6 Ketakutan Orang Tua Jika Sekolah Kembali Tatap Muka


515 view
6 Ketakutan Orang Tua Jika Sekolah Kembali Tatap Muka
merdeka.com/Arie Basuki
Guru mengajar tatap muka di SDIT Nurul Amal, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Senin (16/11/2020). Proses belajar secara tatap muka atau luring ini menggunakan waktu belajar di sekolah yang didasarkan pada zona penerapan wilayah covid-19. 

Jakarta (SIB)

Sebelum tahun 2020 berakhir, pemerintah telah memutuskan untuk membolehkan kembali sekolah tatap muka dengan sejumlah syarat. Jam sekolah yang dipersingkat, kapasitas ruang kelas yang dikurangi, dan meniadakan aktivitas lain selain belajar (termasuk ekstrakurikuler) merupakan sejumlah batasan yang rencananya akan diterapkan jika sekolah kembali dibuka. Sayangnya, melonjaknya kasus Covid-19 di awal tahun 2021 membuat sejumlah pemerintah daerah menunda sekolah tatap muka. Sekolah daring kembali menjadi pilihan teraman, setidaknya selama satu hingga dua bulan ke depan jika angka penularan bisa ditekan. Hal ini ternyata juga menjadi pilihan sebagian besar orang tua (56,6%) di 18 provinsi yang berpartisipasi dalam survei Siap Sekolah 2021 yang diadakan Skata akhir Desember lalu. Ada sejumlah hal yang mereka takutkan jika anak kembali ke sekolah. Apa saja?

1. Tidak bisa menjaga jarak dengan teman

Dari mereka yang tidak setuju sekolah tatap muka, sebanyak 86,7% takut anak mereka tidak bisa menjaga jarak dengan temannya. Hal ini wajar mengingat usia anak responden terbanyak adalah SD (54,7%), yang kemungkinan besar masih belum bisa menahan diri untuk tidak bermain bersama teman-temannya setelah lama tak bertemu. Meskipun demikian, kedisipinan murid SMP dan SMA untuk menjaga jarak juga bisa goyah mengingat pergaulan adalah hal yang sangat penting bagi remaja. Ditambah, remaja juga suka hal yang memicu adrenalin, seperti melakukan hal yang dilarang tanpa mempertimbangkan risikonya.

2. Sering menyentuh benda yang disentuh banyak orang

Sulit rasanya meminta anak untuk tidak menyentuh apapun kecuali barang milik mereka sendiri di sekolah. Pegangan pintu, meja, kursi merupakan benda yang bisa saja disentuh oleh banyak orang. Penelitian membuktikan bahwa droplet (percikan air liur) yang mengandung virus SARS-CoV-2 dapat jatuh di permukaan benda dan bertahan antara 4 hinggan 72 jam. Anak bisa saja hanya fokus pada penularan melalui bicara jarak dekat, namun lupa bahwa menyentuh permukaan benda yang bervirus juga bisa menjadi sarana penularan Covid-19, apalagi jika tidak segera mencuci tangan.

3. Lupa mencuci tangan setelah menyentuh benda

Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir minimal selama 20 detik terbukti ampuh membunuh virus SARS-CoV-2. Sayangnya, banyak anak (bahkan orang dewasa) yang masih harus diingatkan untuk mencuci tangan sebelum makan atau setelah menyentuh berbagai benda. Inilah mengapa 68,9% orang tua takut anak lupa mencuci tangan setelah menyentuh benda yang berpotensi menjadi sarana penularan virus.

4. Melepas masker

Terbiasa di rumah saja selama pandemi membuat anak membutuhkan adaptasi untuk bisa tahan menggunakan masker dalam waktu yang lebih panjang. Anak prasekolah atau SD kelas kecil bisa saja reflek melepas masker ketika merasa gerah. Selain itu, masker mengurangi kejelasan ucapan sehingga anak rentan menurunkan masker sejenak jika temannya tidak bisa mendengar pembicaraannya dengan jelas. Hal ini jelas berbahaya mengingat droplet nuclei (yang berukuran lebih kecil dari droplet biasa) dapat bertahan di dalam ruang tertutup selama 8-14 menit.

Alasan lain, kadar RNA virus SARS-CoV-2 dari tes PCR pada anak ternyata sama atau lebih tinggi daripada orang dewasa. Pada anak yang bergejala klinis, semakin muda usianya semakin tinggi pula kadar virus dalam saluran napasnya, yaitu mencapai 10-100 kali lebih banyak daripada orang dewasa.

5. Mobilitas dan interaksi teman anak dan keluarganya di luar sekolah

Siapa sih yang tahu ke mana saja teman-teman anak pergi di luar aktivitas sekolah? Jika anak tidak bepergian selain ke sekolah, siapa yang bisa menjamin orang tua mereka tidak terkena virus SARS-CoV-2 saat bekerja, berbelanja, atau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya? Dengan positivity rate di atas 20% per Januari 2021 (idealnya hanya 5%, atau 5 orang yang positif per 100 orang yang dites), keluarga bisa menjadi klaster penularan Covid-19. Anak bisa saja tertular Covid-19 dari orang tuanya yang OTG atau tanpa gejala, lalu menularkan pada teman dan gurunya di sekolah. Dengan risiko tak terhindarkan seperti ini, sebanyak 54, 4% orang tua takut interaksi di luar sekolah menjadi sarana pembawa virus SARS-CoV-2 ke sekolah.

6. Bertukar makanan dengan teman

Ditutupnya kantin selama pandemi membuat anak harus membawa bekal. Pada murid berusia lebih muda, 44,4% orang tua khawatir mereka akan bertukar atau berbagi bekal dengan teman sekolahnya. Pengawasan guru menjadi tumpuan agar risiko semacam ini bisa dicegah.

Selain 6 ketakutan di atas, orang tua juga khawatir terjadi penularan melalui penggunaan toilet bersama dan lebih mudahnya anak terserang sakit jika kembali ke sekolah. Dengan risiko sebanyak itu, orang tua pun lebih memilih "repot" mengajari anak di rumah namun anak terjaga kesehatannya daripada mengizinkan mereka kembali sekolah tatap muka. Bagaimana dengan Anda? (Kumparannews/f)

Penulis
: Redaksi
Sumber
: Hariansib edisi cetak
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com