Medan (SIB)
Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Medan mempertanyakan kepastian hukum terkait hasil rapat dengar pendapat (RDP) DPRD Sumut yang akan melakukan razia angkutan barang melebihi muatan yang dikenal dengan Over Loading (ODOL) di Sumatera Utara (Sumut).
Hal itu dikatakan Sekretaris Organda Medan Jaya Sinaga SE kepada wartawan, Minggu (4/6) terkait kesepakatan akan digelarnya razia angkutan barang ODOL di Sumut.
Kesepakatan itu diputuskan dalam RDP Komisi D DPRD Sumut dengan Dishub Sumut, BPTD Kelas II Sumut, Polda Sumut, Dinas PUPR, BBPJN Sumut dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumut yang dipimpin Ketua Komisi D Benny Sihotang dan dihadiri anggota Dewan Viktor Silaen SE MM, Rony Reynaldo Situmorang dan Yahdi Khoir Harahap, Senin (29/5) lalu di DPRD Sumut.
“Sebagai pengusaha tentu selalu berhitung tentang untung dan rugi. Oleh karenanya pengusaha angkutan barang Sumut saat ini membutuhkan kepastian dalam hal rencana razia ODOL atas yang terjadi pada kondisi sekarang,” kata Jaya.
Jaya Sinaga memaparkan, jika berbicara tentang ODOL harus berbicara dari hulu hingga ke hilir. Sehingga dapat menghitung jumlah berat yang diizinkan dibawa kendaraan. Itulah yang menjadi dasar dari Balai Pengujian menguji kelayakan kenderaan dengan menerbitkan KIR (Kartu Identifikasi Registrasi) tentang jumlah berat yang diizinkan.
“Untuk itu perlu pemahaman yang sama dan menjadi perhatian bersama pula, mengingat razia ODOL yang akan dilakukan tidak memiliki dasar hukum. Kalaupun ada aturan dari Kementrian Perhubungan aturan tersebut bukanlah dasar hukum, tetapi itu hanya sebatas aturan belaka.
“Oleh sebab itu, jika benar akan melakukan razia dan pemotongan armada tentu harus ada regulasi dan dasar hukumnya agar tidak menabrak aturan. Apalagi, kendaraan-kendaraan yang dikategorikan ODOL adalah angkutan yang taat membayar pajak STNK dan KIR. Angkutan tersebut juga sudah memiliki Surat Keterangan Rancang Bangun (SKRB) dan Surat Izin Tipe Kendaraan (STRUK) serta memenuhi Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) sesuai dengan turunan SKRB.
“Pada porsi lain, dengan adanya kesepakatan melakukan razia tentu petugas yang melaksanakan razia harus punya alat ukur. Apa itu alat ukurnya yaitu jembatan timbang atau alat penimbang. Bagaimana kita bisa tahu ini kendaraan ODOL atau kelebihan muatan padahal kita tidak punya alat timbang," kata Jaya Sinaga.
Disebut, Dishub Sumut sebagai pengawas, sementara Dishub sudah tidak punya alat timbang dan diperaturan itu tidak memerintahkan Dishub Sumut menjadi pengawas. Dikarenakan Dishub tidak memiliki jalan nasional, maka posisi jembatan timbang sekarang ada di jalan nasional dan menjadi miliknya Pemerintah Pusat.
"Itulah jika terkait jalan nasional. Lalu bagaimana kalau di jalan provinsi? Kan bisa dihitung jumlah yang diperbolehkan dan diizinkan muatan angkutan yang diperbolehkan bagi truk barang. Demikian juga untuk jalan kabupaten/kota, karena kemampuan daya tahan berdasarkan kwalitas jalan masing-masing berbeda-beda," tambahkannya.
Maka perlu disampaikan, benarkah kualitas jalan yang dibangun itu sudah sesuai dengan beban yang akan dilintasi. Disini kan perlu ada regulasi dan koordinasi dengan Kementrian PUPR jika, dilihat dari kondisi jalan maupun kemampuan daya jalan untuk menanggung beban jalan sehingga kualitas jalan tersebut harus diukur. Sehingga tidak langsung ada tudingan kalau ODOL menjadi penyebab percepatan terjadinya kerusakan jalan-jalan yang ada.[br]
"Bisa saja bukan ODOL yang menyebabkan rusaknya jalan, melainkan dikarenakan perbuatan oknum-oknum yang sengaja mengurangi volume kwalitas jalan tersebut sebagaimana banyaknya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang setiap tahunnya menemukan ada proyek jalan yang tidak sesuai dengan spesifikasi," katanya.
Menurut Jaya Sinaga, apabila perangkat-perangkat itu sudah disiapkan, pengusaha merasa nyaman karena akan ada kepastian dilakukannya razia sehingga pengusaha bisa menghitung tarif.
"Diterapkannya razia ODOL ini, pengusaha harus menghitung ulang tarif sebagai solusi karena pada UU No 22 tahun 2009 tidak ada diatur tentang tarif, tetapi dilepas ke pasar. Nah dengan dilepasnya ke pasar berarti ada regulasi dan diatur sehubungan dengan jumlah berat barang yang boleh diangkut," katanya.
Dihitung ulangnya tarif angkutan oleh pengusaha angkutan barang akan berpengaruh dan berdampak kepada harga-harga barang-barang, khususnya harga sembako yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, karena dipastikan pengusaha akan membebankan biaya tarnsportasi kepada harga penjualan produknya.
Jaya Sinaga menekankan, Organda tidak pernah menolak regulasi atau aturan, tetapi harus dihitung dulu secara nyata tentang jumlah berat yang diperbolehkan dan pengaruhnya terhadap kenaikan tarif pengiriman barang tersebut. (A8/d)