Jakarta (SIB)
Saat situasi di Ukraina masih bergejolak, situasi di Asia Timur malah memanas.
Kondisi di Taiwan rentan pecah menjadi perang. Tanpa mengecilkan situasi kemanusiaan di Ukraina, pakar memprediksi perang di Taiwan bisa berdampak lebih dahsyat ketimbang dampak invasi Rusia di Ukraina. Indonesia juga bisa kena getahnya.
Guru Besar Hukum Internasional UI sekaligus Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Hikmahanto Juwana, serta ahli hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah mengatakan hal itu, Jumat (5/8).
"Dampaknya akan lebih dahsyat. Dampak ke Indonesia lebih besar karena hubungan dagang kita dengan Taiwan dan China lebih tinggi," kata Teuku Rezasyah.
Indonesia jelas punya hubungan ekonomi dengan Republik Rakyat China (RRC), juga Taiwan.
Taiwan adalah penghasil produk-produk teknologi yang perannya vital bagi dunia, termasuk Indonesia.
Taiwan punya kemampuan memproduksi chip, mikroprosesor, dan produk teknologi-informasi, tidak kalah maju dibanding Korea Selatan dan Jepang. Banyak pula orang Indonesia di Taiwan.[br]
"Ada 300 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan yang harus dilindungi. Itu berat," imbuh Reza. Banyak warga negara Indonesia mencari nafkah di Taiwan. Jumlahnya belum dihitung bersama anggota keluarga di Tanah Air yang harus mereka hidupi.
Reza menjelaskan Taiwan sudah selalu bersiaga perang dengan China sejak 1949, setelah China dikuasai Partai Komunis pimpinan Mao Zedong.
Warga Taiwan juga menjalani wajib militer. Taiwan kemudian mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS). Dan kini, 2022, situasi memanas usai Nancy Pelosi Ketua DPR AS berkunjung.
"Kalau terjadi serangan dari China, maka akan terjadi pembalasan yang dahsyat. Kalau orang Jawa bilang, mati siji mati kabeh (bila ada yang mati satu maka semua bakal mati sekalian)," kata Rezasyah.
Hikmahanto Juwana menilai potensi konflik ini muncul gara-gara ulah Amerika Serikat (AS) lewat kunjungan Nancy Pelosi. Ulah AS bakal merugikan banyak pihak.
"Akibat provokasi yang dilakukan oleh AS maka dunia akan terdampak sangat luar biasa," kata Hikmahanto.
China bisa saja beraliansi dengan Rusia untuk melawan AS. Namun AS dia prediksi tak akan terlibat langsung dalam perang bila China dan Taiwan benar-benar berperang.
"AS seperti di Ukraina hanya akan memasok senjata, uang, dan mengajak sekutu-sekutunya melakukan embargo ekonomi," kata Hikmahanto.
China yang beribu kota di Beijing menganggap Taiwan sebagai provinsinya yang harus kembali bersatu.
Namun Taiwan yang beribu kota di Taipei jelas sudah punya Presiden dan menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat, namanya adalah Republik China (Republik of China/ROC), terpisah dengan Republik Rakyat China (People's Republic of China/PRC).
Bagaimana sikap Indonesia?
Indonesia sendiri tidak menganggap Taiwan sebagai negara. Maka, Indonesia juga tidak menyebut Taiwan sebagai Republik China.[br]
Bagi Indonesia, hanya ada satu China. Indonesia tidak punya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Taiwan, melainkan hanya sebatas Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei.
Di sisi lain, Indonesia juga mengadakan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat (AS) dan negara sekutunya. Lantas, bagaimana Indonesia sebagai negara berdaulat harus bersikap supaya perang tidak meletus di Taiwan?
"Presiden Indonesia perlu secara simbolik memohon kebesaran hati pihak-pihak yang bertikai untuk menahan diri, baik AS, Beijing, dan Taiwan. Negara-negara lain juga tidak usah mengompori," kata Rezasyah.
Apakah benar-benar akan perang?
Hikmahanto Juwana menilai ada potensi China menyerang Taiwan, sama seperti Rusia melancarkan operasi militer ke Ukraina.
Dasar yang digunakan China adalah menjaga kesatuan teritorialnya. Bagi China, Taiwan adalah pemberontak.
"Serangan China akan dikualifikasi sebagai tindakan polisionil terhadap wilayahnya yang hendak memberontak," kata Hikmahanto.
Meski demikian, Teuku Rezasyah menilai perang RRC vs Taiwan tidak akan meletus. Soalnya, China sadar betul dampak global dan regional apabila perang meletus.
"Latihan militer China di Selat Taiwan ini 'gertak sambal' China. Itu menunjukkan komitmen China untuk mengintegrasikan Taiwan kapan pun. China latihan, Taiwan juga sekalian mengetes radarnya," ujar Reza mengamati situasi.
Namun bukan perang yang dipicu secara sadar yang perlu dikhawatirkan, melainkan perang yang dipicu secara tidak sadar yang patut dihindari. Bisa saja ada rudal nyasar dan pihak yang berseberangan tidak terima.
"Akan berbahaya bila mereka salah tafsir. Kalau China makin kebablasan, peluru kendali nyasar, Taiwan bisa menganggap ini sebagai serangan langsung. Dia bisa melakukan serangan pembalasan yang lebih dahsyat karena mereka didukung AS. Bagi Taiwan, ini urusan hidup-mati," kata Rezasyah. (detikcom/a)