Jumat, 14 Februari 2025

JKMB: Kesehatan Universal atau Legitimasi Politik?

* Oleh : Odri Prince Agustinus D Sembiring (Mahasiswa S2 DPP UGM)
Redaksi - Kamis, 12 Desember 2024 16:23 WIB
179 view
JKMB: Kesehatan Universal atau Legitimasi Politik?
Kesehatan adalah hak fundamental setiap manusia, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Namun, realisasinya sering kali terhalang oleh berbagai dinamika politik, ekonomi, dan kelembagaan. Kota Medan, melalui Program Jaminan Kesehatan Medan Berkah (JKMB), telah mencoba menjawab tantangan ini dengan memberikan layanan kesehatan gratis kepada lebih dari 98% penduduk pada tahun 2024. Keberhasilan ini bahkan mendapatkan penghargaan Universal Health Coverage (UHC) Award, yang menunjukkan dedikasi pemerintah dalam meningkatkan akses kesehatan.

Keberhasilan JKMB juga memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah program ini benar-benar merepresentasikan kesehatan sebagai hak universal, ataukah lebih sebagai alat untuk memperkuat legitimasi politik? Di balik angka-angka yang membanggakan ini, terdapat tantangan serius yang sering kali luput dari perhatian: sistem yang tidak efisien, eksklusi terhadap kelompok rentan, dan ketegangan antara kesehatan sebagai kebutuhan publik dan instrumen politik.

Dalam konteks ini, JKMB adalah cerminan bagaimana kesehatan tidak hanya menjadi isu teknis, tetapi juga politik. Keberhasilannya tidak semata-mata diukur dari cakupan layanan, tetapi juga dari kemampuan sistem untuk menciptakan keadilan sosial yang sejati. Artikel ini akan membahas tantangan struktural di balik JKMB, relevansi teori dalam memahami dilema ini, dan rekomendasi untuk reformasi yang lebih adil.

Baca Juga:

Ketidakadilan Struktural di Balik Keberhasilan
Keberhasilan JKMB sering kali dirayakan sebagai tonggak sejarah. Di balik pencapaian cakupan layanan kesehatan sebesar 98,28%, terdapat tantangan struktural yang menghambat keadilan dan keberlanjutan program ini. Sistem informasi kesehatan yang menjadi tulang punggung layanan hanya berfungsi pada kapasitas 50%. Ketidakefisienan ini menciptakan berbagai masalah, mulai dari pelacakan pasien yang lambat hingga distribusi obat yang tidak merata. Masalah ini menyebabkan fenomena bouncing pasien, di mana pasien harus berpindah-pindah fasilitas untuk mendapatkan layanan yang seharusnya tersedia dalam satu sistem terintegrasi.

Selain itu, fragmentasi akuntabilitas antara Dinas Kesehatan Medan dan BPJS memperburuk situasi. Dinas Kesehatan bertanggung jawab mengelola anggaran melalui APBD, sementara BPJS menangani klaim pembayaran di rumah sakit. Ketidakjelasan peran ini menciptakan celah dalam pengawasan dan evaluasi, mengurangi kemampuan kedua lembaga untuk merespons kebutuhan masyarakat secara efektif.

Baca Juga:

Namun, salah satu masalah paling mendasar adalah kebijakan domisili enam bulan yang menghalangi kelompok rentan, seperti pekerja migran dan masyarakat miskin kota, untuk mengakses layanan kesehatan. Kebijakan ini, meskipun mungkin dimaksudkan untuk memastikan alokasi sumber daya yang tepat, justru memperburuk eksklusi sosial. Kelompok-kelompok ini sering kali tidak memiliki dokumen resmi yang dibutuhkan, sehingga kehilangan hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar.

Dalam konteks Multiple Streams Framework (Kingdon, 1984), masalah ini mencerminkan kegagalan untuk mengintegrasikan aliran masalah, kebijakan, dan politik. Meskipun JKMB berhasil dalam "angka cakupan," jendela kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi eksklusi sosial belum terbuka karena aliran masalah ini tidak menjadi prioritas. Sosiologi Institusional (Meyer & Rowan, 1977) menambahkan dimensi lain: struktur kelembagaan yang kaku sering kali memprioritaskan kepatuhan administratif daripada memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.
Ketidakadilan ini menunjukkan bahwa keberhasilan JKMB tidak hanya diukur dari angka cakupan layanan, tetapi juga dari kemampuan sistem untuk menghadirkan layanan kesehatan yang benar-benar inklusif dan adil. Tanpa reformasi yang mendalam, tantangan struktural ini akan terus menghambat tujuan utama program: mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) yang sejati.

Ketegangan Filosofis: Hak Kesehatan atau Alat Politik?
Keberhasilan JKMB tidak hanya menyentuh aspek teknis atau administratif, tetapi juga membuka perdebatan filosofis yang mendalam. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kesehatan sebagai hak asasi manusia, program seperti JKMB seharusnya menjadi perwujudan nyata dari komitmen terhadap keadilan sosial. Namun, dalam praktiknya, keberhasilan JKMB sering kali diposisikan sebagai alat politik untuk memperkuat legitimasi pemerintah daerah. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah kesehatan benar-benar diprioritaskan sebagai hak universal, ataukah menjadi kalkulasi politik yang didasarkan pada kepentingan elit?

Dalam perspektif Teori Oligarki (Winters, 2011), fenomena ini mencerminkan bagaimana elit politik sering kali memanfaatkan kebijakan publik untuk mempertahankan posisi mereka. Di Medan, dukungan terhadap JKMB tampak lebih berorientasi pada pencapaian angka yang dapat dipamerkan—seperti cakupan layanan 98,28%—daripada pada penyelesaian masalah struktural yang lebih mendalam. Ketika fokus pada angka mengaburkan realitas di lapangan, kelompok rentan yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama justru sering kali terpinggirkan.

