Menggali Potensi Perfilman Indonesia


438 view
 Menggali Potensi Perfilman Indonesia
PIXABAY/mohamed_hassan
ILUSTRASI film.

Pada 10 Maret merupakan Peringatan Hari Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), yang didirikan pada awal Maret 1956 dalam kongres yang diadakan para pemain dan pekerja film saat itu. Para tokoh yang mendirikan Usmar Ismail dan Djamaludin Malik.


PARFI merpakan salah satu organisasi yang menaungi para artis regional maupun nasional dan berpusat di Jakarta. Banyak kalangan artis nasional yang bergabung di organisasi ini. Selain organisasi profesi keartisan film Indonesia yang menjadi wadah bagi para seniman seni peran film, PARFI juga turut membina kemampuan profesi anggota melalui pendidikan dan latihan maupun sarana lain yang menunjang. Dilakukan juga kegiatan-kegiatan sosial yang mampu menjembatani hubungan para artis film dengan masyarakat.

Keinginan para artis untuk membentuk organisasi sudah ada sejak tahun 1940, saat dibentuk SARI (Sarikat Artist Indonesia). Mereka yang menjadi anggota SARI adalah pemain sandiwara, penari, sutradara, penyanyi hingga pelukis. Kemudian pada tahun 1951, lahir Persafi (Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia). Ini adalah wadah lanjutan dari SARI, meski selanjutnya terjadi pula kemandulan, sebelum kemudian lahirlah PARFI pada tahun 1956. Kongres Pertama embrio PARFI diadakan di Manggarai pada 1953.

Lahirnya PARFI berawal dari kevakuman kegiatan SARI akibat masuknya Jepang ke Indonesia. Seiring dengan perjalanan waktu dan menjadi saksi sejarah, pada 10 Maret 1956 PARFI didirikan di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di Jalan Kramat V Jakarta Pusat, Ketua Umum yang pertama PARFI adalah Suryo Sumanto.

Ketika era Orde Baru, PARFI sempat dikabarkan membentuk sebuah badan politik dikarenakan banyak dari para artis yang terjun ke dunia politik. Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkaraman politik saat itu, PARFI semakin dikenal masyarakat Indonesia. Lewat berbagai kegiatan yang bermanfaat baik dalam segi budaya, sosial hingga pelestarian lingkungan. Cabang organisasi PARFI hingga saat ini masih ada di seluruh nusantara. Sehingga tidak hanya terpusat di ibu kota namun hingga kota-kota besar lainnya.

Namun seiring bergulirnya waktu, keberadaan PARFI tidak sesohor dulu. Hal ini tak terlepas dari lesunya dunia perfilmam Indonesia. Memang PARFI masih ada di daerah-daerah, tetapi kondisinya bagai hidup segan mati tak mau.

Hingga saat ini pengurus PARFI dan anggotanya tetap berupaya keras membangkitkan semangat dunia perfilman maupun sinema elektronik (sinetron), namun lagi-lagi terkendala. Kali ini dihadang bencana pandemi Covid-19, yang mengharuskan setiap orang menjaga jarak dan prokes lainnya. Bioskop-bioskop pun tak bisa beroperasi, dan bila pun buka tetap sepi penonton.

Begitu juga dengan dunia sinetron maupun seni peran lainnya, semua terpangkas aktifitasnya. Sehingga artis dan pekerja seni lainnya terpukul, bertahan saja pun sulit apalagi untuk bergerak maju.

Meski demikian, para artis dan pekerja film tidak boleh putus harapan. Karena bagaimanapun seni akan abadi dan tetap memiliki nilai jual. Hanya saja tergantung bagaimana mengolah dan mengelolanya supaya berkualitas dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Kita memiliki pangsa pasar yang tinggi, 20 persen saja dari jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, sudah mampu membuat film, sinetron, teater dan seni peran lainnya bisa hidup. Apalagi bila mampu merambah luar negeri seperti negara serumpun, yang dulu pernah "dikuasai" Indonesia.

Cuma saja kita harus lebih giat belajar dan membuat kualitas sangat baik. Karena dalam teknologi yang canggih sekarang, sangat mudah orang berkarya dan membuat konten menarik yang sangat cepat ditangkap masyarakat. Jadi tidak bisa hanya mengandalkan kecantikan atau ketampanan artis, tetapi kekuatan akting artis, pengambilan gambar, ide cerita dan banyak hal lainnya sangat mempengaruhi.

Kita bisa melihat bagaimana Holywood dan Bolywood membuat produksi film. Mereka tak tanggung-tanggung, bagus di semua lini. Bahkan drama Korea juga sudah mendunia, remaja demam dibuatnya. Seharusnya kita juga bisa seperti mereka, karena kita juga memiliki potensi besar seperti lokasi dan ide cerita dari berbagai daerah.

Tidak ada yang bisa membuat kita terpuruk bila mampu memanfaatkan olah pikir dan menggali potensi. Jadikan kondisi yang sulit sebagai motivasi untuk bisa lebih maju lagi di masa mendatang. Yakinlah perfilman dan seni peran Indonesia tak kan berhenti bila menyadari bahwa kita memiliki kekuatan besar. (***)

Penulis
: Redaksi
Sumber
: Hariansib edisi cetak
Tag:
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com