Kewenangan DPD Setara, Banyak Aspirasi Daerah Diabaikan DPR

* Banyak UU Diketok DPR Tanpa Memperhatikan Aspirasi DPD

288 view
Kewenangan DPD Setara, Banyak Aspirasi Daerah Diabaikan DPR
Foto: Ist/harianSIB.com
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam Gelora Talk bertajuk ‘Penguatan Lembaga DPD RI, Perlukah?’, Rabu (26/1) di Jakarta.

Jakarta (SIB)

Kewenangan yang dimiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD), setara dengan DPR karena dipilih rakyat secara langsung, bukan dipilih secara simbolik.


“Hal ini juga menyempurnakan kedudukan sistem bikameral dalam ketata-negaraan kita yang terdiri dari dua kamar atau joint session antara DPR dan DPD yang memiliki kewenangan, serta kesetaraan hak yang sama di parlemen,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah kepada wartawan, usai Gelora Talk bertajuk 'Penguatan Lembaga DPD RI, Perlukah?', Rabu (26/1) petang, di Jakarta.


"DPD kita kan sudah dipilih rakyat, kalau sudah dipilih ngapain kewenangannya simbolik. Jadi harus diberi kewenangan yang kuat, sehingga bikameralisme kita menjadi sempurna," kata Fahri Hamzah sambil menambahkan, agar sistem tersebut menjadi sempurna, maka DPD harus berani mengkritik Partai Politik (Parpol) di DPR. Sebab, yang bisa mengkritik DPR hanyalah DPD.


Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menyarankan, kritik ke Parpol juga disuarakan, sebab keterpilihan anggota DPD tidak ada hubungannya dengan Parpol.


Fahri Hamzah berpendapat, beban kerja yang dimiliki DPR sangat banyak, sehingga banyak yang tidak terselesaikan. Makanya sangat disayangkan beban kerja tersebut tidak ada yang diserahkan ke DPD.


Bisa dibayangkan jika sebagian pekerjaan itu dibagi, secara konkrit. Misalnya Undang-Undang (UU) yang memberikan kewenangan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, baik hak legislasi, anggaran maupun pengawasan.


“Saya kira akan lebih berimbang dua kamar cabang kekuasaan," ujar Fahri.


Karena itu, Partai Gelora juga menginginkan agar DPD diisi oleh tokoh-tokoh daerah dari kesultanan seperti Wakil Ketua DPD Sultan Bahtiar Najamuddin, yang memiliki kekuasaan riil terhadap rakyatnya di daerah.


Fahri mengakui, dirinya sering berpendapat, bagaimana supaya DPD bisa mewakili champion-champion daerah yang dulu pernah ada.


Anggota DPD RI bisa diisi oleh sultan-sultan yang masih ada di Indonesia, seperti Kesultanan Tidore yang 950 tahun lalu penguasa Pasifik. Bahkan Papua dulu punyanya Tidore, dan sekarang anggota DPD dari daerah itu adalah Sultan Baktiar Najamudin.


Fahri melihat DPD RI bisa menjadi sarana atau wadah bagi para sultan di Indonesia untuk menyalurkan aspirasi dan pikirannya bagi pembangunan bangsa dan negara.


Artinya, DPD bisa menjadi salah satu penampungnya, khususnya saat Pemilu agar sultan-sultan bisa disalurkan.


“Kalau DPD kita ambil 20 persen dari perwakilan riil yang mungkin tidak harus dipilih, bisa direformasi ke depan," kata Fahri.


Cendikiawan muslim Prof Azyumardi Azra, menilai DPD sebagai wujud dari kedaulatan daerah, tidak punya kewenangan meski dipilih langsung oleh rakyat.


Kondisi tersebut, sengaja diciptakan untuk penguatan peran Presiden dan oligarki Partai Politik di DPR untuk melucuti kedaulatan rakyat dan daerah. Karena itu, parlemen saat ini terkesan kembali seperti tukang stempel.


Contohnya adalah diloloskannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) dan UU Ciptaker.


Karena itu, Azyumardi menilai kehadiran DPD saat ini boleh dikatakan antara ada dan tiada, karena tidak memiliki kewenangan legislasi yang memadai.


Wakil Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin mengungkapkan, banyak aspirasi daerah yang diabaikan DPR seperti usulan RUU Daerah Kepulauan dan RUU Bumdes yang sudah bertahun-tahun diusulkan tidak mendapat perhatian, bahkan dikeluarkan dari Prolegnas.


Padahal, banyak undang-undang yang sudah diketok DPR tanpa memperhatikan aspirasi DPD, sehingga rentan gugatan karena unsur politisnya dan pembahasannya dilakukan dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN (Ibu Kota Negara).


Sultan Baktiar berpendapat, kalau diteruskan, hal ini, rawan sekali di chalange oleh kelompok civil society, termasuk soal IKN.


Bukan soal setuju, atau tidak. Tetapi, begitu gampang DPR ketok palu RUU Cipta Keja, IKN dan hampir semua RUU dilakukan terburu-buru.


Seharusnya, kata Sultan Baktiar, DPR harus mendengarkan aspirasi daerah seperti yang diwakili DPD.


Sebab, suara rakyat yang memilih 136 anggota DPD setara dengan 70 juta suara, sehingga keterwakilannya sangat kuat karena juga dipilih langsung oleh rakyat.


Menurutnya, gagasan besar Partai Gelora untuk penguatan kelembagaan DPD, memancing banyak pihak untuk memunculkan UU sendiri, UU DPD RI.


Kalau di UU MD3 dijadikan payung, DPD tidak bisa keluar dari sana. Harus mengambil langkah out the box, pilihan langkah ekstra, bukan ekstra parlemen.


Misalnya tidak terlibat kalau ada RUU lagi. Biar kita tidak ada beban, dan bisa punya legal standing. Kalau sekarang tidak bisa karena terlibat sejak awal.


Akademisi Ilmu Politik Univeritas Indonesia Hurriyah berharap agar DPD bisa meningkatkan perannya di parlemen, karena aspirasi rakyat di DPR yang diwakili Parpol banyak menimbulkan problem dan kekecewaan masyarakat.


Hurriyah menilai, munculnya DPD juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan representasi politik, untuk memperkuat keterwakilan masyarakat dan daerah yang selama ini dinilai terlalu sentralisasi.


"Semangat penguatan lembaga DPD RI bisa mengembalikan kepentingan publik serta memastikan lembaga DPD sebagai representasi institusi politik bagi masyarakat daerah, sehingga perannya bisa optimal di parlemen," kata Hurriyah. (H1/d)


Penulis
: Redaksi
Sumber
: Koran SIB
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com