Jumat, 14 Februari 2025

Praktik dan Tantangan Eksekusi Perkara Perdata di Peradilan Umum Indonesia

* Oleh: Jon Sarman Saragih SH MHum (Ketua Pengadilan Negeri Medan)
Rido Sitompul - Jumat, 22 November 2024 10:03 WIB
642 view
Praktik dan Tantangan Eksekusi Perkara Perdata di Peradilan Umum Indonesia
Ist/SNN
Jon Sarman Saragih SH MHum
Pelaksanaan putusan hakim yang sering disebut Eksekusi dalam perkara perdata dilakukan terhadap putusan hakim berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde), kecuali putusan serta merta (uit voorbaar bij vooraad) yang diatur dalam Pasal 180 HIR, meskipun adanya upaya hukum banding atau kasasi putusan tetap dapat dijalankan.


Putusan Hakim dikatakan berkekuatan hukum tetap, jika putusan itu diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara dan tidak dilakukan upaya hukum. Putusan berkekuatan hukum tetap dapat saja terjadi terhadap putusan Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung.


Eksekusi merupakan bagian penting dari proses peradilan perdata, karena menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan yang telah diputuskan pengadilan.

Baca Juga:
Namun, pelaksanaan eksekusi sering kali menemui berbagai kendala, baik dari segi teknis, administratif, maupun perlawanan dari pihak yang kalah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan peningkatan profesionalisme aparat hukum, penyederhanaan prosedur, penguatan koordinasi antar lembaga, serta pemanfaatan teknologi.


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum membuka kemungkinan terhadap hal-hal yang dapat menunda atau membatalkan pelaksanaan eksekusi perkara perdata sehingga secara yuridis, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa setiap permohonan eksekusi yang diajukan oleh pihak yang menang dapat dikabulkan seketika.

Baca Juga:

Makna dari eksekusi sesungguhnya adalah penerapan atau pelaksanaan hukum yang harus ditegakkan. Bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan akan tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti kekosongan aparat untuk melaksanakan eksekusi tersebut.


Berperkara di pengadilan saat ini dapat dilakukan e litigasi ( e-court) yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor.1 Tahun 2019 berkaitan beberapa e-litigasi, salah satunya mengatur tentang permohonan eksekusi, penetapan eksekusi, panggilan annmaning/teguran dapat dilakukan secara elektronik.


Eksekusi merupakan hal penting dalam proses perkara secara ligasi dan merupakan puncak dari perkara perdata. Ketentuan yang mengatur bagaimana cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam Pasal 195- 224 HIR atau Pasal 206 – 258 RBG. Pelaksanaan putusan Hakim dapat dilakukan secara sukarela dan secara paksa.


Pelaksanaan putusan Hakim secara sukarela dilaksanakan langsung oleh pihak yang dikalahkan secara sukarela tanpa paksaan pihak manapun, sedangkan pelaksanaan putusan Hakim secara paksa dilakukan berdasarkan permohonan pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara, karena pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Hakim secara sukarela.


Pelaksanaan putusan Hakim diperlukan campur tangan dari pihak Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Dalam praktik putusan Hakim yang telah berkekuatan tetap tidak selalu dilaksanakan oleh pihak yang kalah secara sukarela, sehingga dilakukan secara eksekusi.


Pelaksanaan putusan secara paksa diperlukan campur tangan dari Pengadilan Negeri yang memutus perkara, namun dalam praktik ditemukan eksekusi secara paksa tidak berjalan lancar yang dilakukan oleh pihak yang kalah tidak beritikad baik, tidak bersedia memenuhi kewajibannya melaksanakan putusan Hakim, tidak cermat dan telitinya Panitera atau Jurusita melaksanakan tugasnya melakukan penyitaan sehingga menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan eksekusi.


Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan eksekusi tersebut secara khusus diatur dalam Pasal 200 ayat (11) dari Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR) yang menyatakan sebagai berikut: "Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat surat perintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankan surat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta oleh sanak saudaranya".


Ketentuan ini merupakan implementasi dari reformasi yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Agung juga telah menetapkan sejumlah kebijaksanaan dan strategi internal untuk melakukan reformasi lembaga peradilan. Ketua Pengadilan yang memerintahkan untuk dilaksanakan eksekusi perkara perdata.


