Jakarta (SIB)
Menko Polhukam Mahfud Md sempat menyebut adanya gerakan atau pesanan tertentu untuk mempengaruhi putusan Ferdy Sambo di kasus pembunuhan Yosua. Pihak Sambo merespons dan enggan menanggapi hal ini.
"Perlu saya sampaikan, klien saya saat ini hanya fokus terhadap perkara yang dihadapinya dan tidak akan menanggapi hal-hal yang tidak diketahuinya," kata pengacara Sambo, Arman Hanis, saat dimintai konfirmasi, Sabtu (21/1).
Dimintai konfirmasi terpisah, pengacara lainnya Rasamala Aritonang berharap persidangan berjalan lancar. Dia meminta hakim memutuskan kasus ini dengan adil dan objektif.
"Sekali lagi kami berharap persidangan dan keputusan dapat dilakukan secara objektif, akuntabel, juga adil untuk semua pihak, termasuk bagi terdakwa," ujar Rasamala.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md merespons tuntutan seumur hidup yang dijatuhkan jaksa penuntut umum (JPU) kepada mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Yosua Hutabarat. Mahfud mengaku, sebelum putusan Sambo dijatuhkan, dia mendengar ada gerakan dan pesanan tertentu.
"Yang saya bilang itu sebelum putusan kan (ada pesanan), saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang meminta memesan putusan Sambo itu dengan huruf, ada yang minta dengan angka, jadi bukan putusan yang ini (yang dijatuhkan JPU)," kata Mahfud kepada wartawan di Kemenko Polhukam, Kamis (19/1).
Mahfud menuturkan, sebelum tuntutan JPU, ada yang ingin Ferdy Sambo dihukum namun ada pula yang ingin dibebaskan. Mahfud memastikan Kejaksaan telah bersikap independen dalam menjatuhkan tuntutan kepada para terdakwa kasus tersebut.
"Ada yang bergerilya, ada yang ingin Sambo dibebaskan, ada yang ingin Sambo dihukum, tapi kita bisa amankan itu di kejaksaan. Saya pastikan kejaksaan independen, tidak berpengaruh oleh gerakan-gerakan bawah tanah itu," ujarnya.
Jauh Lebih Ringan
Sementara itu, terkait tuntutan 12 tahun penjara bagi Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu menuai kontroversi. Namun Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan, besaran tuntutan pidana itu sudah dengan pertimbangan yang matang.
Salah satu hal yang menjadi sorotan yaitu mengenai pengajuan status saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator untuk Eliezer. Bagi Kejagung, status itu sudah diakomodasi sehingga tuntutan Eliezer jauh lebih ringan dari Ferdy Sambo dan nantinya di tangan majelis hakimlah status itu disetujui atau ditolak.
"Rekomendasi (JC LPSK) ini kami hargai, dan kami akomodir dalam surat tuntutan sehingga Bharada E ini mendapat keringanan hukuman daripada pelaku utama yaitu Ferdy Sambo. Sangat jauh juga jaraknya (hukuman dalam tuntutannya)," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam video yang diunggah di akun Instagram Kejaksaan Agung, seperti dikutip, Senin (23/1).
"Karena (Bharada E) termasuk saksi yang kooperatif. Saksi yang membuka, saksi yang berkata jujur dan konsisten di persidangan. Kalau seandainya tidak seperti itu, kita samakan tuntutan dengan Ferdy Sambo," katanya.
Kejagung pun sempat menyinggung dan membandingkan Eliezer dengan regu tembak yang mendapat perintah berdasarkan undang-undang.
Awalnya, Ketut Sumedana menerangkan bahwa pembunuhan berencana tidak secara tegas masuk dalam JC yang diatur dalam undang-undang.
"Di dalam Undang-undang secara limitatif, tidak ditegaskan bahwa pembunuhan berencana itu sendiri bukan merupakan tindak pidana tertentu. Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2021," kata Ketut dalam video yang diunggah di akun Instagram Kejaksaan Agung, Minggu (22/1).
"Yang dimaksud tindak pidana tertentu itu secara tegas sudah dijelaskan, yaitu tindak pidana yang terorganisir, apakah itu tindak pidana narkotika, korupsi dan tindak pidana TPPU tindak pidana pencucian uang, tindak pidana trafficing yaitu penjualan orang. Ini yang diatur (JC)," katanya.
Soal tuntutan 12 tahun penjara untuk Bharada E, Ketut menyebut, Jaksa Penuntut Umum memiliki pertimbangan. Bharada E menjalankan peran utama dalam pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, sebagai eksekutor. Selain Bharada E, Ferdy Sambo juga dinilai sebagai pemeran utama karena otak pembunuhan berencana.
"Namun demikian, rekomendasi (JC LPSK) ini kami hargai, dan kami akomodir dalam surat tuntutan. Sehingga Bharada E ini mendapat keringanan hukuman daripada pelaku utama yaitu Ferdi Sambo. Sangat jauh juga jaraknya (hukuman dalam tuntutannya)" tuturnya.
"Karena (Bharada E) termasuk saksi yang kooperatif. Saksi yang membuka, saksi yang berkata jujur dan konsisten di persidangan. Kalau seandainya tidak seperti itu, kita samakan tuntutan dengan Ferdy Sambo," katanya.
Diketahui, Ferdy Sambo dituntut oleh JPU dengan tuntutan penjara seumur hidup. Sementara Bharada E 12 tahun penjara.
Dibandingkan
Ketut pun menjelaskan soal penghapusan pidana dalam KUHP dan membandingkannya dengan JC. Menurutnya, ada beberapa tindakan pembunuhan yang menghapus unsur pidana seperti algo atau regu tembak yang menjalankan perintah sesuai undang-undang.
"Karena pertanggungjawaban pasal 44 hingga 52 KUHP itu menghilangkan pidana, dan tidak harus di pengadilan. Pertama, saat penelitian tahap pertama. Itu sudah dengan sendirinya tidak sampai di Pengadilan," kata Ketut.
"Kenapa, terkait dengan tadi, kalau dia melakukan perintah undang-undang seperti regu tembak, itu diatur dengan undang-undang, tidak dihukum karena undang-undang yang memerintahkan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Inilah yang sering disampaikan oleh beberapa media, ini tidak sama dengan pertanggungjawaban pidana, dengan JC sangat beda," katanya.
Soal keputusan JC bagi Bharada E, Kejaksaan pun menyerahkan hal itu kepada keputusan hakum.
"Ini adalah yang menentukan majelis hakim yang merekomendasikan. Apakah rekomendasi kami itu berupa terdakwa yang bekerja sama secara kooperatif, dengan memberikan keterangan secara jujur, itu sampai di sana, atau nanti memberi JC khusus," kata Ketut. (detikcom/c)