Apa yang dicetuskan Pemred Harian SIB GM Immannuel Panggabean BBA (selaku putra Batak-Tapanuli) di hadapan Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti, dalam pertemuan di Jakarta Kamis (21/1), adalah representasi faktual sejarah bahwa Tapanuli memang harusnya sudah jadi daerah otonom tersendiri berupa provinsi selama ini, bahkan sejak 1956 silam.
Pasalnya, pasca Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang meliputi daerah Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli, jalan bagi Keresidenan Tapanuli sesungguhnya sudah terbuka secara otomatis untuk menjadi provinsi.
Fakta historis dari buku Sumatera Utara Bangun edisi 1976, khususnya pada halaman 42-57 tentang sejarah pemerintahan (Sumut), menyebutkan Provinsi Sumatera Utara di masa Gubernur (ketika itu disebutkan sebagai Gubernur Militer-Gubmil) T.M Daud Deureueh, mengalami pemekaran daerah ketika Keresidenan Aceh keluar dari wilayah Provinsi Sumut pada 1949 dan menjadi daerah otonom baru (Provinsi Aceh). Tapi legalitas pemekaran DOB Aceh ini menimbulkan gejolak politik sehingga Provinsi Aceh dikembalikan statusnya menjadi tingkat Keresidenan berdasarkan Perpu No. 5 tahun 1950.
Namun, kebijakan ini kembali menimbulkan gejolak yang terlalu panjang ceritanya bila diungkap dalam catatan ini. Singkat kata, Keresidenan Aceh akhirnya resmi menjadi provinsi baru dengan terbitnya Undang-undang No. 24 tahun 1956 sampai seperti sekarang ini. Hebatnya lagi, provinsi Aceh dengan kebijakan lanjut berupa UU No. 1 tahun 1957, menetapkan Provinsi Aceh sebagai 'swatantra', yang kemudian selama ini dikenal dengan istilah Daerah Istimewa Aceh (DIA).
PROVINSI TAPANULI/SUMTIM
Secara historis, Keresidenan Tapanuli yang didirikan Belanda pada tahun 1834 termasuk keresidenan yang jauh lebih awal eksis dari keresidenan lainnya di wilayah Pulau Sumatera.
Keresidenan Tapanuli saat itu dipusatkan di Sibolga dan menguasai empat daerah afdeling, yaitu Sibolga en Omstreken, Angkola en Sipirok, Bataklanden, dan Nias.
Sedangkan Keresidenan di daerah Sumatera Timur (Sumtim) baru dibentuk 53 tahun kemudian, yakni tanggal 1 Maret 1887. Keresidenan Sumtim berpusat di Medan, terdiri atas empat daerah afdeling, yaitu Deli Serdang, Simalungun dan Karolanden, Langkat, dan Asahan.
Pada masa pemerintahan Belanda, Sumatera merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement van Sumatra dengan wilayah meliputi seluruh pulau Sumatera, dipimpin oleh seorang gubernur yang berkedudukan di Kota Medan.
Dua hari setelah Jepang menyerah kepada sekutu, pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam sidang pertama Komite Nasional Daerah (KND), Provinsi Sumatera kemudian dibagi menjadi tiga sub provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.
Saat itu keresidenan (daerah administratif) yang termasuk digabungkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara adalah Keresidenan Tapanuli bersama dua keresidenan lainnya, yakni Keresidenan Sumtim dan Keresidenan Aceh.
Kemudian pada tahun 1948, Sumatera ditetapkan (dimekarkan) menjadi tiga provinsi (bukan lagi sub provinsi) melalui penerbitan Undang-Undang RI No 10 Tahun 1948 pada tanggal 15 April 1948. Ketiga provinsi baru itu adalah Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan, yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi).
Tanggal 15 April 1948 selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Namun, baru setahun setelah pemekaran itu ditetapkan, kembali dilakukan reorganisasi pemerintahan di Sumatera, tepatnya pada Mei 1949.
