Medan (SIB)
Sekretaris Fraksi Nusantara DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga mengingatkan Pemprov Sumut harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang tetap membandel atau tidak mau membayar PAP (Pajak Air Permukaan) ke kas daerah, karena pajak tersebut merupakan kewajiban perusahaan untuk membayarnya, guna meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
"Kita melihat selama ini Pemprov Sumut kurang tegas memungut PAP tersebut, sehingga banyak perusahaan besar menunggak alias tetap membandel tidak mau membayar kewajibannya, sehingga daerah merasa dirugikan," ujar Zeira Salim Ritonga kepada wartawan, Jumat (25/9) ketika dihubungi melalui telepon di Medan.
Akibatnya, tambah politisi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Sumut ini, Pemprov Sumut hanya menetapkan target PAP di P-APBD Sumut TA 2020 sebesar Rp29,540 juta. Jauh berkurang, jika dibandingkan dengan jumlah PAP di APBD 2020 sebesar Rp500 juta atau ada selisih Rp120,540 juta.
Berkaitan dengan itu, tambah Wakil Ketua Komisi B ini, sudah saatnya Pemprov Sumut bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang membandel membayar kewajiban PAP, karena sektor tersebut sangat strategis untuk menambah PAD.
Tersangkut
Zeira mencontohkan salah satu perusahaan BUMN di Sumut, yakni PT Inalum hingga saat ini diduga masih tersangkut PAP yang nilainya sangat signifikan diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun, terhitung PAP 2013-2017. Pemprov Sumut harus upayakan penagihannya.
“Kita heran mengapa kewajiban (tunggakan) PAP ini belum dibayar. Walaupun saat ini dalam proses hukum di pengadilan, hendaknya PT Inalum menyetornya ke Pemprov Sumut sebahagian, karena sampai kapanpun tidak akan dihapus kewajiban tersebut," tegas Zeira.
Seperti diketahui, tambah politisi vokal ini, PAP merupakan jenis pajak provinsi yang dikenakan atas penggambilan/pemanfaatan air permukaan dan ketentuan tentang Pajak Air Permukaan ini diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kemudian Pemprov Sumut mengaturnya dalam Perda Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Pergub No 24/2011 tentang Tata Cara Penghitungan Nilai Perolehan Air. Dalam Pergub tersebut, khususnya pasal 9 ayat 3 disebutkan bahwa berdasarkan produksi listrik yang dihasilkan dengan harga dasar air (HDA) yang dikenakan sebesar Rp75 per kWh. Dari dasar hitungan selama 2013-2017, PT Inalum tertunggak sebesar Rp 2,3 triliun.
Namun, tandas Zeira, PT Inalum punya pandangan berbeda terkait pola perhitungan antara versi hitungan Pemprov Sumut dengan versi hitungan Inalum. Pemprov Sumut menghitung pajak APU Inalum dengan menggunakan tarif Wajib Pajak Golongan Industri, sedangkan Inalum menggunakan tarif khusus untuk BUMN.
Proses Litigasi
Secara terpisah, Deputy Sekretaris Perusahaan PT Inalum Mahyaruddin Ende yang coba dikonfirmasi terkait PAP tersebut tidak membalas pertanyaan wartawan SIB. Ketika dihubungi nomor teleponnya juga tidak disahutinya.
Sementara Manager Humas PT Inalum Bambang Heru yang dihubungi terpisah juga lewat WhatsApp, Sabtu malam mengatakan, kurang tahu secara mendalam masalahnya, saat ini sedang ditangani tim internal perusahaan. Kalau tidak salah masih dalam tahap proses litigasi, katanya.
BELUM MAU KOMENTAR
Sementara itu Plt Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Sumut, Riswan Lubis saat dikonfirmasi melalui telepon seluler dan juga WA (whatsapp) belum mau berkomentar atau membalas WA wartawan hingga berita ini dikirim pukul 19.00 WIB ke redaksi.
Sebelumnya pada Sabtu siang, wartawan juga telah mengkonfirmasi berita tersebut kepada Kabiro Humas dan Keprotokolan Setdaprov Sumut Hendra Dermawan Siregar serta Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumut Ismael Parenus Sinaga. Tapi kedua pejabat ini meminta wartawan untuk mengkonfirmasi berita tersebut kepada Plt Kepala BPPRD Sumut, Riswan Lubis karena hal itu teknis.
Sementara itu, pada 22 Januari 2020 lalu, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menyampaikan sesuai putusan hukum PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) harus bayar Rp 2,5 triliun ke Pemprov Sumut. "Pemprov Sumut sedang mengkaji langkah-langkah agar bagaimana Inalum bersedia membayarkan pajak APU tersebut tanpa mengabaikan fakta-fakta hukum yang sudah ada sejauh ini. Ini kita sedang kaji lewat hukum apa langkah kita selanjutnya," ujarnya.
Sementara Riswan saat itu menambahkan, sengketa tentang nilai Pajak APU disidangkan di dua pengadilan pajak oleh majelis hakim berbeda. Pada sidang November 2013-November 2015, pengadilan menolak banding Inalum. Lalu di persidangan April 2016-April 2017 gugatan Inalum tidak dapat diterima. Selanjutnya pada Desember 2015-Maret 2016 upaya banding Inalum ditolak. "Atas keputusan tersebut Inalum kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Namun keputusan PK secara eksplisit belum kami terima," ungkapnya.
Oleh majelis pengadilan pajak lainnya, kata dia, pada persidangan Mei 2017-Agustus 2017, seluruh upaya banding Inalum dikabulkan. Begitu pula pada persidangan September 2017-Mei 2018, lagi-lagi seluruh banding Inalum dikabulkan.
Terdapat perbedaan tajam antara persidangan pajak pertama dan kedua, berbeda amar putusan. Itu sebabnya Pemprov Sumut bertahan menuntut agar Inalum membayar Pajak APU berdasarkan pasal 9 ayat 2 Peraturan Gubernur No. 24/2011.
Disebutkan penghitungan Pajak APU Inalum berdasarkan penggunaan air per-m3 yakni tarif industri. Bukan tarif khusus untuk pembangkit tenaga listrik sebagaimana PT PLN yang membayar per-KwH. (M03/M01/M11/c)