Oleh: Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA
Presiden Joko Widodo meresmikan Tzu Chi Hospital, Rabu tgl 14 Juni 2023. Dia berkeliling di lingkungan rumah sakit, menyaksikan berbagai fasilitas, sarana dan alat perlengkapan canggih. Kemudian dalam kata sambutan, mengimbau bagi masyarakat tidak perlu lagi berobat ke luar negeri, tetapi mengunjungi Tzu Chi Hospital, lokasi di Pantai Indah Kapuk cukup besar dengan kapasitas kamar rawat inap 556 tempat tidur.
Peresmian Rumah Sakit Yayasan Budha Tzu Chi Medika Indonesia ini menjadi perhatian masyarakat pemerhati kesehatan, karena dalam sambutan Presiden menyatakan bahwa setiap tahun hampir satu juta orang pasien Indonesia berobat ke luar negeri. Antara lain, Singapura, Malaysia, Thailand bahkan ke Jepang. Sebanyak 60 persen dari Jakarta, 15 persen dari Surabaya, dan sisanya dari Medan, Batam dan kota lainnya.
Sekarang sudah hadir Tzu Chi Hospital memfasilitasi lima keunggulan layanan, antara lain, Pengobatan Bedah Saraf, Perawatan Paliatif, Penanganan Kanker, Perawatan Ibu dan Anak, dan Tranplantasi Sumsum Tulang Belakang. Keinginan berobat ke luar negeri sudah bisa dialihkan ke Jakarta, para dokter Indonesia cukup kompoten untuk melayani pasien. Salah satu hal penting dan menjadi komparatif keunggulan Tzu Chi Hospital adalah melayani dengan humanis. Pelayanan kesehatan tidak memikirkan profit (untung dan rugi). Satu-satunya pelayanan rumah sakit berani mengatakan sasaran dan target bukan mencari keuntungan.
Penulis bisa mengerti ini sebagai pondasi layanan kerja dengan melihat latar belakang pendiri adalah Master Cheng Yen, seorang biksuni yang bergelut di Vihara dengan kehidupan kesederhanaan, dan mengembangkan Yayasan rumah sakit Budha dengan menolong orang banyak melalui belas kasih, sukacita dan sikap tanpa pamrih.
Bagaimana kesiapan pelayanan rumah sakit yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia, apakah masih tetap profesional? Menurut catatan, di BEI terdaftar 11 rumah sSakit sudah memperjualbelikan sahamnya ke publik. Merubah status hukum rumah sakit dari pelayanan “nirlaba” menjadi perseroan komersial pasti mengalami konflik. Mengapa? Sasaran perseroan komersial adalah pencapayan target dengan ukuran ekonomi. Target dan sasaran perseroan adalah keuntungan keuangan, karena dana yang diraup dari masyarakat harus dipertangunggjawabkan melalui laporan keuangan.
Hal inilah menjadi salah satu kendala, menganggu keharmonisan pelayanan serta menimbulkan konflik kepentingan. Status rumah sakit komersial menjadi “profit center” maka semua alat, sarana penunjang kesehatan: dokter, ruangan ICU, PICU, NICU Tabung, Oksigen, Kursi roda menjadi “revenue center”- pusat-pusat pendapatan. Konsekwensinya: setiap unit-unit tadi harus dikelola maksimal untuk mendapat untung. Sasaran rumah sakit sudah bergeser ke prestasi laporan keuangan, maka patut diduga, para dokter, medis, non-medis tidak bekerja lagi sungguh-sungguh melayani pasien sesuai profesi, karena sudah dikejar target keuangan yang bisa diukur keberhasilannya.
Rumah sakit komersial wajib menunjukkan prestasi kerja ke publik melalui laporan keuangan sebagai prestasi manajamen. Memberikan laporan keuangan melalui media merupakan salah satu syarat, sehingga para investor akan bisa menganalisis apakah “arus kas” pendapatan dari modal publik dibelanjakan tepat sasaran sesuai dengan “prospektus”. Laporan keuangan menjadi salah satu faktor penting karena bisa menjadi daya tarik bagi calon investor potensial untuk membeli saham rumah sakit dengan melihat tren pertumbuhan keuntungan dan mengharapkan pembagian “dividen”.
Tidak heran manajemen harus memberikan berbagai informasi perihal aktivitas perseroan, seperti pernyataan Michael Spence (1973) dengan teory “Signaling” mengatakan: “manajamen wajib menginformasikan kondisi keuangan kepada para investor” Perubahan status menjadi perseroan komersial, inilah yang mengakibatkan kewajiban dokter memberikan pelayanan sesuai standar operasional serta kebutuhan medis bisa kabur, Akan berpotensi menjadi masalah, apabila dokter tergiur untuk menghasilkan tambahan uang dari transaksi dokter dengan pasien.
