Masyarakat NKRI hidup dan bersosialisasi di dalam berbagai kelompok, dialek, bahasa, dan budaya yang berbeda satu sama lain, tetapi bernaung dalam satu wawasan nusantara dibalut oleh bingkai Pancasila.
Mendiang Soekarno mencetuskan resep perekat bangsa, konsepnya mutahir dan tidak tergoyahkan walaupun terjadi perubahan zaman.
Pemberontakan komunis tahun 1965 sungguh keji, beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat menjadi korban, tetapi tidak bisa menguburkan hakekat pluralisme dalam kehidupan masyarakat NKRI.
Era reformasi Mei 1998 di zaman Habibie sebagai presiden RI mengkreasi kebebasan berpendapat, idenya cukup cemerlang.
Akan tetapi masyarakat belum mampu menyerap hakekat masyarakat pluralisme sebagai unit kesatuan yang saling mendukung satu sama lain, akibatnya terjadi sekat-sekat di dalam masyarakat sesuai dengan indentitas masing-masing, kondisi ini akhirnya menimbulkan konflik dan jurang kebencian.
Kelihatannya bulan madu Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa mulai terkoyak dan tafsiran terhadap nasionalisme kebangsaan belum benar-benar kokoh dan dipahami sebahagian besar masyarakat.
Melirik kembali ketika proses pemilihan gubernur Jakarta tahun 2016/2017.
Manuver “identittas” sangat kental, akibatnya berbagai dalih muncul untuk memilih gubernur pengganti dari kelompok identitas tertentu.
Harmonisasi rumah tanggapun bisa terganggu hanya karena pilihan calon yg berbeda.
Hal ini bisa terjadi karena para politikus belum memahami kehadiran setiap orang di NKRI adalah ridho Tuhan.
Akibatnya timbul benih-benih perpecahan dan menciptakan permusuhan.
Calon gubernur atau presiden yg melakukan kampanye sewajarnya memaparkan Visi membangun tanah air, bukan memperruncing perbedaan antar kelompok masyarakat.
Bara Api Nasionalisme
Pada akhir tahun 1920-an, semangat heroik nasionalisme sdg berkobar untuk menghalau penjajahan Belanda dari bumi NKRI.
Bung Karno melukiskan, rasa kebangsaannya didorong oleh suasana birunya gunung dan moleknya lembah.
Haji Agus Salim menolak keras pernyataan nasionalisme Bung Karno, mereka berdebat sengit lewat tulisan yg bermoral politik cendekiawan.
Bagi Haji Agus Salim yg mewakili golongan Islam berpendapat bahwa, nasionalisme itu karena Allah Ta'ala.
Nasionalisme terhadap tanah air tidak dipengaruhi: cantik, molek atau tidak tanah air.
Perbedaan pendapat yg sengit dan tajam ini terkendali, hanya berada di tataran kelas puncak, tidak merambat ke akar rumput.
Meskipun Bung Karno, Agus Salim dan Sutan Sjahrir berbeda pandangan, tetapi sikap kenegarawanan ketiga tokoh ini patut diteladani, mereka masih bisa duduk bersama menyusun langkah-langkah strategis untuk masa depan bangsa, walaupun diberbagai hal ada perbedaan pola pikir.
Perlu disadari, bangsa Indonesia sdh lahir dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan golongan.
Bisa dibuktikan pada waktu awal pendirian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tgl 7 Agustus 1945, panitia memikirkan kebersamaan keterwakilan anggota dari seluruh jajahan Hindia belanda sebanyak 21 orang (Jawa 12 orang, Sumatra 3 orang, Sulawesi 2 orang, Kalimantan 1 orang, Nusa Tenggara 1 orang, Maluku 1 orang, dan Tionghoa 1 orang, Drs. Yap Tjwan Bing).
Pertanyaan, Apakah doktrin pluralisme yg dibangun dan dikukuhkan pemuda Oktober 1928 masih utuh saat ini sebagaimana suasana sebelum kemerdekaan?