Jakarta (SIB)
Dalam waktu 3 hari mulai, Selasa (14/3) s/d Kamis (16/3), Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr Fadil Zumhana, menyetujui 90 pengajuan penghentian penuntutan perkara tindak pidana umum (Pidum), berdasarkan penerapan restorasi keadilan atau restorative justice (RJ). Pengajuan penghentian itu atas permohonan sejumlah Kejari di Indonesia.
Kapuspenkum Kejagung Dr Ketut Sumedana menyebutkan,untuk 90 perkara tersebut, JAM-Pidum telah memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang bersangkutan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Ke 90 pengajuan penghentian itu disetujui JAM Pidum pada kesempatan terpisah setelah terlebih dahulu dilakukan diekspose terhadap perkara tersebut. Pada Selasa (14/3) lalu, disetujui penghentian 38 perkara dan termasuk didalamnya 4 pengajuan terkait perkara narkotika. Pada Rabu (15/3) disetujui pengehetian penuntutan 31 perkara dan pada Kamis (16/3) disetujui penghentian penuntutan 21 perkara,” papar Kapuspenkum Kejagung sebagaimana dalam siaran persnya, Sabtu (18/3).
Dari 90 pengajuan penghentian penuntutan perkara Pidum tersebut, mayoritas didominasi perkara penganiayaan, kemudian perkara pencurian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelanggaran undang undang lalu lintas jalan, penadahan dan penggelapan.
Disebutkan, untuk 4 penghentian penuntutan terkait perkara narkotika, disetujui penghentiannya dengan alasan permohonan rehabilitasi terhadap para tersangka. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, tersangka positif menggunakan narkotika. Dasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user).
Pertimbangan berikutnya, tersangka ditangkap atau tertangkap tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah pemakaian 1 hari. Dan berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalah guna narkotika.
Kemudian tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali, yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang, serta ada surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya.
Sedang untuk perkara Pidum bukan terkait narkotika yang diusetujui penghetiannya dengan alasan antara lain, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana,ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun,tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
“Kemudian proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, serta tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” sebut Kapuspenkum. (BR1/c)