Jakarta (SIB)
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menuturkan banyak titik temu, kesamaan pandangan dan sikap kebangsaan dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), terutama menjelang tahun politik 2024. Prof Haedar berkata, Muhammadiyah dan PGI punya sikap dan pandangan yang sama agar Indonesia itu berpijak pada konstitusi, pada nilai-nilai dasar yang telah diletakkan para pendiri bangsa.
"Sehingga pascareformasi kita harus terus mengawal Keindonesiaan ini dengan nilai-nilai kebangsaan yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa yang memiliki ikatan nilai pada Pancasila dan agama sebagai pondasi luhur dalam kehidupan kebangsaan,” kata Haedar setelah menjalin silaturahim kebangsaan di kantor pusat PGI, Jl. Salemba Raya No. 10, Jakarta Pusat, Jumat (9/6).
Disambut langsung Pendeta (Pdt) Gomar Gultom, Prof Haedar hadir didampingi Sekretaris Umum Prof Abdul Muti, Ketua Dadang Kahmad, dan Sekretaris Izzul Muslimin. Silaturahim antara dua organisasi keagamaan tersebut turut mendiskusikan tentang upaya menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama yang ramah terhadap keragaman dalam spirit persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Prof Haedar berkata, momentum ini dijadikan Muhammadiyah, PGI dan seluruh kekuatan keagamaan di Indonesia menjadi kanal untuk memperkokoh semangat, spirit, jiwa, dan pandangan keagamaan baik di setiap agama atau lintas agama. "Agar agama menjadi sumber nilai yang memperkokoh, memperluas semangat untuk perdamaian, persatuan, kemajuan dan hidup di dalam kebersamaan yang bisa saling membangun untuk kepentingan bersama. Membangun peradaban bersama dengan nilai-nilai luhur agama,” ucapnya.
Terakhir, Muhammadiyah dan PGI kata Haedar juga sepakat agar soal Pemilu 2024 berjalan dipandu oleh moral keagamaan dan kebangsaan agar terlaksana dengan penuh demokratis, bermartabat, luber jurdil, dan tidak sekadar perjuangan kekuasaan semata. Ia berkat,a Pemilu harus ajang untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berkeadilan, Indonesia yang lebih berkemajuan, Indonesia yang lebih membawa sejahtera dan Indonesia yang merekat persatuan dalam keragaman.
"Di situlah Muhammadiyah dan PGI memiliki komitmen moral bersama seluruh kekuatan keagamaan dan kebangsaan supaya pemilu itu juga menjadi ajang mendialogkan pemikiran-pemikiran besar, pemikiran-pemikiran luhur dan pemikiran-pemikiran yang berpijak pada Pancasila, agama dan kebudayaan luhur bangsa agar Indonesia ke depan menjadi Indonesia yang memiliki jiwa Keindonesiaan sehingga tidak sekadar berkontestasi politik secara pragmatis,” imbuh Haedar.
“Dan kami percaya dan kami optimis bahwa dalam konteks hidup beragama maupun berbangsa dengan semangat kebersamaan kita bisa memecahkan masalah-masalah dan tantangan-tantangan Indonesia ke depan,” tegasnya.[br]

FOTO BERSAMA: Ketua Umum PGI Gomar Gultom foto bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan pengurus usai silaturahim kebangsaan di Kantor Pusat PGI, Jalan Salemba Raya Nomor 10, Jakarta Pusat, Jumat (9/6). (Foto: Dok/PP Muhammadiyah)
Sangat dibutuhkan
Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom punya pendapat serupa. Kunjungan ini, kata dia menegaskan antar umat beragama di Indonesia sebagai satu kesatuan sebagai anak bangsa Indonesia.
Agenda sinergis seperti ini kata dia akan terus dilanjutkan karena berdampak pada keharmonisan umat di tingkat akar rumput. “Dari percakapan tadi kami temukan titik-titik temu yang banyak dan lebih besar di Muhammadiyah dan PGI. Bahkan keprihatinan kita atas keberagamaan dan kondisi bangsa kita memiliki kesamaan. Oleh karena itu kita punya komitmen bersama untuk terus berjalan bersama mengayuh perjuangan untuk menuju Indonesia yang lebih adil, lebih makmur dan lestari,” ujarnya.
