Medan (SIB)
Karyawan PT Sari Persada Raya (SPR) mengalami penganiayaan sekelompok penggarap sampai babak belur tanggal 20 Juli 2023. Di kebun PT SPR Huta Bagasan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan. Tidak hanya penganiayaan, pelaku juga melakukan pengrusakan kantor, penguasaan lahan dan penjarahan buah tandan buah segar (TBS) yang ditanam PT SPR.
Para korban penganiayaan diantara Christian Gung Pinto Sitepu, Fierman Haloho, Lurdiaman Sinaga dan lainnya, namun tak satupun pelaku ditangkap pihak Polres Asahan. Kejadian tersebut membuat Ketua LSM Sumut Institute Osriel Limbong angkat bicara.
Osril menyebutkan pihak kepolisian seharusnya bergerak cepat dan menangkap para pelaku, karena sudah ada korban dan bukti lainnya. Belum adanya satupun pelaku penganiayaan, perusakan penjarahan dan penguasaan lahan yang dijadikan tersangka membuat Osril Limbong heran, ada apa gerangan, padahal korban sudah membuat laporan pengaduan ke Polres Asahan.
“Kelompok penggarap sudah melakukan tindak kriminal di lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola PT SPR. Seharusnya pihak Polres Asahan selaku aparat penegak hukum tidak membiarkan permasalahan ini semakin berlarut larut. Tindakan pelaku sudah bertentangan dengan Undang Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,” kata Osril Limbong kepada wartawan, Selasa (19/9) di Medan.
Sekelompok masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut mengklaim lahan yang dikelola PT SPR tersebut adalah lahan milik mereka. Namun kata Osril, seharusnya, pihak-pihak yang merasa memiliki tanah dapat menunjukkan bukti bukti kepemilikan resmi, bukan hanya sebatas bukti yang ditandatangani Kepala Desa saja. "Harus ada bukti pendukung lainnya yang juga diakui pemerintah dan BPN ATR,"terangnya.
PT. SPR mengelola lahan seluas 4.434 hektar tersebut sejak tahun 1996. Kalaupun ada yang mengklaim memiliki surat tanah yang dikeluarkan oleh perangkat desa tahun 2002 hal itu dapat gugur dengan sendirinya apabila surat izin HGU yang dimiliki perusahaan yang terlebih dahulu mendapatkan izin pengelolaan hak guna usaha dari pemerintah berdasarkan UU Agraria," sebut Osril yang pernah menjadi staf ahli di DPRD Sumut ini.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan oknum yang mengatasnamakan apapun disana, apalagi sampai menimbulkan kekerasan, melakukan penganiayaan, penguasaan lahan dan penjarahan TBS, tambah Osril adalah cara-cara mafia tanah yang berusaha menggarap dan berharap mendapatkan lahan yang diklaim sebagai milik mereka. Pemerintah dalam hal ini pihak BPN, seharusnya memfasilitasi persoalan ini dan tidak membiarkannya berkembang dan berlarut-larut.
Sementara itu, Timbas Prasad Ginting, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Sumut ikut angkat bicara. Dia berharap Polres Asahan segera menindak tegas para pelaku agar membuat efek jera. Dia heran, kenapa setelah puluhan tahun PT. SPR mengelola HGU di areal tersebut muncul warga yang mengaku ngaku memilki tanah di areal lahan HGU PT. SPR. "Ini kan aneh dan perlu dipertanyakan dan ditelusuri pihak Polres. Karena jika memang oknum yang mengaku memiliki lahan di areal HGU PT SPR, jalurnya bukan kekerasan tapi membuktikannya di pengadilan.
"Kalau ada masyarakat yang mengaku itu lahan milik mereka, silahkan saja menggugat ke pengadilan. Bukan malah melakukan tindakan penjarahan TBS, penganiayaan, pengerusakan dan melakukan hal-hal yang membuat para pekerja atau karyawan perusahaan takut untuk bekerja yang akhirnya membuat ekonomi karyawan terancam. Kalau saya berfikir pihak kepolisian harus melakukan tindakan tegas dengan menangkap para pelaku tersebut," tegasnya.
Kasat Reskrim Polres Asahan AKP Irianto yang dikonfirmasi wartawan mengatakan, Polres Asahan sudah menetapkan para pelaku berjumlah 11 orang sebagai tersangka. Menurut Irianto, para tersangka sudah memenuhi panggilan Polres Asahan, namun pihak Kepolisian belum menahan para tersangka. (A5/c)