Bulan Juni bukan hanya sibuk mempersiapkan peringatan hari lahirnya Pancasila, tetapi menyaksikan beberapa media sosial dihiasi oleh berita Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia beserta angggota, yaitu Persatuan Dokter Gigi, Ikatan Bidan, Persatuan Perawat Nasional, dan Ikatan Apoteker, memadati area gerbang gedung DPR untuk berunjuk rasa, menolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law, karena ada dugaan bahwa perencanaan program undang-undang yang disusun tidak mengikuti langkah sistematis.
Undang-undang itu perlu ditolak, karena tidak ada kajian akademis, tidak transparan, dan tidak melibatkan Ikatan Dokter Indonesia sebagai pengguna jasa, akhirnya akan merugikan masyarakat. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi menyampaikan dengan tegas penolakan tersebut, ikatan kedokteran tidak mau organisasi profesi menjadi marjinal. Organisasi profesi kedokteran sudah berdiri sejak 24 Oktober 1950, bertujuan untuk memadukan segenap potensi dokter dari seluruh Indonesia, menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat serta kehormatan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.
Dengan demikian tidak perlu membuat perubahan undang-undang kesehatan, yang perlu adalah pemerintah melakukan dan mempersiapkan sarana, prasarana kesehatan di pelosok tanah air supaya layanan kesehatan bisa merata. Menurut Kemenkes Mohammad Syahril, bahwa sesungguhnya “roh” Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law, ialah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Penulis khawatir bahwa motivasi para dokter menolak undang-undang kesehatan, karena kenyamanannya terganggu melihat beberapa terminologi yang tercantum dalam undang-undang, misalnya kata dokter malapraktik, lalai, dan bersalah dalam tugas bisa dituntut hukuman pidana, kemudian dokter asing di izinkan masuk dan bekerja praktek di Indonesia, kelihatannya membuka liberalisasi dan akan mengganggu kenyamanan dalam negeri.
Kata-kata dalam undang-undang Kesehatan Omnibus Law mengurangi dan menganggu keleluasaan para dokter. Karena di dalam undang-undang sudah tertulis, bila ada dokter/medis malapraktik bisa dituntut hukuman pidana. Kondisi yang dihadapi selama ini dalam pelayanan medis adalah: bila tindakan dokter/medis di dalam pelayanan kepada pasien tidak akurat, bahkan bila pasien menderita cacat, tidak pernah keluarga bisa menggugat dan menuntut dokter. Nazar mengungkapkan bahwa malapraktik medis merupakan kegagalan dalam menyelenggarakan standar pelayanan yang berlaku dan merupakan tanggung jawab profesi.
Profesi kedokteran dilindungi Ikatan Dokter Indonesia yang seolah-olah “dewa” penyelamat para medis dan tidak bisa disentuh kenyamanannya. Tidak heran sebahagian masyarakat berpendapat bahwa Ikatan Dokter Indonesia sebagai organisasi super power yang dapat melakukan berbagai kebijakan untuk melindungi dan menaungi korpsnya, tetapi melalaikan kenyamanan pasien. Sekarang, muncul pertanyaan. Apakah ikatan dokter harus melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR, mengangkat spanduk ramai-ramai menolak perubahan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law?
Apakah Undang-Undang di Negara Republik Indonesia tidak bisa dirubah? Menurut catatan, konstitusi Indonesia sudah menorehkan beberapa kali perubahan sejak kemerdekaan Agustus 1945. Antara lain, dimulai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, kembali lagi ke Undang-Undang Dasar 1945 hingga tahun 1998. Kemudian dengan tuntutan reformasi Mei 1998, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami perubahan sampai empat kali, antara lain disebut Amandemen I, 19 Oktober 1999, Amandemen II, 18 Agustus 2000, Amandemen III, 10 November 2001 dan Amandemen IV, 10 Agustus 2002.
engan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar, maka sekarang rakyat bisa langsung memilih presiden, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, kemudian Polri dipisah dari ABRI. Mendirikan juga berbagai lembaga melengkapi struktur administrasi pemerintahan seperti: Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi. Berarti perubahan dalam organisasi dapat mendorong inovasi diberbagai bidang kerja, produk, layanan dan beradaptasi dengan perkembangan karena perubahan lingkungan, teknologi dan arus globalisasi. Sesungguhnya tujuan membuat perubahan adalah untuk memperbaiki system, supaya bisa berjalan efektif dalam pengelolaan organisasi serta efisien mengalokasikan biaya dan mampu bersaing di pasar.
