Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 30 Oktober 2025

Grace Tolak Minta Maaf soal Perda Syariah: Pahami Dulu Konteksnya

* Setara: Laporan Eggi Sudjana Terhadap Grace Didorong Motif Politik
- Rabu, 21 November 2018 11:25 WIB
484 view
Jakarta (SIB) -Anggota DPD asal Aceh, Sudirman, meminta Ketua Umum PSI Grace Natalie meminta maaf soal pidato tidak mendukung Perda Syariah karena dianggap melukai rakyat Aceh. Grace menyebut ada kesalahpahaman soal pidatonya.

"Tidak (minta maaf)," ucap Grace kepada wartawan di kantor PSI, Jalan Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (19/11).

Grace menjelaskan ada perbedaan antara Aceh dan perda berbasis agama di daerah lain. Menurut Grace, hal itulah yang harus dipahami dalam konteks pidatonya.

"Harus dipahami konteksnya, kalau yang kami katakan tidak akan mendukung itu berlawanan dengan konstitusi, produk UU di atasnya. Terkait Aceh, Aceh ini punya UU Pemerintahan Aceh. Punya kekhususan itu," ucap Grace.

Grace menyebut apa yang disampaikan dalam pidatonya tidak berlaku untuk Aceh. Dia menganggap Pemerintahan Aceh memiliki dasar hukum penerapan syariat Islam.

"Jadi qanun di Aceh itu ada payung hukumnya. Yaitu Undang-Undang Pemerintah Aceh. Maka dalam konteks ini tidak berlaku karena ada payung hukumnya," ucap Grace.

Sebelumnya, Sudirman menyesalkan pernyataan Ketum PSI Grace Natalie yang tidak mendukung Perda Syariah ataupun perda yang berlandaskan agama lainnya. Sudirman mendesak Grace meminta maaf kepada rakyat Aceh.

"Apakah dengan berlakunya Qanun Syariah Islam lantas Aceh tidak toleran dan diskriminatif serta tidak tidak ada keadilan di Aceh? Hemat saya, alasan tersebut terlalu berlebihan dan kurang sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk itu, Grace Natalie harus segera meminta maaf kepada rakyat Aceh," tutur Sudirman dalam keterangan tertulis kepada wartawan.

Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan Perda Syariah. Pernyataan Grace mengenai Perda Syariah, dianggap Sudirman, melukai masyarakat Aceh.

"Kalau dasar penolakan terhadap perda berbasis agama, khususnya Perda atau Qanun Syariat Islam, yang hari ini berlaku di Aceh karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila serta guna mencegah diskriminasi, ketidakadilan dan tindak intoleransi, maka sama sekali tidak ada korelasi dan relevansi serta di luar konteks," ujar Sudirman.

Didorong Motif Politik
Sementara itu, laporan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukum Eggi Sudjana terhadap Ketua Umum PSI Grace Natalie dinilai memiliki motif politik. Laporan atas dugaan ujaran kebencian itu disebabkan pernyataan PSI yang menolak Perda Syariah maupun perda yang berlandaskan agama lainnya.

Analisis itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (19/11). Hendardi meminta polisi tidak hanyut dalam permainan politik tersebut.

"Melihat substansi tekstual pernyataan Grace, menimbang situasi kontekstual maraknya perda diskriminatif berdasarkan agama tertentu dan mencermati tren kasus penodaan agama di Indonesia selama ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pelaporan Grace ke Bareskrim Polri oleh Eggi menggunakan pasal-pasal penodaan agama lebih banyak didorong oleh motif dan kepentingan politik. Oleh karena itu, kita ingatkan pihak kepolisian untuk tidak hanyut dalam permainan politik politisi dengan dalih penodaan agama," ujar Hendardi.

Menurut dia pernyataan Grace soal penolakan terhadap perda bernuansa agama itu tidak bisa disalahkan. Hendardi menjelaskan memang banyak regulasi daerah yang diskriminatif.

"Secara substantif tidak ada yang salah dengan pernyataan Grace, bila dikaitkan dengan masalah aktual jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional warga yang diatur oleh UUD 1945," sebutnya.

"Ketum PSI tersebut justru sedang mengingatkan masalah serius konstruksi hukum Indonesia sebagai negara hukum Pancasila. Begitu banyak regulasi daerah yang diskriminatif dalam aneka bentuk, dari surat edaran hingga peraturan daerah," lanjut Hendardi.

Ia kemudian membeberkan sejumlah regulasi diskriminatif yang ditemukan Komnas Perempuan. Hendardi mengatakan setidaknya Komnas Perempuan mencatat 421 peraturan diskriminatif.

Sementara itu, menurut catatan Setara hingga Desember 2017 ada 183 peraturan daerah yang diskriminatif, intoleran dan melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan. Selain itu, Hendardi juga mengingatkan agar pemerintah memoratorium pasal-pasal penodaan agama, di antaranya pasal 156a KUHP, UU No 1/PNPS/1965 dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Hukum penodaan agama dalam ketiga Undang-Undang tersebut memuat pasal-pasal karet yang bertentangan dengan asas kepastian hukum (lex certa) dan karenanya justru menciptakan ketidakadilan, baik aktual maupun potensial," kata Hendardi.

Menurut dia, banyak laporan kasus penodaan agama yang didorong kepentingan politik tertentu. Proses peradilannya pun, sebut Hendardi, banyak diwarnai tekanan politis.

"Mengenai penodaan agama sejak 1965 hingga 2017, pelaporan kasus penodaan agama sebagian besar tidak berkaitan langsung dengan substansi penodaan yang dipersoalkan karena menghina atau merendahkan doktrin teologis tertentu. Begitu banyak kasus penodaan agama yang distimulasi oleh kepentingan-kepentingan politik, terutama politik elektoral, baik di tingkat daerah maupun nasional," ucap Hendardi.

"Dalam konstruksi hukum penodaan agama yang elastis dan fleksibel, motif dan kepentingan politik di balik pelaporan penodaan agama dipastikan sangat dominan dibandingkan dengan intensi penegakan hukum demi keadilan. Proses peradilannya pun banyak diwarnai dengan tekanan politis melalui mobilisasi massa," pungkasnya. (detikcom/q)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru