Pelayan Publik Terperangkap di Pusaran Kekuasaan, Harta, dan Hedonisme

Oleh: Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA

420 view
Pelayan Publik Terperangkap di Pusaran Kekuasaan, Harta, dan Hedonisme
Foto Dok/Pribadi
Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA, mantan dosen FE- UPH
Mengamati persidangan Teddy Minahasa di Pengadilan Jakarta Barat sungguh memberikan pelajaran penting karena beliau menjadi salah satu sutra darah pengedaran narkoba.
Terbukti dengan tertangkapnya hasil sitaan Polres Bukittinggi sebanyak 5 kg sabu, dimana kesatuan POLRI yang didukung oleh Teddy Minahasa sebagai mantan Kapolda-Sumbar merusak nama korps, karena melibatkan AKBP Dody Prawiranegara, Kompol Kasranto, Aiptu Jan Situmorang, demikian juga Linda Pujiastuti, Muhammad Nasir, Syamsul Maarif, merupakan mata rantai praktek 'Geng Narkoba' untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkoba.
Linda Puji Astuti sebagai informan ikut di dalam kapal waktu melakukan ekspedisi ke Laut Cina Selatan. Bahkan sudah melakukan tiga kali kunjungan ke pabrik sabu di Taiwan bersama Teddy Minahasa.
Teddy memberikan pesan kepada Linda untuk disampaikan ke bandar sabu, yaitu: “Buy 1, Get 1” Artinya sabu yang akan dikirim 2 ton ke Indonesia, satu ton pertama bebas dan satu ton berikutnya baru ditangkap.
Nampaknya, jiwa wirausaha Teddy Minahasa lebih kental dibandingkan dengan profesi polisi sebagai pelayan masyarakat dan penegak hukum.
Masyarakat sebenarnya membutuhkan pelayanan publik dari Kepolisian untuk memuaskan serta memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai pelanggan.
Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif.
Bila polisi sudah melibatkan diri keranah transaksi narkoba, berarti hakekat sebagai pelayan publik dan penegak hukum sdh bergeser menjadi pebisnis yang terselubung.
Wajah di luar tampak sebagai abdi negara, bertindak seolah-olah pelayan publik, tetapi sesungguhnya tindakannya bagaikan serigala berbulu domba.
Dengan jelas di daerah NKRI, narkoba menjadi salah satu komoditas yang perlu diwapadai peredarannya, mengingat ancaman SDM generasi millenial bisa tercabik-cabik pola pikirnya, karena kecanduan narkoba dapat menghilangkan pemikir-pemikir tangguh masa depan bangsa. Itulah sebabnya kejahatan narkoba dapat dikategorikan sebagai ancaman negara dalam bidang non militer (perang asimetris).
Korps Kepolisian sebagai pelayan publik dan abdi negara sepatutnya melakukan hal-hal penting untuk, menangkap para pengedar, melokalisir tempat-tempat penjualan narkoba, mempersempit daerah peredaran, mengedukasi orang tua dan pelajar-pelajar di sekolah.
Mengapa peredaran narkoba dianggap sebagai ancaman? Narkoba merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam ketahanan nasional, karena dalam perkembangannya penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Maraknya penyimpangan perilaku generasi muda tersebut, dapat membahayakan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia di kemudian hari.
Dalam hal inilah sewajarnya para pelayan publik di kepolisian sungguh-sungguh bekerja sebagai profesi.
Bila melihat korban narkoba periode 2019-2021 dari kategori populasi umur 15 s.d. 64 tahun. Thn 2019: yang pernah pakai narkoba 4.534.744 orang, selama satu tahun pakai narkoba 3.419.185 orang; thn 2021: pernah pakai narkoba 4.827.616 orang; setahun pakai narkoba 3.662.640 orang.
Persentasi yang menikmai narkoba thn 2019 sebesar 4,25 persen dari total penduduk, thn 2021 naik menjadi 4,53 persen (populasi 187.573.456).
Bagaimana bisa NKRI meminimalkan pemakaian narkoba kalau saja penegak hukum kepolisian ikut terlibat: melindungi, memayungi dan memperjual belikan narkoba? Apakah korps kepolisian sudah terjebak di dalam pusaran kekuasaan yang mengejar harta dan berperilaku hedonisme? Apakah motif sebahagian pejabat tinggi sudah dominan mengejar keuntungan ekonomi daripada profesi polisi sebagai pelayan publik dan abdi negara?
Tidak ketinggalan pelayanan publik di perguruan tinggi/kampus mewarnai tontonan yang tercela dan mengoyak kepercayaan masyarakat.
Sewajarnya kampus merupakan sumber ilmu, gudang cendekiawan, dan motor penggerak perubahan di dalam masyarakat, tetapi sebahagian pejabat strukturalnya terperosok memperkaya diri dengan mengabaikan etika dan moral.
Rektor Udayana Bali-I Nyoman Antara tersandung menerima gratifikasi yang merugikan keuangan negara seesar Rp445 miliar dari penerimaan SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) periode thn 2018-2019 s.d 2022-2023.