Pelaksanaannya dilakukan oleh panitera dan jurusita. Dalam hal ini, Ketua Pengadilan mengawasi sekaligus bertanggung jawab sejak diterimanya permohonan eksekusi sampai selesainya pelaksanaan eksekusi tersebut. Jadi, setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap harus dijalankan eksekusinya. Walau, setiap eksekusi pada umumnya selalu ada reaksi permintaan penundaan eksekusi tersebut terutama datang dari termohon eksekusi.


Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum menjalankan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran kepada pihak yang kalah dalam perkara agar waktu delapan hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran, pihak yang kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan.


Apabila telah lewat delapan hari, ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak melaksanakan Putusan Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera/ Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/ kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.


Untuk mencegah kemungkinan yang terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan eksekusi terutama yang dilakukan oleh pihak yang kalah, maka pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Negeri dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum seperti Polri atau TNI yang dapat membantu untuk pengamanan dan kelancaran dalam pelaksanaan ekseskusi.


Pihak keamanan akan bertidak jika di lapangan ditemukan peristiwa yang dapat menganggu kelancaran pelaksanaan eksekusi. Jika dalam pelaksanaan eksekusi dilapangan tidak ditemukan hal hal yang dapat mengganggu dan menghambat pelaksanaan eksekusi, maka aparat kemanan tidak akan bertindak.


Segala biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan eksekusi dibebankan kepada pihak pemohon eksekusi. Jika selama pelaksanaan eksekusi ditemukan adanya pihak- pihak menentang atau mengancam terhadap Panitera atau Jurusita dalam melaksanakan tugasnya melakukan eksekusi, maka pihak yang menentang atau mengancam tersebut dapat dihukum pidana (Pasal 211 jo Pasal 214 KUHP).


Pelaksanaan eksekusi di lapangan selalu terjadi kendala di mana hal ini terbentur dengan kekurangan personel di lapangan dan biaya yang kurang memadai.

Dalam kenyataannya, apabila menggunakan aparat keamanan, harus ada biaya extra untuk pengamanan. Upaya yang dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah dengan mengupayakan revitalisasi/reformasi terhadap eksekusi di lapangan dengan penyiapan pasukan eksekusi sendiri tanpa harus meminta dari Polri. Hal ini karena dalam pelaksanaannya Polri hanya sebatas mendukung pengamanan saja.


Hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan eksekusi secara paksa di lapangan ditemukan problema-problema yaitu problema secara yuridis maupun problema non yuridis. Problema secara yuridis antara lain berupa adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas atau bertentangan satu sama lainnya.


Sedangkan probelema non yuridis berkaitan dengan teknis dan proses eksekusi di pengadilan. Problema non yuridis dalam pelaksanaan eksekusi perkara perdata antara lain objek yang dieksekusi kabur (error in objecto), pada saat sita eksekusi atau eksekusi riil pengosongan tempat yang diduduki termohon eksekusi, pihak pemohon eksekusi kesulitan menunjukkan batas-batas yang mau dieksekusi, objek eksekusi telah berpindah tangan kepada pihak lain, telah terbit sertifikat baru atas objek eksekusi atas nama pihak ketiga yang diketahui pada saat eksekusi dilakukan, barang dieksekusi tidak berada ditangan pihak tereksekusi, barang yang dieksekusi tidak sesuai dengan amar putusan dan intervensi yang dilakukan oleh pihak lain dan birokrasi pada saat eksekusi dilakukan.


Pihak tereksekusi tetap tidak mau melaksanakan putusan dan tetap mempertahankan objek sengketa dengan segala cara, seperti menghalangi petugas pelaksana eksekusi, mengerahkan massa, melakukan perlawanan terhadap petugas pelaksana eksekusi.


Sedangkan problema secara yuridis adalah hambatan yang disebabkan oleh adanya peraturan hukum, seperti adanya upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh pihak yang kalah ke Mahkamah Agung, perlawanan oleh pihak ketiga (Derden Verzet) hal ini disebabkan terhadap objek eksekusi terambil hak dari pihak ketiga.


Derden Verzet adalah salah satu bentuk upaya hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini dapat disebabkan Panitera atau Jurusita salah melakukan eksekusi atau objek eksekusi telah berpindah ketangan pihak.


Putusan Hakim bersifat declaratoir atau constitutif tidak dapat dilakukan eksekusi (non executabel), karena yang dapat dilakukan eksekusi hanyalah putusan Hakim yang bersifat comdemnatoir yaitu putusan Hakim yang amar putusannya bersifat penghukuman, misalnya menghukum pihak yang kalah untuk mengosongkan bangunan rumah.