Di rumah sakit nirlaba bisa juga terjadi penyimpangan, apalagi di rumah sakit komersial. Kekecewaan pasien terhadap dokter lokal bisa saja tidak bersahabat karena berbagai faktor. Misalnya, sesungguhnya pasien bisa saja tidak tau, apakah memang benar-benar pasien sakit, apakah pasien membutuhkan obat yang mahal harganya, apakah pasien harus di operasi? Tidak heran pasien rujukan BPJS bisa diabaikan atau pelayanannya kurang gesit, karena berbagai administrasi harus dilengkapi. Tetapi pasien dengan asuransi lainnya mendapat layanan lebih cepat karena jaminannya cukup dipercaya.
Itu sebabnya pasien Indonesia mencari layanan kesehatan keluar negeri. Karena hubungan dokter-pasien adalah kepercayaan, tanpa rasa percaya diri antara kedua belah pihak, pengobatan tidak mungkin dilakukan dengan baik. Berbagai pengalaman pasien yang bisa direkam dari rumah sakit Penang. Misalnya, diagnosa hasilnya cepat dan tepat, biaya terjangkau dan komunikasi dengan dokter cukup memuaskan. Apakah kondisi seperti itu dirasakan di rumah sakit lokal? Apakah dokter lokal punya kompetensi, ya. apakah sikap dan perilakunya bekerja sungguh-sungguh, belum tentu.
Tidak seorangpun bisa membendung pasien Indonesia ke luar negeri, kalau kepercayaan mereka terahadap layanan rumah sakit lokal meragukan, apalagi pasien Indonesia yang berobat ke Penang karena sakit jantung, ginjal, sakit paru, kanker, atau mata. Melihat sejenak ‘ruang rawat inap” beberapa rumah sakit komersial mengizinkan keluarga ikut menjaga pasien di kamar. Pemandangan seperi ini cukup menggelikan, karena keluarga sudah bertindak seolah-olah asisten perawat dan ikut mengurus pasien. Rumah sakit bukan lagi hanya tempat bagi orang sakit, tetapi orang sehat juga sudah ikut sakit, Perawat tidak harus melayani dengan sungguh-sungguh, karena sebahagian pekerjaannya sudah di delegasikan kepada orang lain.
Rumah sakit menjalankan pola ”efficiency cost”, Rumah sakit bisa juga mengkreasi capaian target dengan berbagai taktik; a). memperlambat proses penyembuhan dengan memperpanjang perawatan misalnya di ruang ICU/PICU/NICU, karena biaya bisa mencapai 1.5 juta rupiah per malam; b). Memutuskan bahwa penyakit pasien harus di operasi segera, atau memberikan informasi kepada pasien harus cuci darah karena ginjal bermasalah; c). Dokternya tidak mampu melakukan pengobatan, ahkirnya dirujuk ke tempat lain.
Salah satu strategi untuk meningkatkan layanan rumah sakit, dan mengawasi para dokter, medis, non-medis, ialah dengan membentuk “Dewan Etik Kedokteran” yang anggotanya terdiri dari bidang kesehatan, masyarakat pemerhati kesehatan dan cendekiawan. Penilaian terhadap prestasi kerja rumah sakit bisa objektif. Dewan Etik bisa menggunakan model TARIF, (transparansi, akuntabel, responsibility, independendly, fairness). Transparansi-semua bentuk atau proses penyelenggaraan layanan kesehatan bisa dipantau dengan cermat baik oleh pasien atau pemangku kepetingan dimana layanan kesehatan saling terkait satu sama lain.
Akuntabel-berbagai jenis transaksi, tindakan, resep dan pengobatan bisa di validasi dan terukur khasiatnya kepada pasien.. Responsibility-dokter benar-benar bertanggungjawab terhadap pasien, dan pemangku kepentingan serta mematuhi peraturan, menghindari berbagai transaksi yang dapat merugikan pasien. Independently-rumah sakit membuka diri mengikuti standar “akreditasi” untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Fairness-menerapkan posisi kesetaraan dalam pelayanan dengan memperhatikan hak setiap orang sesuai dengan aturan undang-undang.
Harus jelas hukuman bila dokter malapraktik, lalai dalam tugas, dengan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit lokal, pasien Indonesia pasti bisa terbendung untuk tidak melancong lagi ke Singapura, Malaysia (Penang) dan Thailand. Mudah-mudahan UU Kesehatan yang baru bisa menjadi salah satu resep pamungkas untuk meningkatkan kualitas pelayanan para dokter, medis, non-medis, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit lokal semakin meningkat. (Penulis adalah mantan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pelita Harapan)
Editor
: Bantors Sihombing