Jakarta (SIB)
Aliansi Akademisi dari 119 kampus tetap menolak UU Cipta Kerja dan meminta UU itu untuk dicabut, salah satunya lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka juga mengajak seluruh akademisi lain untuk bersatu padu menolak UU tersebut.
"Mendesak pencabutan UU Omnibus Cipta Kerja, baik melalui PERPPU, UU ataupun melalui putusan MK dengan amar putusan yang mengabulkan permohonan uji formil dan materiil UU ini terhadap UUD," kata salah satu akademisi yang meneken petisi itu, Herdiansyah kepada wartawan, Jumat (15/11).
Beberapa nama akademisi itu di antaranya dari UGM yaitu Zainal Arifin Mochtar, dari Unair Surabaya, Herlambang P Wiratraman (UGM), dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari dan dari Unpad Bandung, Prof Susi Dwi Harijanti. Juga dari STIH Jentera Jakarta, Bivitri Susanti, dari Unsyiah Aceh Saiful Mahdi, dan dari UNJ Jakarta, Robertus Robert dan Ubedilah Badrun.
"Menyatakan bahwa UU Omnibus Cipta Kerja adalah peraturan yang menimbulkan kekacauan dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan cacat yuridis materiil dan formil sehingga layak untuk diabaikan rakyat," tuturnya.
Aliansi juga mengecam keberadaan UU Cipta Kerja yang tidak selaras dengan hak-hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Tidak hanya itu, UU tersebut juga dinilai hanya menjadi instrumen untuk memfasilitasi praktik rente yang menguntungkan kepentingan elite.
"Memberikan penghargaan kepada pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin dan DPR-RI sebagai rezim dan parlemen anti-rakyat dan anti-Pancasila karena telah menyetujui UU Omnibus Cipta Kerja," ujarnya.
Terakhir, Aliansi Akademisi juga mengajak civitas akademika di berbagai kampus untuk menggelorakan perlawanan terhadap UU Omnibus Cipta Kerja beserta seluruh aturan turunannya.
"Hingga produk UU anti rakyat tersebut dicabut," tuturnya.
Namun, tidak semua akademisi sepakat dengan seluruh argumen Aliansi Akademis di atas. Salah satunya Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed), Prof M Fauzan. Guru Besar di bidang hukum tata negara itu memilih sependapat dengan pemilihan omnibus law dengan alasan lebih cepat dan menghemat energi dan biaya. M Fauzan mengaku tidak bisa membayangkan apabila mengubah lebih dari 70 UU harus dilakukan secara konvensional. Sebab, akan memerlukan waktu yang sangat lama.
"Misalkan untuk perubahan satu UU dibutuhkan minimal waktu 3 bulan, maka diperlukan waktu minimal sekitar 210 bulan atau setara dengan 17 tahun 6 bulan. Belum lagi berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengubah 70-an UU tersebut," kata M Fauzan saat menjadi ahli di MK yang diajukan oleh DPR.
Sebagaimana diketahui, judicial review UU Cipta Kerja ke MK diajukan oleh banyak elemen. Yang mulai disidangkan saat ini 6 nomor perkara. Terakhir, Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAKA) juga mendaftarkan judicial review terkait pasal pengaturan amdal di UU Cipta Kerja dan saat ini masih diregistrasi di kepaniteraan MK.
"Menyatakan Pasal 22 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Penyusunan dokumen amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya'," demikian permohonan Yayasan HAKA dalam berkas judicial review-nya. (detikcom/a)