Penderitaan yang dialami oleh manusia bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Penderitaan juga bukan merupakan sebuah hukuman yang kita terima dari pihak eksternal apalagi spontan muncul begitu saja.
Penderitaan adalah merupakan muara dari rentetan suatu siklus panjang yang mungkin berevolusi dalam untaian kesadaran kita dalam berbagai bentuk kelahiran. Maha Guru Agung nan Bijaksana, Buddha Sakyamuni, menjelaskan bahwa kebodohan (moha) menjadi pondasi dasar dari munculnya siklus panjang ini.
Bagi umat awam, kebodohan kerap disalahartikan seolah sama maknanya dengan seorang siswa yang tidak mampu mengerjakan soal ujian dalam sebuah kompetisi. Sesungguhnya kebodohan seperti ini bukan sebagaimana yang dimaksud oleh Buddha.
Yang Mulia Thubten Chodron, seorang biksuni senior asal Amerika, melalui karyanya yang berjudul "A Path to Happiness" secara bijak menjelaskan bahwa kebodohan (moha) punya penjelasan yang lebih khusus. Kebodohan, dalam pemahaman beliau, adalah pengertian yang salah tentang sifat keberadaan.
Menurut Thubten, orang yang dikuasai kebodohan adalah orang-orang yang beranggapan bahwa dirinya merupakan sosok paling penting di dunia ini. Ia merasa bahwa apa pun yang ada di sekitarnya adalah milik dia seutuhnya, orang lain menjadi tidak penting.
Ketika ia bekerja maka ia merasa bahwa pekerjaan itu miliknya seutuhnya. Atau ketika ia mendapat kesenangan bahwa kesenangan itu miliknya..
Akibatnya, dalam kehidupan ini, seluruh energi kehidupan yang dimilikinya hanya terfokus kepada dia atau yang berhubungan dengan dirinya. Dalam pengertiannya, apa yang berkenaan dengan dirinya adalah paling utama. Ia merasa nyaman dengan konsep pengertian tersebut.
Sehingga bila terjadi sesuatu yang menimbulkan "kontak" terhadap dirinya maka orang seperti ini akan sangat reaktif. Bila sesuatu itu menimbulkan perasaan gangguan maka ia begitu terguncang dan merasa dunia akan runtuh. Selanjutnya timbullah kekotoran batin, seperti kemarahan, dendam, benci, dan seterusnya.
Sebaliknya jika kita mengalami sesuatu yang membuat kita senang, maka kita merasa itu menjadi surga buat kita dan kalau bisa kita harus mendapatkannya lagi dan terus lagi. Akibatnya muncullah nafsu-nafsu keinginan, keserakahan, dan sebagainya.
Bukankah ini merupakan penderitaan yang kerap kita alami selama ini?
Saat ini, banyak kita yang justru terjebak dalam konsep pengertian seperti itu. Kita berolahraga bukan untuk merawat kesehatan fisik kita tetapi justru ingin mempertahankannya agar tetap awet sehingga usia tua menjadi enggan menghampiri. Kita belajar bukan untuk berbagi kepada sesama, tetapi hanya untuk memperkuat kedudukan ego kita. Kita mengalami masalah seolah hanya kita yang mengalaminya, sehingga begitu mudahnya kita terpuruk dalam kekecewaan dan tekanan pikiran. Kita bukan mencintai kehidupan tetapi justru menjauhi kehidupan itu sendiri.
Kebodohan seperti ini membuat kita tidak menyadari hakikat kehidupan yang terus berubah, datang dan pergi, timbul serta tenggelam, begitu terus.
Untuk mengatasinya, mari kita ubah pandangan ini. Bahwa disamping kita, juga masih ada orang lain, makhluk lain. Mereka juga tak kalah penting dengan diri kita. Mereka juga punya kontribusi bagi kebahagiaan kita, sebagaimana yang dituliskan dalam Kitab Avatamsaka Sutra, bahwa satu akan mempengaruhi yang lain. Dengan memikirkan orang lain, maka kita juga terlatih untuk membangkitkan pikiran bajik (Bodhicitta) dalam diri kita.
Bahwa kita perlu mendengar apa yang terjadi di luar diri kita. Kita perlu mengulurkan tangan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dan kita perlu mendoakan agar semua berbahagia.
Ini adalah proses latihan untuk menyempurnakan diri sehingga kekotoran batin menjadi terminimalkan. Dengan demikian kebodohan yang selama ini menjebak hidup kita menjadi perlahan sirna, dan penderitaan yang kita alami menjadi kebijaksanaan yang berharga.
*) Penulis adalah Dharma Duta dan Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Sumatera Utara.