* Kalau Barat tak Membantu Hadapi Putin

Ukraina Peringatkan Ancaman Perang Dunia III

* Paus Fransiskus Minta ‘Pembantaian' di Ukraina Dihentikan

712 view
Ukraina Peringatkan Ancaman Perang Dunia III
Foto: AP
MAYAT WARGA SIPIL: Anggota militer Ukraina menutupi dengan kain mayat seorang warga sipil yang tewas akibat serangan di Irpin, Sabtu (12/3) waktu setempat. Paus Fransiskus dalam pidato pemberkatan hari Minggu (13/3) di Alun-alun St Peter, Vatikan, meminta ‘pembantaian’ di Ukraina segera dihentikan. 

Vatican City (SIB)

Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba, mendesak negara Barat segera mengirimkan senjata bagi negaranya yang masih digempur agresi Rusia. Menurutnya, Perang Dunia III bisa pecah jika invasi Rusia ke Ukraina tidak bisa dihentikan.


Kuleba juga meminta negara Barat yang selama ini berkomitmen membela Ukraina agar menjatuhkan lebih banyak sanksi dan boikot ke Rusia. "Bagi mereka di luar sana yang takut terseret ke Perang Dunia III. Ukraina akan melawan dan berhasil.


Kami membutuhkan bantuan Anda untuk berperang. Berikan kami seluruh senjata yang diperlukan. Terapkan lebih banyak sanksi ke Rusia dan lakukan isolasi sepenuhnya," kata Kuleba dalam akun Twitternya, Senin (14/3), sebagaimana dilansir Reuters, Senin (14/3). "Bantu Ukraina menekan Putin menuju kegagalan dan Anda akan bisa menghindari perang yang lebih besar," lanjutnya.


Sebelumnya, Kuleba sempat meminta negara Barat mengirimkan jet tempur dan bantuan militer lain ke Ukraina. Permintaan ini diutarakan agar Ukraina bisa mempertahankan kekuasaan udara mereka, mengingat akan ada lebih banyak korban bila negara itu tidak bisa menghentikan gempuran udara Rusia. "Permintaan paling tinggi kami adalah jet tempur, pesawat serang, dan sistem pertahanan udara," ujar Kuleba, seperti dikutip dari AFP.


Ukraina terus mendesak sekutunya melakukan lebih banyak upaya menekan Rusia, salah satunya ialah menerapkan zona larangan terbang di wilayah udara negara itu. Meski demikian, sejumlah negara Barat takut bantuan yang dikirim ke Ukraina dapat menyeret mereka, termasuk anggota NATO, ke dalam perang langsung dengan Rusia.


Sementara itu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, sempat mengancam negara Barat berkaitan dengan zona larangan terbang ini. "Setiap gerakan ke arah ini akan kami anggap sebagai partisipasi dalam konflik bersenjata oleh negara itu," ujar Putin dalam pertemuan dengan karyawan Aeroflot, dikutip dari AFP.


Ia juga menekankan penerapan zona larangan terbang tersebut bakal membawa konsekuensi 'kolosal' bagi Eropa dan dunia.


Sebelumnya, Ukraina mendesak NATO memberlakukan zona larangan terbang atau non-fly zone terhadap negaranya.


Dengan zona larangan terbang, setiap pesawat yang melanggar dan masuk wilayah udara Ukraina akan dicegat bahkan ditembak jatuh oleh NATO. Namun, NATO menegaskan ogah menerapkan aturan tersebut. Beberapa pihak menganggap NATO khawatir jika menerapkan zona larangan terbang di Ukraina sama saja seperti menyatakan ikut berperang langsung dengan Rusia.


Minta 'Pembantaian' Dihentikan

Sementara itu, pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, menyampaikan kecamannya yang paling keras atas invasi Rusia ke Ukraina, dengan menyebutnya sebagai 'agresi bersenjata yang tidak bisa diterima'. Paus Fransiskus juga meminta agar apa yang disebutnya sebagai 'pembantaian' di Ukraina segera dihentikan.


Seperti dilansir AFP dan Reuters, Senin (14/3), kecaman dan seruan itu disampaikan Paus Fransiskus saat berbicara kepada ribuan orang di Alun-alun St Peter, Vatikan, untuk pemberkatan hari Minggu (13/3) waktu setempat. Paus Fransiskus juga menyebut pembunuhan anak-anak dan warga sipil tidak bersenjata sebagai tindakan 'biadab' dan 'tanpa alasan strategis yang sah'.