Reformasi untuk Masa Depan yang Lebih Adil
Mengatasi tantangan yang dihadapi JKMB membutuhkan reformasi yang bersifat transformatif dan menyeluruh. Langkah-langkah strategis harus dirancang tidak hanya untuk memperbaiki kekurangan teknis, tetapi juga untuk menciptakan sistem yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Langkah pertama yang penting adalah digitalisasi layanan kesehatan melalui pengembangan JKMB App. Aplikasi ini dapat mengintegrasikan data pasien, distribusi obat, penjadwalan layanan, dan pelacakan kinerja secara real-time. Dengan mengganti kebijakan domisili enam bulan dengan sistem berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), aplikasi ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan tersedia untuk semua warga tanpa diskriminasi. Digitalisasi juga memungkinkan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya dan meningkatkan efisiensi operasional sistem kesehatan.

Teknologi saja tidak cukup. Reformasi kelembagaan diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas dan mengurangi fragmentasi. Pembentukan badan pengelola independen yang mengintegrasikan fungsi Dinas Kesehatan dan BPJS dapat menjadi solusi untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik. Badan ini harus didukung oleh mekanisme pengawasan yang transparan, dengan melibatkan masyarakat sipil dan komunitas lokal dalam proses evaluasi. Partisipasi publik tidak hanya meningkatkan kepercayaan terhadap program, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Diversifikasi sumber pendanaan juga penting untuk menjamin keberlanjutan program. Ketergantungan penuh pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menciptakan risiko besar, terutama jika terjadi perubahan prioritas politik. Kemitraan publik-swasta (PPP) dapat menjadi salah satu solusi, dengan melibatkan sektor swasta untuk berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur kesehatan dan teknologi digital. Selain itu, akses terhadap dana hibah internasional dari organisasi seperti WHO atau UNDP dapat mendukung program-program kesehatan yang bersifat inklusif dan berkelanjutan.

Reformasi ini juga harus disertai dengan perubahan paradigma dalam memandang kesehatan. Pemerintah daerah harus meninggalkan pendekatan simbolik yang hanya berfokus pada pencapaian angka, dan beralih ke visi yang lebih substantif: membangun sistem kesehatan yang menempatkan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Reformasi ini mencakup penghapusan kebijakan diskriminatif, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dan penyediaan pelatihan untuk memanfaatkan teknologi baru secara efektif.

Lebih jauh lagi, reformasi harus menekankan pentingnya pendekatan partisipatif. Suara masyarakat harus diakui dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Proses ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekaligus mendorong rasa kepemilikan bersama terhadap program kesehatan.


Pada akhirnya, reformasi yang diusulkan tidak hanya akan meningkatkan efisiensi dan inklusivitas JKMB, tetapi juga membangun sistem yang lebih berorientasi pada keadilan sosial. Kota Medan memiliki peluang besar untuk menjadi model nasional dalam reformasi kesehatan yang berkelanjutan, dengan menempatkan kesehatan sebagai hak universal yang tidak dapat dinegosiasikan.


Kesimpulan: Sebuah Refleksi Filosofis
Program Jaminan Kesehatan Medan Berkah (JKMB) adalah cerminan ambisi pemerintah untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC). Dengan cakupan layanan mencapai 98,28%, JKMB sering kali dipandang sebagai keberhasilan luar biasa dalam memperluas akses layanan kesehatan. Namun, di balik angka-angka yang membanggakan, terdapat tantangan mendalam yang mencerminkan ketimpangan struktural dan ketegangan filosofis yang patut direnungkan.


Keberhasilan JKMB tidak hanya soal efisiensi administratif, tetapi juga soal keadilan. Tantangan seperti inefisiensi sistem informasi, fragmentasi akuntabilitas, dan kebijakan yang eksklusif menunjukkan bahwa capaian program ini masih jauh dari sempurna. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah ini bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi juga mencerminkan kurangnya komitmen untuk menempatkan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dinegosiasikan. Dalam konteks ini, teori seperti Multiple Streams Framework, Sosiologi Institusional, dan Teori Oligarki membantu kita memahami akar dari kegagalan tersebut: kebijakan yang lebih sering berorientasi pada angka dan citra politik daripada pada kebutuhan masyarakat.


Namun, ketegangan ini juga menawarkan peluang untuk perubahan. JKMB dapat menjadi lebih dari sekadar alat legitimasi politik jika pemerintah berani mereformasi sistem secara menyeluruh. Digitalisasi, reformasi kelembagaan, diversifikasi pendanaan, dan pendekatan partisipatif adalah langkah-langkah yang dapat membawa JKMB lebih dekat ke visinya sebagai program kesehatan universal yang berkeadilan. Reformasi ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi dan inklusivitas, tetapi juga mengukuhkan posisi kesehatan sebagai hak fundamental dalam masyarakat.


Pada akhirnya, pertanyaan filosofis tetap ada: Apakah kesehatan benar-benar diprioritaskan sebagai hak universal, ataukah ia hanya menjadi instrumen politik? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya menentukan masa depan JKMB, tetapi juga mencerminkan bagaimana kita sebagai bangsa memandang keadilan sosial. Kota Medan memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor reformasi kesehatan di Indonesia, tetapi keberhasilan ini hanya dapat dicapai jika kesehatan diposisikan sebagai hak, bukan sekadar alat kekuasaan. Keberanian untuk mereformasi adalah kunci untuk memastikan bahwa kesehatan tidak lagi menjadi kalkulasi politik, tetapi benar-benar hak untuk semua. (*)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru