminimalisasi terjadinya penyelewengan," ujarnya.
Ali mengatakan penegakan hukum di Indonesia saat ini masih belum bisa dikatakan adil dan transparan. Contohnya, kata Ali, koordinasi APH dalam penanganan perkara yang masih belum optimal.
"Dari sisi proses penanganan perkara misalnya, koordinasi aparat penegak hukum masih belum optimal, khususnya terkait pertukaran informasi atau data antar aparat penegak hukum," kata Ali.
Adanya tantangan itu, KPK telah melakukan penguatan integritas dengan APH lain. Menurut Ali, integritas APH juga turut menentukan penegakan hukum di Indonesia.
"Integritas Aparat Penegak Hukum menentukan penegakan hukum di Indonesia. Saat ini banyaknya oknum APH yang tidak berintegritas kerapkali melemahkan upaya penegakan hukum dengan praktik suap. Termasuk dalam kegiatan tangkap tangan pengurusan perkara di MA ini," ucapnya.
Kata KY
Komisi Yudisial (KY) juga angkat bicara terkait hal tersebut.
"KY (Komisi Yudisial) sangat memahami concern Presiden karena ini menyangkut kepercayaan publik terhadap lembaga serta proses hukum dan peradilan. Untuk itu, KY memandang ini momentum untuk memperkuat KY sebagai lembaga pengawasan," kata juru bicara KY, Miko Ginting, Selasa (27/9).
Miko menyebut pernyataan presiden dalam hal ini tentu beralasan. Namun hal tersebut terbentur pada pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu, Miko meminta pemerintah memberikan penguatan KY sebagai pengawas agar nantinya hal tersebut bisa dimaksimalkan.
"Concern Presiden tentu beralasan, tetapi akan terbentur dengan pembagian dan pemisahan kekuasaan. Dengan memberikan dukungan penguatan kepada KY, maka KY dapat menjalankan perhatian Presiden sesuai tugas dan kewenangannya yang memang diberikan untuk hal itu," ujarnya.[br]
Lebih lanjut, Miko mengatakan perlu dilakukan penguatan kerjasama pengawasan dalam kasus korupsi antara KY, Mahkamah Agung, hingga KPK. Nantinya hal tersebut akan mengawasi semua hal, termasuk kerawanan terjadinya korupsi.
"Ke depan, memang perlu penguatan kerjasama pengawasan antara KY, MA, KPK, dan lembaga lain. Kerja sama pengawasan ini dimulai dari pembelajaran kasus ini, yaitu identifikasi terhadap titik kerawanan penyimpangan. KY ingin mendorong kerja sama pengawasan itu, sembari di sisi yang lain menegaskan pentingnya penguatan KY sebagai lembaga pengawas," pungkas Miko.
Diawasi Ketat
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman menyinggung perlunya pengawasan ketat ASN di MA.
Habiburokhman awalnya menyinggung sulitnya masuk ke gedung MA. Menurutnya, kondisi MA saat ini berbeda dengan dulu.
"Ya kita lihat saja, tapi sebenarnya kalau Hakim Agung kalau anda sekarang anda coba ke Mahkamah Agung sekarang aja deh nggak gampang loh masuk ke gedung," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/9).
"Mahkamah Agung beda dengan zaman dulu mungkin 15 tahun yang lalu ya banyak pengacara berkeliaran main ke Mahkamah Agung gampang sekali, dari belakang itu ada gerbang tinggal KTP masuk ke dalam, bertemu orang masih gampang, sekarang setengah mati pasti nggak akan bisa bahkan orang-orang nembus-nembus ke sana pintu masuknya itu dari mana," lanjut dia.
Oleh karena itu, Habiburokhman mengatakan perlunya pengawasan terhadap PNS MA. Dia menyebut pihak-pihak itulah yang kini menjadi jalan terjadinya pelanggaran di MA.
"Kalau saya dengar itu kan ada PNS-PNS yang ketangkap juga, awalnya ada 4 atau berapa orang, ada askor itu namanya asisten koordinator, atau semacam orang yang bertanggung jawab membantu hakim agung dalam pemberkasan perkara, baca berkas dan lain sebagainya. Membantu kalau masuknya dari orang-orang ini maka orang-orang ini juga perlu kita awasi," ucapnya.
Waketum Gerindra ini menyebut hakim agung lebih mudah diawasi juga melakukan perbuatan menyimpang. Karena itu, dia mengusulkan agar PNS MA diawasi dengan benar.[br]
"Tetapi kalau yang namanya PNS yang bekerja di Mahkamah Agung askor, nah itu kan kalau bertemu pihak-pihak orang nggak tahu.
Nah aturannya ada nggak yang membatasi mereka? supaya tidak gampang, tidak bisa, tidak boleh, bahkan bukan tidak gampang ya ketemu mereka pihak-pihak yang terkait dengan perkara ya begitu," ujarnya.
"Ada yang salah memang soal itu orang-orang di sekitar hakim agung itu mau PNS, mau askor, atau hakim yustisi ini mengawasi mereka bagaimana ya," sambung dia. (detikcom/c)