Dengan Keputusan Pemerintah Darurat RI Nomor 22/Pem/PDRI pada tanggal 17 Mei 1949, jabatan Gubernur Sumatera Utara bahkan ditiadakan. Selanjutnya, dengan Ketetapan Pemerintah Darurat RI pada tanggal 17 Desember 1949, Tapanuli bahkan ditetapkan menjadi provinsi dengan nama Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur bersamaan dengan pembentukan Provinsi Aceh.
Namun belum setahun berselang, ketetapan itu dicabut pada Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950. Dan Provinsi Sumatera Utara kembali dibentuk. Pada masa inilah nama provinsi Tapanuli/Sumatera Timur "dihilangkan dari muka bumi" dan kedua (eks) keresidenan ini lebur dalam Provinsi Sumatera Utara hingga sekarang.
KESETARAAN
Kalau saja, pemerintah ketika itu berperilaku atau bertindak adil dalam hal politik dan birokrasi, sejatinya Keresidenan Tapanuli yang ketika itu bersama-sama dengan Sumtim dan Aceh di dalam ruang lingkup wilayah Provinsi Sumatera Utara, harusnya juga memperoleh produk Perppu yang sama sehingga Tapanuli sudah menjadi provinsi tersendiri sejak saat itu (1956) sampai sekarang.
Bayangkan, eks Keresidenan Aceh yang menjadi provinsi baru ketika itu, memperoleh dua legalitas sekaligus berupa UU No.
24/1956 dan UU No. 1/1957. Sementara, Tapanuli yang secara nomenklatur ketika itu (Desember 1949-Agustus 1950), sudah jelas-jelas disebut sebagai suatu provinsi (Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur), dengan gubernur yang disebut sebagai Gubernur Tapanuli/Sumatera Timur, Dr Ferdinand Lumbantobing, justru terkesan diabaikan tanpa adanya hak kesetaraan pemekaran sebagaimana status eks Keresidenan Aceh yang menjadi provinsi tersendiri, bahkan diberikan gelar daerah istimewa.
Pada alinea bawah (ke-5) halaman 50 buku Sumatera Utara Membangun dalam bab III Sejarah Pemerintah Sumut, jelas-jelas tercatat dalam sejarah adanya eksistensi 'Gubernur Tapanuli/Sumatera Timur' plus DPRD Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur.
Fakta sama juga tertera pada alinea ke-2 dalam halaman 56 buku tersebut, adanya eksistensi 'Wilayah Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur' dan 'Keputusan Gubernur Tapanuli/Sumatera Timur' yang merupakan fakta yang berkekuatan politik sebagaimana status eks Keresidenan Aceh dan eks Keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur sebagai sub-Provinsi Sumatera Utara dulunya.
Pasca sidang Dewan Perwakilan Sumatera di Bukittinggi (Sumatera Barat) pada 17-19 April 1946, ditetapkan ketika itu Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Lalu, berdasarkan keputusan Gubernur Tapanuli/Sumatera Timur No.19 pada 19 Agustus 1950, Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur kemudian 'dibagi' antara 'Provinsi' Tapanuli yang meliputi empat kabupaten: Nias, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Sedangkan, Keresidenan Sumatera Timur meliputi enam kabupaten: Asahan, Deliserdang, Labuhanbatu, Langkat, Simalungun dan Tanah Karo.
Terlepas dari faktor di mana dan sampai sejauh mana peran atau gerakan para tokoh, petinggi negara dan politisi dari kalangan orang-orang Batak-Tapanuli ketika itu, tidaklah seharusnya ketimpangan politik ini terjadi dan dipandang sebelah mata oleh pemerintah di negeri ini dari periode kemerdekaan hingga saat ini.
Bayangkan, perilaku birokrasi politik ketika itu sampai menerbitkan dua produk Undang-undang untuk menetapkan eks Keresidenan Aceh sebagai DOB baru. Masing-masing UU No. 24 tahun 1956, tentang Aceh sebagai provinsi baru, dan UU No. 1 tahun 1957 itu tentang Aceh sebagai daerah swatantra (istimewa). Sementara, Keresidenan Tapanuli justru dibiarkan tinggal dan tertinggal dan 'menetap' di Provinsi Sumatera Utara hingga saat ini. Ini benar-benar tidak adil terhadap Tapanuli yang harusnya memperoleh dan memiliki hak yang sama dalam kesetaraan politik untuk menjadi provinsi tersendiri.
