Medan (SIB)
Situasi 'ribut-ribut' para penyedia jasa (rekanan) konstruksi di kalangan konsultan dan kontraktor daerah ini yang protes kebijakan Pemprov Sumut yang menggabungkan pekerjaan atau paket konsultansi menjadi satu paket proyek konsultansi di Dinas PU Bina Marga Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumut, telah menimbulkan reaksi beragam dan pro-kontra.
Ketua Dewan Pertimbangan Gabungan Kontraktor Indonesia (Gakindo) Provinsi Sumut dan pemerhati jasa konstruksi nasional Irsan Nusabakti, secara terpisah menyebut penggabungan proyek konsultansi senilai total Rp 34,9 miliar menjadi satu paket saja, memang tidaklah lazim, namun tidak juga melanggar aturan dari UU dan peraturan lain yang terkait jasa konstruksi.
"Penggabungan atau menyatukan pekerjaan konsultansi dan pekerjaan konstruksi (fisik), memang sangat tidak lazim sehingga langsung diprotes. Tapi untuk kondisi tertentu ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 12/PRT/M/2017 tentang kebijakan design and build yang dikenal dengan 'Permen D-B' sebagai dasar hukum dan aturan legal penyatuan atau gabungan paket-proyek itu. Kebijakan ini juga merupakan implementasi dari UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang metode rancang dan bangun (D-B) untuk pelaksanaan proyek terintegrasi pada kondisi (objek konstruksi) tertentu," ujar Johnanta Siagian, Jumat (14/1) di Medan.
Sembari menyebutkan contoh proyek yang dikerjakannya (CV Karya Mitra Konstruksi) di Maluku dan Pulau Jawa serta proyek jembatan Sidua-dua Parapat pada 2010 lalu (sebelum UU dan Permen 'D-B' 2017), kondisi tertentu yang dimaksud dalam hal ini adalah objek proyek (misal jalan raya) yang sudah sangat parah kerusakannya. Sehingga, butuh pekerjaan lebih intensif yang didukung peralatan lengkap, SDM handal, bahkan kapital atau modal perusahaan untuk mencapai kualitas plus daya tahan lebih lama dari masa-masa sebelumnya.
"Kalau untuk proyek dari APBN, kebijakan seperti ini disebut diskresi yang diputuskan Presiden seperti penanganan jalan yang rusak sangat parah di Desa Liangmelas Kabupaten Karo. Untuk proyek dari dana APBD seperti yang di PU BMBK Sumut, ini yang perlu ditanyakan, apakah ada surat gubernur tentang kebijakan seperti diskresi sehingga Kadis-nya (Bambang Pardede) berani langsung bertindak menggabungkan paket-paket konsultansi dan paket konstruksi itu, atau memang mutlak bisa dilakukan sendiri berdasarkan aturan Permen Nomor 12 Tahun 2017 itu," papar Johnanta, mantan Ketua Umum Gakindo Sumut dua periode.
Hal senada juga dicetuskan Irsan Nusabakti melalui hubungan video call dengan SIB, bahwa ribut-ribut atau protes penyatuan paket proyek konsultansi dan proyek konstruksi-fisik, memang dominan karena faktor kesenjangan sosial.
Soalnya, penggabungan jatah rekanan bidang konsultan menjadi satu paket dengan jatah rekanan 'kuat modal', otomatis akan menghilangkan peluang para rekanan lokal, baik dari pihak konsultan maupun kontraktor.
"Secara regulasi, penyatuan paket-proyek di BMBK Sumut itu tidak menyalahi aturan atau prosedur UU atau Permen jasa konstruksi. Tapi secara potensi, peralihan proyek kepada kalangan rekanan atau kontraktor besar, swasta maupun BUMN, ini yang dinilai melanggar komitmen 'Sumut Bermartabat' karena hilangnya rasa keadilan dan perlindungan publik selaku putra daerah atau tuan rumah, sehingga hanya bisa jadi penonton yang menjerit histeris. Advis yang 'menghibur' bahwa para rekanan daerah ini harus membina hubungan baik dengan pemerintah pusat maupun Pemda, masih berupa harapan kosong belaka. Pihak pemerintah selaku pemilik proyek (owner) lebih sering menyalahkan para penyedia jasa lokal (rekanan) dengan alasan ini-itu sehingga kalah tender. Padahal, soal kalah atau menang kan hal biasa. Ini, untuk ikut tender sajapun tak ada lagi peluang karena persyaratan dan grade perusahaan sudah terganjal nilai proyek," katanya.
