Jakarta (SIB) -Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang meminta publik tidak risau soal diaturnya Sekolah Minggu dan Katekisasi dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan karena pasal itu masih bisa dihapus. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menyambut positif hal tersebut.
"Terima kasih atas respons dari Komisi VIII. Kedua, ini membutuhkan dialog kalau dalam perumusan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan," ujar Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom saat dihubungi, Rabu (31/10/2018) malam.
Gultom yakin DPR maupun partai pengusul akan terbuka mengajak dialog tokoh-tokoh maupun lembaga keagamaan di Indonesia untuk membahas rancangan perundang-undangan ini. Dialog-dialog, kata dia, perlu dibuat untuk menyatukan pemahaman tentang pendidikan keagamaan dari tiap agama yang ada di Indonesia.
PGI sebelumnya memberi catatan soal syarat pendirian pendidikan keagamaan seperti Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten. Hal itu diatur dalam pasal 69-70.
Gultom mengatakan PGI memberi dua usul sebagai solusi. Usul pertama yakni dicabutnya kedua pasal tersebut sehingga Sekolah Minggu dan Katekisasi tak diatur dalam undang-undang (UU).
"Memang sebaiknya, kalau bisa pasal yang mengatur Sekolah Minggu dan Katekiksasi lebih baik. Itu catatan saya, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan umat Kristen," ucap dia.
Usul kedua, poin soal Sekolah Minggu dan Katekisasi diganti dengan pendidikan sekolah-sekolah kristen yang didirikan gereja dan dikelola di yayasan. Gultom lalu menyinggung bahwa pendidikan keagamaan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
"Atau Sekolah Minggu diganti dengan sekolah Kristen yang didirikan gereja yang jenjangnya dari SD sampai SMA. Atau juga lebih baik PP 55/2007 tersebut yang dikembangkan dan dijadikan UU," ucap dia.
Sebelumnya, PGI menyatakan model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tak bisa disetarakan dengan pesantren. Sebab, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang kemudian meminta publik tak risau karena pasal tersebut bisa dihapus. Dia juga memastikan bakal meminta masukan kepada pihak-pihak terkait sehingga jika ada pasal yang dianggap tak sesuai, masih bisa didiskusikan.
"Kami menyarankan kepada pihak-pihak jangan terlalu risau dulu. Nanti pasti, kalau pasal itu tidak memberikan ruang kepada pihak (terkait), tentu itu akan dicoret, akan dihapus," kata Marwan kepada wartawan, Rabu (31/10).
Urusan Gereja
Di tempat terpisah, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignasius Suharyo mengatakan pihaknya sedang menyusun daftar pasal yang dianggap tak tepat di dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, tepatnya di pasal yang membahas mengenai kegiatan ibadah umat Katolik. Setelah itu, KWI bisa saja berdialog dengan DPR untuk membahas bersama RUU tersebut.
"Konferensi Waligereja Indonesia sedang mempersiapkan yang disebut daftar isian masalah (DIM). Itu akan disampaikan, ayat-ayat mana yang jadi masalah. Baru sesudah itu bisa dibicarakan," kata Suharyo saat dihubungi.
Dia mengatakan salah satu poin yang ada dalam DIM tersebut yaitu pasal yang mengatur Sekolah Minggu dan katekisasi. Suharyo mengatakan konsep pendidikan Sekolah Minggu dan katekisasi tak bisa diatur lewat undang-undang (UU).
"Yang paling penting jangan menyamakan sekolah minggu dengan sekolah di sekolahan. Sekolah Minggu dan katekisasi itu urusan gereja," tutur dia.
Dia mengatakan Sekolah Minggu dan katekisasi beda dengan pendidikan formal maupun nonformal. Kedua hal ini tak dapat dilepaskan dari peribadatan.
Oleh sebab itu, menurutnya, hal itu tak dapat diatur negara. Uskup Agung Koajutor Jakarta ini setuju dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan negara tak boleh mengatur masalah agama.
"Ranah urusan internal agama, seperti dikatakan Bapak Jusuf Kalla, itu jangan pernah dimasuki aturan apapun dari agama. Kalau mau sembayang Jumat harus izin, ekstremnya, itu negara macam apa? Pasti bukan negara yang dicitakan," ujar dia.
"Kami gereja katolik ada sekolah minggu, sama sekali bukan seperti sekolah formal. Itu adalah pendidikan iman, bukan agama. Kalau agama kan sudah jelas katolik, tapi ini dididik soal iman," sambung Suharyo.
KWI lewat pernyataan sikap juga meminta Pasal 85-87 yang mengatur pendidikan informal dan pasal 88 yang mengatur pendidikan nonformal dihapus. Sebab, pendidikan nonformal dan informal merupakan wujud peribadatan gereja Katolik yang diatur secara internal dan mandiri oleh gereja Katolik.
Dia mengaku selama ini tak pernah mendengar adanya undangan untuk membahas rancangan perundang-undangan tersebut. Meski demikian, menurutnya belum terlambat jika DPR mau mengundang lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia untuk membahas bersama RUU ini.
"Saya sebagai Ketua KWI tidak pernah mendengar ada undangan seperti itu. Jadi tidak ada. Menurut saya itu tidak bijaksana, mau mengatur agama lain tapi tanpa konsultasi. Itu satu langkah yang sangat tak simpatik," ucap dia.
Undang Lembaga Keagamaan
Sementara itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin akan menyerap masukan-masukan masyarakat terkait aturan sekolah Minggu di RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Ia akan mengundang seluruh elemen dan lembaga keagamaan untuk membahas hal ini.
"Ya tentu semua hal itu akan kita serap, kita dalami dan kita akan undang secara khusus mereka-mereka untuk kita dengar aspirasinya seperti apa," kata Menag Lukman Hakim Saifuddin di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Menag Lukman juga akan menyerap aspirasi dari PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) yang menyoroti masalah tersebut. Adapun masalah yang disoroti PGI ialah 15 peserta didik dan harus mendapat izin dari kanwil agama tingkat kabupaten-kota untuk sekolah Minggu.
"Ini nanti dalam waktu dekat (adakan pertemuan untuk serap aspirasi). Kita sedang menyiapkan rumusan persandingan dari RUU yang disampaikan oleh DPR," kata Lukman.
Ia mengatakan RUU itu sebetulnya disiapkan untuk lembaga pendidikan. RUU itu disebutnya tidak untuk mengintervensi pihak-pihak terkait. Lukman mengatakan akan mempelajari RUU dari DPR itu. Ia juga menyebut sudah menyiapkan draf sandingan RUU pesantren itu.
"Kita akan pelajari RUU yang dari DPR, lalu kita dalami lalu kita sedang siapkan persandingannya dan dalam waktu dekat kita akan mengundang sejumlah pemangku kepentingan para stakeholders yang terkait dengan lembaga pendidikan keagamaan untuk kita serap aspirasinya dan setelah itu draf final persandingannya akan segera kita kirim ke Setneg untuk kita bicarakan secara keseluruhan oleh semua yang ada di pemerintahan," ungkap Menag. (detikcom/c)