I Nyoman sebagai Ketua Penerimaan Mahasiswa Mandiri membuat kebijakan terhadap 362 mahasiswa fakultas Teknik dan Kedokteran dengan variasi sumbangan berkisar antara Rp500 juta s.d. Rp 1 miliar.
Karakter seperti apa yang diberikan para pejabat struktural terhadap mahasiswanya? Rektoriat sdh menginisiasi penerimaan SPI sebagai lahan basah untuk memperkaya diri sendiri.
Marwah pendidik sebagai panutan dalam etika dan moral hilang ditelan motif ekonomi yang tidak bisa dikendalikan.
Tidak heran perilaku mahasiswa dalam proses belajar dan mengajar kurang berbobot, kemampuan dan mutu intelektualnya tidak utuh.
Tidak heran tamatan mahasiswa NKRI kalah bersaing dengan tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Filipina.
SDM lulusan kampus dengan jalur mandiri, akan melakukan berbagai bentuk/modus menginisiasi, menciptakan berbagai proyek untuk mencari uang sebagaimana dia melihat perilaku tim dosen pada waktu proses penerimaan mahasiswa jalur mandiri tanpa memperhatikan etika dan moral, tetapi fokus dengan bilangan keuangan.
Sehingga dimanapun nanti mahasiswa berkarya sebagai kariawan kantor, atau pelayan publik, kualitasnya tidak bisa diandalkan secara maksimal.
Saat ini NKRI sebagai bangsa besar bukan lagi hanya berhadapan langsung dengan musuh dari luar negeri, tetapi dgn unsur pelayanan publik yang menyalah gunakan tanggungjawab dan wewenangnya. Bagaimana mungkin masyarakat patuh kpd pamong, bila melihat sepak terjang POLRI sebagai penegak hukum tidak menjadi panutan, malahan sibuk memperkaya diri, bukan menekuni profesinya sebagai abdi negara.
Bulan Februari lalu, kaus Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati oleh Ktr. Pengadilan Jakarta Selatan, hanya berselang dua bulan telah muncul kasus Teddy Minahasa, apakah tidak memalukan korps kepolisian? Demikian juga administrasi kampus sudah semrawut dalam penerimaan mahasiswa mandiri.
Belum terlupakan kasus Rektor UNILA Bandar Lampung dengan pejabat struktural yang terseret di duga melakukan korupsi, juga dari penerimaan mahasiswa mandiri. Memang ini menjadi lahan menarik, karena rektor bisa menerbitkan berbagai kebijakan mengeruk uang dari calon mahasiswa. Tidak tertutup kemungkinan hal ini merupakan celah untuk melakukan korupsi, karena kebijakan tergantung pada kampus pengelola. Berbagai kecurangan dilakukan para akademisi kampus untuk mengejar jenjang kepangkatan, karena terpukau dengan sanjungan dana SERDOS. Tidak heran beberapa guru besar tersandung melakukan manipulasi ilmiah melalui plagiat atas tulisan orang lain, karena tergiur dipusaran tahtah, pangkat dan harta.
Tidak ketinggalan mantan rektor Universitas Maranatha Dr Felix Kosim, Dosen hubungan Internasional Unpar Dr Anak Agung Banyu Perwita, kasus UNJ Dr Djaali, Dosen UGM Dr Anggito Abimanyu.
Kasus di korps kepolisian dan perguruan tinggi ini benar-benar membutuhkan perhatian serius. Karena kepolisian dan kampus langsung memberikan efek domino kpd masyarakat. Kesempatan sdh diberikan kepada pejabat struktural dengan kompetensi masing-masing sesuai dengan kemampuan, Tetapi perlu diwaspadai komitmennya bagaimana? Pemerintah, wajib membuat aturan hukum untuk memberikan pembelajaran bagi pejabat, menciptakan Undang-undang seara terbalik - yaitu seseorang hrs bisa membuktikan asal usul kekayaannya bila melihat harta kekayaan tidak wajar.
Kemudian kebijakan perguruan tinggi ditinjau kembali khususnya terhadap penerimaan mahasiswa Jalur Mandiri, karena hal ini justru meng-inisiasi bentuk-bentuk cobaan berbuat kecurangan.
Sesungguhnya pelayan publik hrs meningkatkan kualitas pelayanan dengan memperhatikan asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, terhadap masyarakat yang dilayani.
Perlu para pejabat memperhatikan Amanah seorang pendidik Ellen G. White (1952:57) mengatakan: “kebutuhan besar dunia saat ini adalah manusia yang tidak bisa diperjual belikan, manusia yang di dalam jiwanya tertanam benih kebenaran, jujur, dan tidak mengkreasi kebohongan menjadi sumber keuntungan.
Manusia yang tidak takut menyebutkan kesalahan, dan penyimpangan, manusia yang tahan berdiri tegak walaupun langit runtuh.” Kapan pejabat di korps Kepolisian dan Perguruan Tinggi bisa tegak meningkatkan pelayanan publik dengan TARIF (transparan, akuntabel, responsif, independen, dan fair/adil)? Semoga, ya Bravo Indonesia.(Penulis: Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA, mantan dosen FE- UPH)

Editor
: Bantors
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com