Selaku praktisi jasa konsultan properti dan konstruksi yang aktif mengerjakan proyek bersumber dana APBN selama ini, Irsan menegaskan fungsi dan bidang kontraktor dan konsultan memang berbeda sehingga jenis pekerjaannya juga terpisah.
Tapi, untuk kondisi tertentu, tugas atau jatah konsultan bisa dijadikan satu paket dengan tugas kontraktor sebagai proyek terintegrasi, terpadu dan lebih berkualitas dengan kebijakan rancang dan bangun (design and build--D-B).
Demi Kualitas 'Jalnas'
Terpisah, Kepala Dinas BMBK Sumut Ir Bambang Pardede, kembali menegaskan tidak ada yang salah atau menyalahi dalam penyatuan paket bidang perencanaan (konsultansi) serta paket fisik (konstruksi), yang masing-masing nilainya Rp 34,9 miliar dan Rp 2,7 triliun itu. Namun, dia tidak menyebutkan apakah ada surat keputusan (SK) Gubernur Sumut untuk pelaksanaan proyek secara khusus seperti diskresi Presiden, atau karena kebijakan normatif berdasarkan Permen 12/2017 atau regulasi Design and Build (D-B), atau karena adanya rekomendasi dari DPRD Sumut dari komisi terkait atas temuan dan kajian tim baku mutu jalan.
"Selain tidak melanggar aturan dan peraturan manapun karena memang ada legalitas prosedur dan dasar hukumnya, penyatuan paket konsultansi maupun proyek fisik-konstruksi ini murni demi kualitas agar jalan-jalan raya di Sumut ini bisa setara kualitas jalan nasional (Jalnas) nantinya. Ini bukan modus untuk korupsi atau KKN apalagi diskriminasi, melainkan tindakan spesifik dan terpadu untuk memudahkan kontrol waktu dan kualitas. Kita ingin agar kondisi jalan raya di daerah ini lebih kuat dan lebih lama daya tahannya," katanya kepada SIB.
Mantan Kepala Satker Wilayah-I Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN)-II Medan (kini BBPJN Sumut) itu mengungkapkan, penyatuan paket sebagai tindakan pekerjaan pada kondisi tertentu itu didasarkan pada beberapa aspek formal. Misalnya faktor kondisi dan kualitas jalan raya di Sumut yang sudah lebih banyak kerusakan parahnya (kumulatif mencapai 70 persen lebih pada semua lokasi-daerah), faktor anggaran yang terkombinasi antara APBD yang hanya Rp 500-an miliar dengan dana investor sehingga total Rp 2,7 triliun, juga faktor perangkat kerja proyek (seperti AMP dan lainnya) yang masa pakainya maksimal lima tahun.
Lagi pula, pihaknya sudah menggelar presentasi rencana kerja kepada Gubernur Edy Rahmayadi disaksikan para peabat instansi terkait, antara lain meliputi sesi penanganan jalan raya secara rigid beton pada area padat penduduk dan padat lalu lintas, penataan bahu-bahu dan tepi jalan raya agar tidak mudah terkikis dan kelupas, penguatan tebing di sepanjang atau sekitar jalan yang rawan longsor, misal membuat lapisan dinding (retaining wall concrete) pada tebingan dengan rangka penahan baja bertulang (wire mesh), demikian juga alasan pelaksanaan proyek tanpa harus menempuh proses paparan perencanaan (detail engineering design--DED) dan sebagainya.
"Terlepas dari lazim-tidaknya tindak penggabungan paket yang sebenarnya prosedural ini, kritik atau protes hendaknya didasari dan bermuara pada orientasi hasil kerja dan manfaat publik, bukan atas asumsi dan kekuatiran hilangnya peluang kerja. Banyak kok, rekanan lokal yang ikut, tapi tender kan baru diumumkan akan dimulai. Tapi kalau yang kerja itu nantinya masih rekanan yang peralatannya pun pinjam sana pinjam sini, bahkan banyak yang sudah rusak tapi dibilang (laporkan) masih bagus, jadilah jalan raya di kampung (daerah-Sumut) kita hancur-hancuran terus," katanya serius tanpa menanggapi pro-kontra lanjut para rekanan terkait paket-proyek secara 'D-B' itu biasanya dilaksanakan pada proyek swasta atau non-pemerintah. (A5/A13/d)