Jakarta (SIB)
Kompolnas memberikan saran kepada Polri dalam mengusut dugaan suap Ismail Bolong terkait kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Kompolnas menyarankan agar melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Jadi begini, tahapan dalam penyidikan kasus ini harus dimulai dari pembuktian bahwa betul ada tambang ilegal yang menghasilkan sejumlah uang. Nah, dalam konteks ini perlu perlibatan dari PPATK," kata Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto di Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (14/12).
Benny mengatakan, sebelum mengusut dugaan suap, Polri harus menelusuri pihak-pihak terkait tambang ilegal tersebut. Adapun dalam kasus ini telah ditetapkan tiga tersangka, termasuk Ismail Bolong.
"Pihak mana saja, yang melindungi, yang tidak menindak. Membiarkan dan sebagainya, kompensasinya apa. Larinya kesana.
Barulah kemudian bahwa pembuktian apa betul ada tambang ilegal berjalan sejak tahun berapa, hasilnya berapa, kaitan terakhir nanti adalah ke mana uang itu," katanya.
"Nah, ini selesai dulu, ini kan udah menyita alat berat. Batu baranya, kemudian rekeningnya. Kemudian HP dan sebagainya. Kalau pembuktian ini sudah selesai, barulah bicara ke mana uangnya," tambahnya.
Jeratan Pasal
Bareskrim Polri resmi menetapkan Ismail Bolong sebagai tersangka kasus tambang ilegal yang berlokasi di Kalimantan Timur (Kaltim). Ismail Bolong terancam pidana 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 miliar.
"Adapun pasal yang disangkakan adalah Pasal 158 dan Pasal 161 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar," kata Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Nurul Azizah kepada wartawan, Kamis (8/12).
Selain itu, Ismail Bolong dijerat Pasal 55 ayat 1 KUHPidana karena berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal dan juga sebagai Komisaris PT Energindo Mitra Pratama (PT EMP), yang tidak memiliki izin penambangan.
Isi Pasal 55 KUHP ayat 1:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (detikcom/d)