Upaya ini termasuk perbaikan kompetensi tenaga kerja, perubahan struktur, pemanfaatan teknologi mutahir, serta implementasi strategi perusahaan. Itulah sebabnya perubahan perlu dikelola dengan cermat karena kompleksnya proses transformasi. Apakah dengan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law pemerataan tenaga dokter/medis sudah bisa disebar di pelosok tanah air? Belum tentu, tetapi sudah ada acuan dan menjadi patokan bagi seluruh pelayan kesehatan untuk mengetahui hak dan kewajiban masing-masing
Bagaimana layanan kesehatan para dokter/medis terhadap masyarakat di tanah air bisa maksimal, sehingga tidak berbondong-bondong berobat ke Singapura dan Penang? Menurut World Health Organization, Desember 2022, rasio antara dokter dengan pasien adalah 1:1.000, artinya seorang dokter melayani 1,000 penduduk. Rasio dokter Indonesia adalah 0.63:1.000 luar biasa, urutan paling bawah diantara negara-negara ASEAN. Timor Leste 0.77:1,000; Myanmar 0.74:1,000, Filipina 0.64:1.000, Malaysia 1.54:1,000, Brunai 1.64:1,000 dan Singapura 2,29:1,000. Bila penduduk Indonesia 270 juta, maka dokter yang dibutuhkan saat ini adalah 170.000 (270 juta dibagi 1.000).
Menurut laporan Badan Pusat Statistik tahun 2022, jumlah tenaga medis di Indonesia yang meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sebanyak 170.541 orang, berarti masih kekurangan dokter 99.459 (270.000 kurang 170.541). Bagaimana masyarakat mendapat layanan maksimal dengan kekurangan dokter? Kemudian kondisi dokter sekarang tidak merata di kota, desa dan daerah terpencil. Dan bisa dilihat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia juga masih dibawah Malaysia. Salah satu faktor Indeks Pembangunan adalah unsur kesehatan dan umur panjang, akses memperoleh pendidikan, dan penghasilan yang memadai.
Tidak heran layanan kesehatan di berbagai rumah sakit tidak maksimal, karena faktor tenaga kedokteran/medis tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisa lihat contoh faktual pelayanan kesehatan melalui Puskesmas. Apakah Puskesmas bisa maksimal melayani masyarakat di kota, desa? Menurut Permenkes 75 tahun 2014 Standard Pusat Kesehatan Masyarakat, ialah minimal 3 dokter melayani, dua dokter rawat inap, dan satu dokter non rawat inap, baik di daerah perkotaan, desa dan kawasan terpencil. Apakah rasio dokter puskesmas tahun 2022 sudah memadai?
Menurut profil kesehatan 2021. Total pelayanan Puskesmas di Indonesia sampai bulan Desember 2022 adalah 10.292 unit yang terdiri dari 4.201 puskesmas rawat inap dan 6.091 puskesmas non rawat inap. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Puskesmas menyebutkan bahwa puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya. Tetapi data dari kemenkes bln April 2022, ada 586 puskesmas di Indonesia belum mempunyai dokter.
Tidak heran bila penduduk di daerah tertinggal kesulitan dalam pelayanan kesehatan. Misalnya Kabupaten Talaud, bila Rumah Sakit Daerah tidak mampu lagi merawat pasiennya, keluarga harus memindahkan ke Rumah Sakit Sarundajang Manado dengan jarak tempuh naik kapal laut selama 12 jam. Inilah tantangan yang perlu juga diperhatikan oleh Menteri kesehatan. Perihal kekurangan dokter, Pemda setempat bisa menginventarisasi anak-anak potensial, direkrut untuk jurusan kedokteran.
Karena faktor geografis dengan ratusan kepulawan yang dipisahkan laut luas, maka cukup tepat Bupati/Walikota mengelola SDM, mencari bibit unggul dikuliahkan ke universitas. Bilamana sudah lulus, merekalah menjadi asset dan pilar kesehatan melayani daerah masing-masing. Perihal dokter malapraktik, lalai dan bersalah dalam tugas, aturan ini menjadi pemicu agar para dokter/medis meningkatkan kompetensi masing-masing dan tidak perlu cemas. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter lokal supaya bisa kerja sungguh-sungguh, komit terhadap tugas dan setia pada sumpahnya. Kehadiran dokter asing tidak perlu dianggap sebagai “ancaman”, tetapi sebagai partner pembanding. Mudah-mudahan dengan perubahan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law, kualitas dokter/medis Indonesia berangsur-angsur akan meningkat bisa setara dengan tetangga Malaysia, pada akhirnya masyarakatlah yang diuntungkan. (Penulis adalah mantan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pelita Harapan)