Dia juga menyebut kota pelabuhan Mariupol di Ukraina yang dikepung oleh pasukan Ukraina sebagai 'kota martir' dan sekali lagi menyerukan 'koridor kemanusiaan yang benar-benar aman' agar warga sipil bisa dievakuasi. "Dalam nama Tuhan, saya meminta kepada Anda: Hentikan pembantaian ini!" ucap Paus Fransiskus, sembari menambahkan bahwa kota-kota Ukraina berisiko menjadi 'pemakaman'.


Paus Fransiskus tidak menyebut langsung Rusia saat menyampaikan kecaman dan seruannya. Namun kata-kata yang digunakannya, seperti 'agresi bersenjata' dan 'tidak ada alasan strategis yang sah', tampaknya dimaksudkan untuk menentang pembenaran Rusia atas invasinya ke Ukraina.


Presiden Rusia Vladimir Putin diketahui menyebut pengerahan pasukan ke Ukraina sebagai 'operasi militer khusus'. Putin bahkan menekankan bahwa Rusia tidak berniat menduduki wilayah Ukraina, namun bertekad melakukan 'denazifikasi dan demiliterisasi' Ukraina.


Rusia juga berulang kali menegaskan tidak menargetkan kota-kota Ukraina dan tidak ada ancaman terhadap populasi sipil.


Namun pada praktiknya, tidak sedikit korban sipil yang dilaporkan berjatuhan dalam invasi Rusia ke Ukraina.


Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), seperti dilansir CNN, menyebut sedikitnya ada 1.581 korban sipil akibat invasi Rusia ke Ukraina. Dari angka itu, sedikitnya 579 warga sipil dilaporkan tewas, dengan 42 orang di antaranya merupakan anak-anak. Sekira 1.002 warga sipil lainnya dilaporkan luka-luka.


Sementara laporan dewan kota Mariupol pada Minggu (13/3) menyebut bahwa sedikitnya 2.187 warga Mariupol tewas akibat serangan Rusia. Otoritas Ukraina belum merilis data terbaru untuk total korban sipil akibat invasi Rusia di wilayahnya.


Jurnalis AS Tewas

Seorang jurnalis Amerika Serikat dilaporkan tewas di Ukraina pada Minggu (13/3) waktu setempat. Ukraina menuding pasukan Rusia menembaki jurnalis tersebut. Jurnalis itu tewas dalam insiden di Irpin, kawasan di dekat Ibu Kota Ukraina, Kyiv, yang memang menjadi salah satu medan tempur besar belakangan ini. Menurut laporan AFP, Senin (14/3) kartu identitas yang tersemat di tubuh pria itu menunjukkan bahwa ia merupakan jurnalis sekaligus juru kamera dokumenter dari New York, yang bernama Brent Renaud.


Selain itu, ditemukan pula kartu identitas The New York Times (NYT). Namun,NYT memastikan bahwa Renaud sedang tidak bekerja untuk mereka saat insiden terjadi. Dalam insiden tersebut, satu jurnalis AS lainnya juga terluka. Federasi Jurnalis Internasional menyatakan, jurnalis yang terluka itu adalah Juan Arredondo yang berprofesi sebagai fotografer. Tidak hanya itu, seorang warga Ukraina yang satu mobil dengan kedua jurnalis AS itu juga terluka.


Dalam salah satu video wawancara, Arredondo terlihat berbaring di rumah sakit. Ia kemudian menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya. "Kami hendak merekam pengungsi memulai evakuasi. Kami masuk ke dalam mobil. Seseorang menawarkan mengantarkan kami ke jembatan [lokasi evakuasi]," tutur Arredondo.


Arredondo melanjutkan ceritanya, "Kami melewati pos penjagaan dan mereka mulai menembaki kami, jadi sopir berputar dan mereka tetap menembak."


Pejabat Ukraina langsung menuding Rusia menembaki mobil tersebut. Kepala Kepolisian Kyiv, Andriy Nebitov, melontarkan tuduhan itu melalui unggahan di Facebook. Menurutnya, pasukan Rusia membunuh seorang jurnalis AS bernama Brent Renaud.


