Fakta yang tak bisa dibantah, Indonesia memang sejak nenek moyang sudah sangat beragam. Sukunya saja ribuan, yang tersebar dari ujung Barat hingga ke Timur. Agama dan kepercayaan yang diyakini hingga sekarang beragam. Tak ada kepastian, satu suku mengklaim hanya menganut satu agama atau kepercayaan, dan sebaliknya.
Suku Batak Toba misalnya, sudah beragam dalam memilih agama yang diyakininya. Jadi tidak relevan mengaitkan satu suku dengan satu religi saja. Apalagi negara telah menjamin kebebasan dalam memeluk agama, yang mendorong Indonesia makin warna-warni.
Nenek moyang bangsa ini sudah menyadari keberagaman tersebut. Mereka memilih hidup bersama sebagai saudara, tetangga, satu komunitas, bahkan sebangsa. Ada saja gesekan, tetapi kearifan lokal untuk saling menghormat dan menghargai jauh lebih besar dari keinginan untuk saling menyakiti.
Toleransi bagi mereka bukanlah teori. Nenek moyang bangsa ini mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu tampak dari semangat kegotongroyongan.
Bukan pemandangan yang aneh, satu keluarga yang membuat acara, dihadiri tetangga yang berbeda suku dan agama. Saat perayaan agama, para sahabat menyampaikan selamat, meski berbeda keyakinan. Bahkan ketika mendirikan rumah ibadah, tak diharamkan keterlibatan orang lain, memberikan dukungan moral dan material, tanpa mempersoalkan agama.
Semangat kebersamaan ini makin kokoh dan menjadi formal saat perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, hampir semua etnis dan agama memberi kontribusi besar. Ketika ada perdebatan tentang rancangan dasar negara, muncul kebesaran jiwa untuk tidak memaksakan keinginannya.
Para pendiri bangsa menyadari keberagaman merupakan kekuatan, tetapi bisa berbahaya jika ada satu kelompok yang memaksakan pendapat. Mereka sepakat Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula milik satu etnis saja. Pancasila yang menjadi dasar negara menjadikan Indonesia rumah bagi semua suku dan agama.
Memang mudah menyebutkan toleransi, namun dalam praktik masih sering muncul sikap sebaliknya. Saat di suatu daerah ada merasa menjadi mayoritas, lalu ingin menekan kelompok yang berbeda, negara tak boleh diam. Jika tidak, sikap intoleran bisa menjalar ke mana-mana dan bisa membuat pudar persatuan bangsa.
Konstitusi sudah jelas tentang kebebasan beragama, termasuk mendirikan rumah ibadah. Jika ada menghalangi termasuk memprovokasi, maka pelakunya harus ditangkap dan diadili. Aparat tak boleh kendur dalam hal ini, sebab yang dipertaruhkan masa depan Indonesia sebagai satu bangsa.
Pesan-pesan toleransi harus makin sering mengisi ruang publik. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat mesti menjadi panutan di depan publik. Jangan lagi ada pejabat yang pernyataannya justru berbau intoleran, dan menunjukkan ketidaksukaan kepada kelompok yang berbeda dengannya. Toleransi jangan hanya basa-basi, mari tunjukkan secara nyata dengan tidak mengumbar ujaran kebencian. (**)