Jakarta (SIB)
Menjadi seorang Kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tentu memiliki suka dan duka tersendiri. Meski demikian, tak sedikit dari mereka yang mengaku senang menjalani profesi ini.
Sri Daryati (48), warga Dusun Tanjungsari, Desa Tlogotirto, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan menjadi salah satu orang yang senang menjadi kader JKN. Menurutnya, profesi ini merupakan perpanjangan tangan BPJS Kesehatan dengan masyarakat.
Sri bercerita dirinya sudah menjadi kader JKN sejak 2019. Wanita yang juga berprofesi sebagai Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Dusun Tanjungsari ini juga menjadi satu-satunya kader JKN di Kecamatan Gabus dengan wilayah binaan 14 desa.
"Awalnya ada dua orang Kader JKN termasuk saya yang pegang wilayah Kecamatan Gabus, tetapi satu orang kader kemudian mengundurkan diri. Sekarang saya memegang seluruh desa yang ada di Kecamatan Gabus yaitu Banjarejo, Bendoharjo, Gabus, Kalipang, Karangrejo, Keyongan, Nglinduk, Pandanharum, Pelem, Sulursari, Suwatu, Tahunan, Tlogotirto, Tunggulrejo," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/9).
Lebih lanjut, ia menjelaskan kader JKN bertugas melakukan kunjungan dan edukasi kepada peserta sekaligus mengingatkan tunggakan, serta pembayaran iuran. Sri menyebut mayoritas masyarakat desa mendaftar Program JKN lantaran ikut-ikutan saja. Ada pula yang membuat hanya untuk syarat naik haji dan persiapan melahirkan. "Banyak peserta yang saya temui umumnya mereka menunggak karena tidak tahu jika iuran JKN harus dibayar setiap bulan. Pengetahuan orang desa itu terbatas. Mereka salah kaprah, ada (oknum) yang memberi tahu jika kepesertaan JKN tidak dibayar nanti akan hilang sendiri. Mereka pun kaget ketika disodori tunggakan iuran yang jumlahnya tidak sedikit," katanya.
Meski menyenangkan, Sri mengatakan menjadi kader juga memiliki tantangan. Apalagi jika bertemu dengan para peserta yang menunggak iuran.
Ia mengatakan masyarakat desa yang menunggak iuran JKN justru berasal dari kalangan menengah ke atas yang sulit diedukasi. Sri bahkan kerap bertemu orang-orang golongan mampu yang menunggak, namun tidak mau membayar lantaran harus memakai rujukan dan lainnya.[br]
"Bahkan pernah suatu kali, saya menemui seorang warga yang sudah cukup sepuh (tua-red). Meski telah menggunakan atribut Kader JKN, warga tersebut salah paham, dikira saya minta-minta uang dan salah mengira saya sebagai penagih utang. Warga itu sampai mengancam saya," papar Sri.
Dari pengalamannya tersebut, Sri menjadi tersadar akan pentingnya memiliki JKN. Terlebih sebelum suaminya meninggal dunia awal Januari 2021, Sri juga mengandalkan kartu JKN untuk pengobatan sang suami. "Suami sakit diabetes dan berulang kali dirawat.
Sampai menjalani operasi besar dan semua itu saya tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Semua ditanggung JKN. Sayangnya, setelah suami meninggal, saya tidak tahu jika Kartu JKN yang saat itu terdaftar di kelas dua otomatis dihentikan," katanya.
Sri menyampaikan semasa hidup, suaminya berprofesi sebagai perangkat desa sehingga otomatis iuran JKN dipotong dari gaji. Saat itu, ia merasa berat jika harus membayar untuk kelas dua, akhirnya Sri pun mengurus untuk turun ke kelas tiga.
Meski sebelumnya status kepesertaan JKN miliknya sempat dinyatakan tidak aktif, setelah bolak-balik untuk mengaktifkan JKN kelas tiga, Sri terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK). "Alhamdulillah, akhirnya saya mengajukan PBI JK. Harapan saya badan sehat terus jadi tidak perlu berobat. Tapi sungguh, tidak punya jaminan kesehatan itu tidak enak," pungkasnya. (detikcom/a)