Nebitov kemudian mengungkap, insiden terjadi di Irpin, kawasan yang berdekatan dengan Ibu Kota Ukraina, Kyiv. "Dua jurnalis lainnya terluka. Yang terluka sudah diselamatkan dan dipindahkan ke rumah sakit di ibu kota. Kondisi mereka masih belum diketahui," ucap Nebitov, seperti dilansir CNN, Senin (14/3).


Seorang sukarelawan ahli bedah, Danylo Shapovalov, mengatakan bahwa Renaud tewas seketika akibat luka tembak di lehernya. "Mobil itu ditembaki. Ada dua jurnalis dan satu rekan kami. Rekan kami dan salah satu jurnalis terluka, dan saya memberikan pertolongan pertama. Satu lainnya terluka di leher dan dia langsung tewas," ucap Shapovalov.


Sementara itu, Penasihat Keamanan Gedung Putih, Jake Sullivan, mengaku sudah menerima laporan mengenai kematian jurnalis tersebut. "Kami akan berkonsultasi dengan pihak Ukraina untuk mengetahui bagaimana ini bisa terjadi dan menimbang tanggapan yang tepat," katanya.


Dekati Anggota NATO

Serangan rudal Rusia, Minggu (13/3) kemarin menghantam pangkalan besar Ukraina di dekat perbatasan Polandia yang notabenenya merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dilansir dari Reuters, Senin (14/3) pejabat setempat mengkonfirmasi, serangan itu menewaskan 35 orang dan melukai 134 lainnya.


Kementerian Pertahanan Rusia kemudian mengklaim serangan udara itu telah menghancurkan sejumlah besar senjata bantuan militer yang dipasok oleh negara-negara asing di fasilitas pelatihan Ukraina itu. Rusia juga mengklaim pihaknya telah menewaskan hingga 180 tentara bayaran asing'.


Kendati demikian, Reuters menegaskan pihaknya tidak dapat secara independen memverifikasi jumlah korban yang dilaporkan oleh kedua belah pihak itu.


Adapun serangan terhadap Pusat Perdamaian dan Keamanan Internasional Yavoriv--yang merupakan pangkalan yang hanya berjarak 15 mil atau sekitar 25 kilometer dari perbatasan Polandia yang sebelumnya menampung instruktur militer NATO--membawa konflik ke ambang pintu aliansi pertahanan Barat.


Rusia sebelumnya telah memperingatkan pada hari Sabtu (12/3) lalu bahwa rentetan pengiriman senjata Barat ke Ukraina dapat dianggap sebagai target yang sah. Sementara Inggris mengatakan insiden itu menandai 'eskalasi signifikan'.


Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan menambahkan, setiap serangan di wilayah NATO akan memicu respons penuh oleh aliansi sejumlah negara tersebut.


Terpisah, Gubernur regional Maksym Kozytskyy mengatakan pesawat Rusia menembakkan sekira 30 roket ke fasilitas Yavoriv, namun beberapa di antaranya berhasil dicegat.


Juru bicara kementerian pertahanan Rusia Igor Konashenkov juga mengatakan Rusia telah menggunakan senjata jarak jauh berpresisi tinggi untuk menyerang Yavoriv dan fasilitas terpisah di desa Starichi. "Akibat serangan itu, hingga 180 tentara bayaran asing dan sejumlah besar senjata asing dihancurkan," katanya.


Yavoriv, fasilitas seluas 360 kilometer persegi itu diketahui merupakan salah satu yang terbesar di Ukraina dan terbesar di bagian barat negara itu, yang sejauh ini terhindar dari pertempuran terburuk.


Militer Ukraina dilaporkan mengadakan sebagian besar latihannya dengan negara-negara Barat di pangkalan itu sebelum invasi oleh Rusia. Latihan besar terakhir adalah pada bulan September.


"Ruang makan dan asrama hancur. Begitu juga baraknya," kata seorang petugas di cadangan medis Ukraina Kolonel Leonid Benzalo. "Yang paling penting adalah kami masih hidup," katanya kepada Reuters usai merawat sejumlah orang yang terluka di sana.


Sementara itu, negara-negara Barat telah berusaha mengisolasi Putin dengan memberlakukan sanksi ekonomi yang keras kepada Rusia. (AFP/Rtr/detikcom/CNNI/d)

Penulis
: Redaksi
Sumber
: KORAN SIB
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com