Fakta historis lain yang harusnya menjadi catatan, adalah maklumat pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan nama Dewan Perwakilan Sumatera pada sidang pertama 17-19 April 1946 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Hal ini dilatarbelakangi pembentukan Komite Nasional Daerah (KND) dalam Maklumat Gubernur Sumatera 12 April 1946 No.8/MGD, terkait dengan kebijakan pembentukan atau pemekaran daerah dari provinsi Sumatera tersebut.
Maklumat itu, menetapkan DPRD beranggotakan 100 orang, yang mewakili Keresidenan-keresidenan untuk memutuskan pembagian (pemekaran) Provinsi Sumatera secara administratif menjadi 3 Sub-Provinsi, yaitu: a. Sub. Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. b. Sub-Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau. c. Sub-Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung dan Palembang.
Hal inilah yang kemudian mendorong penetapan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1948. Sebelumnya, penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945, Pulau Sumatera dijadikan sebuah pemerintahan setaraf provinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur (ketika itu Teuku Mohd. Hassan)
Kepemimpinan Gubernur Muda di setiap sub-provinsi berjalan terus sebagai suatu daerah administratif yang dalam prakteknya mengatur rumah tangganya masing-masing, sehingga seolah-olah terjadi pembagian Provinsi Sumatera atas 3 provinsi. Pemerintah pusat yang memahami kenyataan ini, menetapkan Undang-undang No.10 tahun 1948 tanggal 15 April 1948 tentang pembagian Sumatera menjadi 3 provinsi, yaitu: a. Provinsi Sumatera Utara, b. Provinsi Sumatera Tengah dan, c. Provinsi Sumatera Selatan.
Pelantikan Gubernur Provinsi Sumatera Utara (Abdul Hakim) dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 1951. Lalu, pada 23 Oktober 1953, Abdul Hakim digantikan Mr. Sutan Mohd Amin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara, dengan tugas menuntaskan pergolakan di Aceh dan beberapa persoalan tanah di Sumatera Timur, sehingga akhirnya terbit Undang-Undang No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh di bekas wilayah Keresidenan Aceh.
Dengan demikian, sebagaimana tercatat dalam buku historis Sumatera Utara Membangun, khususnya di halaman 57 itu, Provinsi Sumatera Utara otomatis menjadi provinsi tersendiri di bekas wilayah Keresidenan Sumatera Timur dan Tapanuli.
Tapi ironisnya-yang entah sengaja atau tidak-sepertinya aspek historis ini luput dari pandangan para birokrat Batak maupun politisi dan petinggi yang menjadi delegasi rakyat (DPR RI, DPD RI, kementerian terkait di pemerintahan pusat) selama ini.
Wajar kalau saat ini segenap rakyat Indonesia, yang merindukan kemandirian wilayah untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan sosial ekonomi, sedang bertumpu harapan pada pihak DPD RI saat ini untuk mendorong DPR dan pemerintah betapa pentingnya mewujudkan DOB baru yang sedang diperjuangkan sejumlah daerah dalam peluang Indonesia akan menjadi 45 provinsi.
Terlebih bagi Provinsi Tapanuli, daerah yang sudah sejak lama bersiap diri dengan segala persyaratan administratif maupun sosial ekonomi dan politik, sehingga harusnya menjadi prioritas pemekaran.
Soalnya, eks Keresidenan Tapanuli yang bahkan telah tercatat sebagai suatu provinsi (Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur ketika itu), harusnya serta-merta atau otomatis memperoleh legalitas berupa UU dengan nomor 'selisih satu angka' dari nomor UU yang diperoleh Provinsi Aceh ketika itu.
Setidaknya hal ini akan menjadi perwujudan kesetaraan hak politik (equality in political rights) melalui pencabutan moratorium pemekaran dalam waktu dekat ini.
Wahai pemerintah pusat, khususnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), dengarlah aspirasi berupa jeritan dan kerinduan pemekaran ini.
Sumber
: Hariansib edisi cetak