Semula aku menerima argumen kawan-kawan. #DiRumahAja membuat kerja kelompok menjadi terkendala. Soalnya, mau diskusi kelompok jadi terhalang waktu dan ruang. Aku sih bisa menyediakan waktu tapi Arphan tidak bisa di saat jam serupa. Ia mengaku pada jam tersebut harus membantu orangtuanya memberi makan ternak.
Arphan memang rajin. Sebanyak apapun waktunya, harus disiapkan untuk melunasi tanggung jawabnya. Menurutnya, seluruh isi keluarganya punya beban masing-masing. Abangnya tiap pagi harus mengeluarkan ternak. Mengutip telur di kandang dan menyortirnya. Hasil terbaik untuk dipasarkan. Hasil kualitas tak terbaik untuk konsumen kelas lain atau dikonsumsi keluarga dan lingkungan.
Pemisahan telur untuk kelompok tersebut memengaruhi kualitas harga. Arphan belum sampai ke tahap itu tapi sudah tahu bagaimana-bagaimana caranya. Selain itu, ia punya agenda lain. Di gereja ikut latihan musik gerejawi. Jadi, ya itu... waktu tersisa untuk belajar kelompok harus di sesi lain.
Rekan kami yang lain punya kesibukan yang sama tapi beda waktu. Jika Arphan bisa jam tengah hari atau malam-malam, Rudy justru bisa sesudah petang namun jangan terlalu malam. Alasannya,harus menjemput abangnya pulang kerja. Soalnya, sepeda motor di rumah cuma dua unit. Jika dibawa kerja, gak dapat dimaksimalkan untuk keperluan di rumah.
"Jadi gimana kita siapkan," kejarku.
Jika terus diberi toleransi waktu, kapan siapnya tugas kelompok belajar. Guru memberi tenggat waktu pertengahan April. Artinya, jika fase #DiRumahAja selesai, maka tuga tersebut harus diserahkan. Kesal. Arphan sih rajin tapi tidak punya waktu yang dapat disesuaikan. Rudy pun begitu. Kalau yang lain sih oke-oke saja tapi tetap saja beralasan pandemi Covid - 19 jadi alasan untuk malas-malasan. Padahal, imbauan social distancing dan physical distancing bukan menjadikan malas-malasan Virus corona kan bukan jadi alasan untuk merana.
Aku bisa mengerjakannya sendiri. Minta bantuan pada abang dan kawan-kawan kampusnya. Abangku sudah masih benar membuat paper akademik karena posisinya sebagai asisten utama dosen menjadi terbiasa untuk membuat makalah. Tetapi tidak kulakukan karena mencontoh berarti membiasakan diri bermanja-manja.
Okelah untuk sekarang bisa selesai dari tugas. Lha, jika di kesempatan lain ada tugas serupa, apa harus terus minta bantuan? Kapan mampu berbuat mandirinya. Aku bukan tipe seperti itu.
Tetapi Rudy justru mendorong agar aku melakukannya. Ia bahkan ingin bicara langsung dengan abangku. Rudy memang kenal dengan abangku. Soalnya, ia selalu kubawa bila aku menemui abangku. Namun, ah... aku nggak mau. Mana tanggung jawab sebagai kelompok yang menerima tugas.
Aku makin kesal karena kawan sekelas dari kelompok lain sudah memosting sebagian kerja awalnya. Ada yang memosting foto sampul kertas kerja. Ada yang memublikasi garis besar. Kelompok kami?
"Atau kita menyerah saja," usulku di halaman grup kami.
Arphan langsung protes. Menyerah berarti dapat nilai merah. Artinya, menyerah pada keadaan atau sama dengan terlindas virus. Ia mendesakku untuk mengambil kesempulan sendiri.
"Maksudnya? Aku yang mengerjakan sendiri? Nggaklah."
Rudy ikut urun pendapat. Ia mengusulkan, siapa yang tidak ikut bekerja menyelesaikan tugas, didenda. Kalkulasinya, jika seluruh kebutuhan membuat kertas kerja memerlukan biaya sejuta, separonya dibebankan pada siapa yang tidak terlibat.
Usul itu disambut ragam pendapat tapi banyak yang setuju. Artinya, yang malas-malasan harus dikenai sanksi.
"Setuju?"
"Setuju," jawab Arphan di seberang sana.
Begitu 'setuju' lebih banyak, kini delapan anggota kelompok kerja, jadi aktif. Masing-masing memberi masukan. Menyerahkan bahan-bahan untuk diramu menjadi satu. Aku dapat tugas merampungkannya. Alaannya, sama seperti awal, aku punya abang yang jago seperti itu. Bahkan Rudy dan Arphan mengambil inisiatif menghubungi langsung.
Meski kesal, aku berterima kasih juga. Tidak ada alasan #DiRumahAja jadi malas-malasan. (c)