Oleh sebab itu, mencegah jangan sampai terjadi penggugat menang hampa atau menang di atas kertas, maka panitera ketika melakukan penyitaan terhadap objek sengketa harus dengan teliti dan cermat dalam menentukan objek yang disita. Objek eksekusi telah berpindah di tangan ke tangan orang lain, tereksekusi tidak mampu menunjukkan batas-batas tanah yang akan dilakukan eksekusi. Pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh Panitera atau Jurusita dibawah pimpinan dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Ketidakjelasan objek yang dieksekusi, yang disebabkan salah dalam melakukan penyitaan terhadap objek perkara akan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan eksekusi.


Petugas pengadilan dalam hal ini Panitera atau Jurusita dalam melakukan penyitaan terhadap objek perkara harus cermat dan teliti sesuai dengan fakta yang sebenarnya yang didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Oleh sebab itu, dalam melakukan penyitaan Panitera atau Jurusita harus membuat berita acara penyitaan dan disaksikan oleh dua orang saksi.


Hambatan dalam pelaksanaan eksekusi akan dapat dicegah apabila pihak yang kalah perkara bersedia melaksanakan putusan Hakim secara sukarela atau kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Itikad baik dari pihak yang kalah melaksanakan putusan Hakim akan dapat mencegah timbulnya pelaksanaan eksekusi secara paksa.


Sebaliknya itikad tidak baik dari pihak yang kalah dalam melaksanakan putusan Hakim akan menyebabkan eksekusi dilakukan secara paksa berdasar permintaan dari pihak yang dimenangkan dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Hambatan dalam pelaksanaan eksekusi dapat dicegah jika pihak yang kalah bersedia menyerahkan apa yang merupakan hak dari pihak yang menang, Namun dalam praktik eksekusi secara paksa dilakukan karena pihak pihak kalah tidak bersedia melaksanaakan amar putusan Hakim.


Hambatan pelaksanaan eksekusi secara paksa di lapangan antara lain pihak yang kalah melakukan berbagai cara antara lain tereksekusi mengerahkan massa, menghalangi dengan menggunakan benda, Panitera atau jurusita tetap melakukan eksekusi sesuai dengan bunyi putusan Hakim di bawah pimpinan dan pengawasan dari Ketua Pengadilan Negeri, kalau perlu untuk mencegah timbulnya hambatan selama pelaksanaan eksekusi pihak pengadilan dapat meminta bantuan kepada aparat keamanan (polisi dan militer) untuk menjaga keamananan selama pelaksanaan eksekusi.


Untuk mengatasi masalah hambatan pengamanan eksekusi yang selama ini menjadi penghambat terlaksananya eksekusi,sebaiknya membuat integrasi sistem kelembagaan dengan beberapa instansi yang dapat memberikan pengamanan misalnya TNI, Satpol PP maupun instansi lain, sehingga pengadilan memiliki pilihan untuk menggunakan instansi yang siap memberikan bantuan pengamanan selama proses eksekusi.


Besarnya biaya pengamanan eksekusi yang selama ini menjadi penghambat eksekusi, kedepan seyogiayanya pengadilan harus membentuk satuan pengamanan sendiri semacam Sheriff Pengadilan seperti yang dilakukan oleh Pengadilan di Amerika, yang memiliki kemampuan dalam pengendalian gangguan keamanan dalam proses eksekusi.


Hal ini akan menghilangkan biaya pengamanan eksekusi, sehingga biaya eksekusi menjadi murah. Integrasi sistem kelembagaan pelaksanaan eksekusi perkara perdata mendesak untuk segera dibangun, dengan pertama membuat payung hukum berupa undang-undang, Peraturan Pemerintah atau minimal berupa Peraturan Mahkamah Agung yang memberikan tambahan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan instansi lain di wilayahnya tunduk kepada kebijakan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi.


Pengaturan hukum pelaksanaan putusan perkara perdata sudah saatnya untuk diatur tersendiri dalam suatu undang-undang khusus yang mengatur secara detail hukum acara pelaksanaan putusan perkara perdata yang berlaku secara nasional dengan tidak membedakan untuk wilayah pulau jawa maupun luar pulau jawa seperti yang selama ini terjadi disesuaikan dengan kondisi situasi terkini dan antisipasi kondisi ke depan yang terjadi di lapangan khususnya disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. (Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) )

Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru