Memanusiakan Manusia


300 view
Memanusiakan Manusia
Internet
Ilustrasi Napi di Penjara

Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) menyoroti permasalahan overcrowded atau jumlah penghuni melebihi kapasitas di tempat penahanan seperti lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan). KuPP mengatakan jumlah penghuni Lapas dan Rutan saat ini lebih banyak dibandingkan dengan kapasitasnya.

Data terbaru ada 200 ribu lebih warga binaan yang berada di Lapas dan Rutan. Sementara, kapasitas Lapas dan rutan sendiri hanya diperuntukkan menampung sekitar 100 ribu lebih orang.

Sementara itu jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni Lapas dan Rutan yang ada di Sumut pada 2019 mencapai 34.439 orang. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan daya tampung Lapas dan Rutan yang ada, yakni 12.785 orang.

Di Sumut ada 42 Satker terdiri atas 39 Lapas dan Rutan, 2 Balai Permasyarakatan yakni Medan dan Sibolga. Kondisi Lapas dan Rutan itu pada umumnya sama yakni mengalami overkapasitas. Sehingga overkapasitas penghuni Lapas dan Rutan se-Sumatera Utara sekitar 269 persen.

Persoalan Lapas overkapasitas di negeri ini bukan persoalan baru lagi, sudah berlangsung sejak lama, namun hingga saat ini seperti belum ada solusi untuk mengatasinya. Sehingga kemungkinan besar timbul berbagai macam potensi persoalan, antara lain terjadinya keributan hingga kaburnya warga binaan.

Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun 2013 terjadi kerusuhan dan kebakaran di penjara Medan yang menyebabkan paling tidak sekitar 100 narapidana melarikan diri, termasuk napi teroris.

Pasukan gabungan yang terdiri dari polisi dan militer mengamankan jalan-jalan dan memburu para tahanan yang melarikan diri tersebut.

Sebelumnya para narapidana melakukan protes karena air dan listrik tidak mengalir di penjara itu. Hal ini tentu sangat terkait dengan overkapasitasnya Lapas.

Jumlah tahanan di LP Tanjung Gusta saat itu sekitar 2.600-an sementara daya tampung hanya 1.000 narapidana.

Sulit menggambarkan kondisi dalam Lapas kita bila dikaitkan dengan HAM. Sudah rahasia umum kalau Lapas di Indonesia sangat jauh dari kesan manusiawi. Warga binaan bertumpuk dalam satu ruangan sempit, sehingga terkadang untuk tidur normal saja sangat sulit. Apalagi bila dibandingkan dengan fasilitas Lapas di luar negeri, sangat tidak bisa disetarakan.

Ibarat kata, kalau masuk Lapas di Indonesia warga binaan sudah masuk "neraka" dunia. Selain sangat sulit mendapatkan hak-haknya, keluarga juga menanggung beban materi yang sangat besar. Bila ingin mendapatkan fasilitas yang agak layak, harus mengeluarkan sejumlah uang. Bagi napi dari kalangan keluarga tak mampu, harus bersiap menerima konsekuensinya.

Beda dengan warga binaan yang berduit, biasanya yang terlibat kasus korupsi, Lapas tidak begitu menjadi masalah, karena semua bisa diatur. Sehingga terjadi ketimpangan sosial yang sangat menyolok antara warga binaan yang susah dengan yang kaya.

Kondisi ini tentu menjadi "pemasukan" bagi oknum petugas Lapas, karena dari sini mereka menghasilkan pundi secara terus-menerus. Hal ini pula yang mungkin mereka harapkan supaya Lapas kondisinya tetap seperti ini, supaya tak hilang mata pencaharian. Bisa jadi ini pula yang menyebabkan tidak adanya upaya perubahan kondisi Lapas dari dulu hingga sekarang.

Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kondisi Lapas Indonesia, sebelum terjadi lagi masalah besar seperti pada tahun 2013 itu. Meski warga binaan itu orang-orang salah, tetapi mereka manusia juga yang butuh perlindungan dan kenyamanan.

Saatnyalah membenahi Lapas Indonesia supaya bisa lebih baik. Manusiakanlah manusia. Jangan manfaatkan kesusahan orang lain untuk membuat kita senang. Itu artinya sama dengan bahagia di atas penderitaan orang lain. (***)

Penulis
: Redaksi
Sumber
: Hariansib edisi cetak
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com