"Ramping struktur dan kaya fungsi", bagaikan syair yang selama ini indah terdengar dalam perkuliahan di kampus atau ceramah-ceramah tentang birokrasi. Pemikiran brilian dari David Osborne seakan belum dirasakan masyarakat yang rindu pemerintah dan pelayanan yang cepat dan penuh totalitas. Para birokrat sendiri sebenarnya sudah tahu dan sangat khatam tentang kalimat tersebut, namun seakan dalam istilah gaulnya, "bodo amat" (ignorance), dan memilih status quo.
Sebuah kejutan besar bagaikan bom atom pun diluncurkan oleh Presiden Jokowi. Sebagai orang yang sudah lama memimpin birokrasi dari tingkat daerah hingga negara, beliau sangat paham akar masalah dalam birokrasi. Menjelang kontinuasi kepemimpinannya, dalam pidato Visi Indonesia, 14 Juli 2019, pada poin keempat Presiden Jokowi sudah mendeteksi penyakit dalam birokrasi, yakni: pola pikir (mindset) lama, kerja linier, rutinitas, monoton, lambat, dan zona nyaman.
Konsisten dengan pidato sebelumnya, agenda prioritas ke empat Presiden dalam lima tahun ke depan adalah reformasi birokrasi. Bak kanker stadium empat yang sudah menjalar dalam tubuh birokrasi, Presiden tidak hanya menuntut lembaga semakin sederhana, simpel, gesit (agile), namun revolusi besar pun terjadi dengan meminta pemangkasan birokrasi yang panjang dengan menyederhanakan eselonisasi menjadi dua level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi.
Disrupsi yang diperkirakan hanya terjadi di sektor ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, dan sektor riil lainnya, turut masuk dalam birokrasi. Disrupsi yang terjadi tentunya untuk membuat kualitas birokrasi lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Mimpi dan cita-cita yang ingin dibawa Presiden adalah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah, negara maju dengan pendapatan per orang Rp27 juta per bulan, lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati 0% tahun 2045, genap seabad Indonesia merdeka. Inilah target yang ingin dicapai Presiden bersama mesin birokrasinya.
Birokrasi yang Gesit
Pemerintah sendiri dihadapkan pada situasi yang kompleks dimana banyak notifikasi lampu kuning evaluasi capaian sasaran perencanaan pembangunan di periode pertama Presiden Jokowi, di antaranya: stagnasi pertumbuhan ekonomi pada angka rata-rata 5%, struktur ekonomi masih didominasi Pulau Jawa dan Sumatera, deindustrialisasi, rasio penerimaan pajak belum mencapai 16% dari PDB, dan tentunya masalah investasi dan daya saing yang rendah. Meskipun peringkat kemudahan berusaha telah menunjukkan perbaikan, namun tahun 2019 peringkat Indonesia turun dari 72 ke 73.
Demikian dengan peringkat daya saing yang turun lima peringkat menjadi posisi ke-50. Indonesia makin tertinggal dari Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Regulasi yang tumpang tindih dan relatif tertutup, kualitas birokrasi masih rendah dengan korupsi tinggi, tidak efisien, lemahnya koordinasi antarkebijakan, rendahnya kualitas SDM, menjadi kendala yang sangat mengikat untuk percepatan pembangunan.
Untuk mencapai agenda pembangunan, maka pemantapan birokrasi adalah penting. Model birokrasi Indonesia memiliki kecenderungan hirarki yang statis, silo, dan terstruktur bagaikan mesin dan mayat hidup (zombie bureaucracy). Kerangka seperti ini seringkali kaku dan bergerak lambat dalam merespon perubahan. Sebaliknya, organisasi gesit dirancang dinamis berupa jaringan organisme yang hidup (living bureaucracy), maka pembelajaran dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat. Model organisasi demikian memiliki kemampuan untuk mengkonfigurasi ulang strategi, struktur, proses, orang, dan teknologi secara cepat dan efisien.
Birokrasi haruslah adaptif, efektif dan kolaboratif dan siap menghadapi perubahan yang begitu cepat dan tak terduga. Aparatur sipil negara (ASN) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa, harus siap menghadapi gelombang disrupsi birokrasi yang terjadi. Bila pemerintah gagal memenuhi kondisi ideal ini, maka akan mampu menghambat dan memperlambat target pembangunan nasional yang dicanangkan Presiden sebagai pimpinan tertinggi eksekutif.
Menuju Birokrasi Berkelas Dunia
Komposisi birokrasi dari angka kuantitas masih jauh dari ideal. Dari 4,3 juta ASN, sebagian besar diisi oleh pejabat administrasi, yakni pelaksana (43%). Namun sisi urgensitas dari pejabat fungsional teknis di luar tenaga kependidikan dan kesehatan, hanya mencapai 8%. Jumlah ini masih lebih rendah dari jumlah pejabat struktural (pimpinan tinggi, administrator dan pengawas) yang mencapai 10% dari total ASN. Mesin birokrasi demikian tentunya belum mampu membawa ke arah lebih baik. Rendahnya ekfektivitas birokrasi sebagai katalis layanan publik dan penunjang daya saing, dimana Indonesia masih tertinggal jauh pada peringkat ke-84 tahun 2017.
Permintaan Presiden dalam pidato pelantikan tanggal 20 Oktober silam untuk menyederhanakan eselonisasi menjadi dua level dan diganti dengan jabatan fungsional janganlah dipandang sebagai musibah, melainkan adalah berkah yang berlimpah. Jabatan fungsional akhirnya direkognisi eksistensinya. Selama ini dipandang sebagai jabatan "buangan, kelas dua, pelarian, tidak prestis", kini seorang Presiden menginginkan keahlian dan kompetensi yang dimiliki oleh pejabat fungsional untuk mengambil alih (takeover) pelaksanaan percepatan pembangunan.
Momentum disrupsi birokrasi ini memerlukan dorongan-dorongan. Pertama, rebranding kembali jabatan fungsional, sebagai sebuah profesi yang terhormat. Khususnya di beberapa instansi pemerintah pusat dan daerah, yang sudah terbiasa dengan kultur kehormatan akan jabatan struktural. Pemerintah perlu menciptakan aura yang positif dan kebanggaan atas jabatan fungsional sebagai profesi yang disandang oleh seorang ASN. Kedua, insentif dan jaminan kesejahteraan yang layak. Sudah lima tahun Undang-Undang ASN berjalan namun sampai sekarang, skema baru gaji, tunjangan dan fasilitas belum juga dapat dirampungkan.
Belum lagi masih rendahnya tunjangan jabatan di beberapa jabatan fungsional, seperti penyuluh, perencana, dan lainnya. Ketiga, kepastian akan pola karir dan pengembangan kompetensi. Keempat, pengarusutamaan jabatan fungsional perencana, analis kebijakan dan perancang peraturan perundang-undangan menjadi silver bullets agenda reformasi birokrasi yang dihadapkan pada persoalan kronik regulasi yang tumpang tindih dan koordinasi antar kebijakan.
Apresiasi setinggi-tingginya untuk Menteri PANRB, Tjahjo Kumolo, yang sudah berjanji ke Presiden untuk mundur bila tidak mampu dan jika gagal menjalankan permintaan Presiden. Manifestasi revolusi mental haruslah dimulai dari pemimpin dan birokratnya lebih dulu, dengan sikap gentleman sebagai pembantu Presiden yang langsung cepat mengeksekusi perintah pimpinan, dan tidak mengenal istilah "tidak bisa" untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia. Karena visi tanpa eksekusi adalah halusinasi, seperti ucapan Henry Ford. (c)