Medan (SIB) -Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan memastikan gugatan yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut bersama 36 advokat di Sumut akan digelar, Kamis (16/8) mendatang. Gugatan dengan nomor perkara :110/G/LH/2018/PTUN.MDN beragendakan pemeriksaan persiapan.
Hal itu dikatakan Sheilla CH Sirait selaku Panitera Pengganti atas gugatan tersebut saat ditemui di Gedung PTUN Medan di Jalan Bunga Raya Kecamatan Medan Selayang, Senin (13/8). "Ya benar gugatan tersebut sudah didaftarkan di PTUN Medan. Sesuai jadwal, hari Kamis ini (16/8) akan digelar sidang dengan agenda pemeriksaan persiapan. Untuk pemeriksaan persiapan ini, dilakukan sidang tertutup. Ini para pihak saja yang dipanggil," terangnya. Sheilla mengatakan sidang tersebut akan dipimpin majelis hakim yang diketuai Jimmy Claus Pardede dengan dua anggotanya Effriandy dan Selvie Ruthyaroodh.
Seperti diketahui, dikhawatirkan bisa merusak habitat lingkungan hidup beragam satwa liar maupun tumbuhan di sekitar lokasi, Walhi Sumut bersama 36 advokat di Sumut menggugat izin lingkungan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru ke PTUN Medan, Rabu (8/8).
Direktur Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan kepada wartawan di PTUN Medan, Rabu (8/8) menyebutkan, keberlangsungan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dijalankan PT NSHE di Batang Toru lebih banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar lokasi.
"Kami menilai keberlangsungan mega proyek PLTA itu akan lebih banyak memberikan dampak buruk terhadap lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya. Proyek itu harus dihentikan dan karena itu kami mendaftarkan gugatan terkait izin lingkungan dari PT NSHE," ujar Dana Prima Tarigan.
Menyangkut kekhawatiran dampak negatif proyek itu Dana menyebutkan, wilayah pembangunan PLTA yang kini tengah berjalan tersebut berada di kawasan hutan Batangtoru yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang juga satu-satunya jenis kera besar di dunia yang endemik pada satu provinsi.
"Bukan hanya Orangutan Tapanuli, kawasan itu juga menjadi habitat bagi banyak satwa liar dan tumbuhan yang dilindungi dan terancam punah seperti harimau sumatera, beruang madu, tapir, kambing hutan, termasuk burung enggang gading dan burung kuau serta berbagai jenis bunga bangkai raflesia," jabarnya.
Menurutnya, pembangunan PLTA Batangtoru yang dikerjakan PT. North Sumatra Hydro Energy (NSHE) disebut-sebut sebagai PLTA terbesar di Pulau Sumatera dengan kapasitas 510 MW meliputi tiga kecamatan yang ada di Tapanuli Selatan mencakup Sipirok, Marancar dan Batangtoru. Sejak dicanangkan 2016 lalu, PLTA yang dibangun itu ditargetkan beroperasi tahun 2021 mendatang.
"Klaim 'kapasitas 510 MW' pada dasarnya sudah merupakan salah satu tanda tanya, karena kapasitas tersebut hanya tercapai selama 6 jam setiap hari. Proyek ini didesain untuk menyuplai listrik pada saat beban tinggi dari jam 18.00 WIB sampai dengan jam 24.00 WIB. Maka aliran sungai yang ada akan disimpan selama 18 jam dan kemudian dilepaskan untuk menghasilkan listrik selama 6 jam. Bayangkan, sungai menjadi kering selama 18 jam dan banjir selama 6 jam," pungkasnya.
Ditambahkan Dana, secara geografis Batangtoru terletak di pinggir Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) dan di salah satu lokasi di daratan Sumatera yang paling rawan gempa bumi. Terlebih pemecahan bendungan akibat gempa akan berakibat fatal bagi masyarakat yang bermukim di hilir.
"Proyek PLTA ini juga akan sangat berdampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hilir bendungan, sawah yang di pinggir sungai tidak akan bisa digarap lagi. Masyarakat yang selama ini mengelola hutan dan DAS secara lestari sebagai sumber penghidupan tentu bingung akan beralih ke mana," terangnya.
Senada dengan hal tersebut, Surya Adinata salah satu tim kuasa hukum Walhi Sumut juga menilai bahwa izin lingkungan PT. NSHE jelas bertentangan dengan Undang-Undang tentang penerbitan izin lingkungan, asas-asas pemerintahan yang baik dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup serta peraturan-peraturan lainnya.
"Ada potensi kerusakan lingkungan, konflik masyarakat, dan risiko punahnya orangutan akibat kehilangan dan fragmentasi habitat. Proyek ini lebih banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan serta masyarakat sekaligus bertentangan dengan aturan perundang-undangan," tegas Direktur LBH Medan itu.
RAMAH LINGKUNGAN
Sementara itu Bupati Tapsel melalui Asisten II Ekbang Ir Saulian Sabbih Situmorang menjelaskan, PLTA Batangtoru yang saat ini mulai dikerjakan di lapangan merupakan proyek ramah lingkungan yang diharapkan mampu mendongkrak perekonomian masyarakat.
Hal itu dikatakan Saulian didampingi Kabag Humas, Isnut Siregar kepada wartawan SIB di Kantor Bupati Tapsel, Sipirok, Jumat (10/8).
Sebelum melaksanakan pekerjaan di lapangan telah lebih dahulu dilakukan pengkajian yang komprehensif seperti mengenai analisa dampak lingkungan (Amdal), ramah lingkungan serta kelestarian habitat yang ada di sana harus terjaga.
Selain pengkajian mengenai AMDAL juga dilakukan penelitian oleh konsultan profesional luar negeri. Hal itu dilakukan agar kehadiran proyek tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, ramah lingkungan serta habitat binatang di kawasan itu tetap terpelihara.
Proyek PLTA Batangtoru bukan berada di kawasan hutan melainkan pada areal penggunaan lain (APL). Bisa dilihat pada Permen Hut no. 579 tahun 2014 tentang Penghunjukan kawasan hutan Sumatera Utara.
Jika ada anggapan kalau PLTA tesebut merusak lingkungan, mengganggu habitat termasuk orangutan atau binatang lainnya itu tidak benar. Kita justeru mengutamakan kelestarian lingkungan dan kenyamanan habitat binatang yang ada di kawasan itu," ujar Saulian Sabbih. (A14/G08/q)