Jakarta (SIB)
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK ) terkait UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan masalah baru. Sebab, kalaupun nanti syarat formil itu dipenuhi, tetapi secara meteriil bisa dianggap tidak memuaskan, sehingga terbuka kemungkinan digugat kembali oleh masyarakat. Mestinya putusan itu dua sekaligus yakni formil dan materiil.
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menyatakan hal itu kepada wartawan, Senin (29/11) di gedung Parlemen, Senayan Jakarta, didampingi Firman Subagyo (anggota MPR RI/mantan Ketua Baleg DPR RI Fraksi Golkar) dan pakar hukum Tata Negara Prof Dr Juanda.
Wakil Ketua Umum PPP ini menilai putusan MK terhadap UU Cipta Kerja (Ciptaker) cacat formil atau inkonstitusional bersyarat yang mengharuskan DPR RI dan pemerintah menyempurnakannya justru membingungkan, tidak jelas, tidak konsisten, bahkan tak ada kewenangan MK untuk memutus secara formil, karena tidak ada perintah UUD NRI 1945.
Menurut Arsul Sani, MK yang sudah berusia 18 tahun, dan kewenangan yang diamanatkan adalah uji materil bukan formil.
Makanya, ada pakar tata negara yang berpendapat bahwa kewenangan MK tersebut tidak jelas.
Bahkan seyogianya, kalau mau memberi kewenangan uji formil, harus mengamandemen UUD NRI 1945 dengan memberi kewenangan baru pada MK.
Arsul Sani berharap, MK tidak bertindak seperti saat menolak Komisi Yudisial (KY) yang akan mengawasi hakim MK. Seharusnya hakim MK itu bisa diawasi. Jangan ketika terkait degan kepentingan dirinya lantas ditolak sehingga tidak fair.
Menjadi pertanyaan terkait cacat formil ini karena DPR dianggap tidak melibatkan masyarakat seluas-luasnya, maksudnya apa?
Padahal, Baleg DPR, sudah melibatkan partisipasi publik, yang standar partisipasinya memang belum ada kriterianya.
“Jangan karena tidak mengundang satu, dua atau tiga LSM lalu dianggap tidak memenuhi syarat formil,” kata Arsul sambil menambahkan, anehnya lagi, putusan MK ini tidak membatalkan pasal-pasal UU Ciptaker, sehingga UU Ciptaker tetap berlaku, dan hanya tidak boleh membuat aturan baru.
Anggota MPR RI/mantan Ketua Baleg DR RI Fraksi Golkar) Firman Subagyo berpendapat meskipun membingungkan, putusan MK itu akan tetap dilaksanakan.
Dikatakan, memang suatu keanehan, putusan MK ini tidak membatalkan pasal-pasal UU Ciptaker, sehingga UU Ciptaker tetap berlaku, dan hanya tidak boleh membuat aturan baru.
“Ini putusan yang tidak konsisten. Tanpa, menyadari putusan MK ini final and binding (mengikat), maka DPR dan pemerintah harus melakukan perbaikan dan penyempurnaan,” tukasnya.
Menurutnya, kehadiran dirinya sebagai saksi dan telah membacakan kesaksiannya di sidang MK tiba-tiba diabaikan.
Seharusnya, kalau dari awal anggota DPR RI itu tidak bisa menjadi saksi karena terkait kepentingannya sendiri, dia tidak perlu memberikan kesaksian.
Apalagi, DPR dan pemerintah sudah melakukan proses perundang-undangan ini sesuai perintah UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan UU.
Firman Subagyo menegaskan, yang namanya omnibus law memang tidak ada dalam konstitusi. Hanya sebagai gagasan para pakar hukum tata negara termasuk Jimly Asshiddiqie, karena banyak UU ekonomi dan investasi yang tumpang-tindih.
Di tengah ekonomi yang sulit, maka diperlukan terobosan-terobosan ekononi.
Sedangkan Omnibus law yang dikenal di negara-negara Common Law (Anglo Saxon) adalah sistem hukum yang berasal dari Inggris dan berkembang di negara-negara jajahannya.
Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Juanda juga mengakui bahwa putusan MK ini membingungkan dan tidak konsisten.
Seyogianya para hakim itu tidak ada yang desenting opinion (DO), tetapi, dalam uji UU Ciptaker ini ada 4 hakim yang DO, dan 5 hakim mengabulkan.
Seharusnya bulat, dan disebut cacat formil itu sesungguhnya utuh dengan menyebutkan pasal-pasal dalam UU Ciptaker itu tidak berlaku.
“Meski secara hukum positif harus ditaati, sampai perbaikan selama 2 tahun, namun kalau selama itu tidak diperbaiki, apakah berarti kembali ke UU Ciptaker yang lama’ tanya Juanda seraya meminta semua pihak harus berhati-hati dalam memutuskan kasus hukum, karena bisa membuat gaduh. Bahwa membatalkan UU itu bukan dengan UU, tapi dengan UU yang diatasnya atau konstitusi,” kata Juanda. (H1/c)