Dalam kunjungan tersebut sejumlah isu dibicarakan, di antaranya terkait kehidupan keberagamaan di Indonesia, media sosial, serta jelang pesta demokrasi Pemilu 2024.
“Kunjungan silaturahim seperti ini memang sangat dibutuhkan karena sekarang ini setiap perbedaan, termasuk perbedaan agama, yang semakin dikedepankan hanya untuk kepentingan tertentu semata,” ujar Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengawali perbincangan.
Lebih jauh dijelaskan, fenomena perkembangan agama belakangan ini, tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, yang makin mengarah ke kanan, termasuk juga dalam kekristenan. “Maka kami tertarik dengan penelitian yang dilakukan Mas Mu’ti tentang Kristen Muhammadiyah. Menurut saya ini sangat menginspirasi, bahwa sesungguhnya dakwah atau misi itu tidak melulu berorientasi kepada pertambahan jumlah, tetapi harus lebih bersifat kemanusiaan. Dewan Gereja seDunia juga mengartikulasikan bahwa misi itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan dengan umat yang berkeyakinan lain,” ujarnya.
Sebab itu, lanjut Ketum PGI, Kristen Muhammadiyah, bisa menjadi terobosan baru, dan sebuah pandangan model inklusif yang membuat perjumpaan antaragama menjadi sebuah rahmat.
Sedangkan Prof. Haedar Nasir melihat, umat beragama di Indonesia seharusnya telah masuk dalam fase baru, dan melihat isu, seperti kristenisasi, islamisasi, dan lainnya, adalah isu klasik yang tidak lagi memberikan ancaman bagi kedua pihak. Melainkan bisa menjadi tempat bertemu untuk memberi pencerahan keagamaan dan kemanusiaan.
“Tapi memang ada keagamaaan yang menjadi ke kanan ini perlu kita lihat, karena dalam kajian sosial agama, ini fenomena revitalisasi agama, dalam situasi yang dianggap chaos akibat sekularisasi dan lain-lain. Agama berkembang sebagai bentuk pertahanan diri lalu menjadi ke kanan, tetapi arus besarnya semakin moderat. Persoalan ini terkadang bertambah rumit karena peran media sosial,” paparnya.
Menghadapi situasi ini, menurutnya yang diperlukan adalah dialog serta kerjasama, sehingga semua menjadi terbuka.
Sementara itu, menyoroti Pemilu 2024, sudah seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang rutin. “Padahal memilihnya cuma lima menit, kenapa harus musuhan puluhan tahun,” tandasnya.
Agama dan ideologi, ujar Prof. Haedar, masih kerap digunakan sebagai alat politik. Karena itu umat yang ikut menjadi kontestan harus lebih moderat, tidak membawa urusan agama ke dalam politik. “Menjadi concern kita bagaimana mengingatkan elit politik dan mereka yang berkontetasi tidak menyeret isu primordialisme yang akhirnya kita juga lembaga keagamaan yang harus menyelesaikan. Dua dasawarsa reformasi seharusnya memberi kita perobahan,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Pdt. Gomar Gultom. Kita masih menyisakan “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan, termasuk keberadaan partai politik. Meski demikian diakuinya demokrasi masih sebagai pilihan terbaik, meskipun proses demokrasi bersifat prosedural.
Diakhir pertemuan, kedua lembaga keagamaan ini berkomitmen untuk berupaya menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama yang ramah terhadap keragaman dalam spirit persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, akan mengawal Pemilu 2024 berjalan dipandu oleh moral keagamaan dan kebangsaan agar terlaksana dengan penuh demokratis, bermartabat, luber jurdil, dan tidak sekadar perjuangan kekuasaan semata.
PP Muhammadiyah dan MPH-PGI juga menyepakati perlunya merumuskan pesan moral bersama lembaga-lembaga keumatan jelang pemilu 2024.
Delegasi PP Muhammadiyah diterima langsung oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, Sekum PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty, Wasekum PGI Pdt. Krise Anky Gosal, Wabendra PGI Arie Moningka, serta beberapa sekretaris eksekutif, kepala biro, dan staf. (Rep/Pgi.or.id/a)