California (SIB)- Sebanyak 3 orang bersenjata melepaskan tembakan secara brutal di pusat kawasan bagi penyandang cacat di San Benardino, California, Rabu (2/12) waktu setempat. Dilansir AFP, Kamis (3/12), para penembak tersebut dilaporkan melarikan diri dalam mobil SUV gelap setelah melepaskan tembakan brutal tersebut. Polisi yang melakukan pengejaran menembak mati dua pelaku.
Penembakan dilakukan pagi hari waktu setempat di dalam auditorium di Inland Regional Center, yang berjarak sekitar satu jam dari Los Angeles. Ada ratusan karyawan yang bekerja di dalam gedung tersebut dengan para penyandang cacat yang tengah direhabilitasi.
"Penembak dipersenjatai dengan senjata laras panjang dan datang dalam kondisi siap melakukan apa yang hendak mereka lakukan," kata Kepala Polisi San Bernardino, Jarrod Burguan, Rabu (2/12). "Seolah-olah mereka berada dalam sebuah misi," imbuhnya.
Kepolisian Amerika Serikat mengidentifikasi dua pelaku penembakan brutal di San Bernardino, California yang menewaskan 14 orang. Keduanya adalah pasangan bernama Syed Rizwan Farook, pria berusia 28 tahun dan Tashfeen Malik, wanita berumur 27 tahun.
Pasangan tersebut tewas dalam baku tembak dengan polisi usai penembakan massal yang juga melukai 17 orang tersebut. Farook yang merupakan warga negara AS diketahui sebagai pegawai departemen kesehatan wilayah San Bernardino, sekitar 100 km sebelah timur Los Angeles.
Belum jelas hubungan antara Farook dan Malik. Kepolisian setempat mengatakan, keduanya mungkin merupakan pasangan suami istri atau pasangan kekasih.
Kepala kepolisian San Bernardino, Jarrod Burguan mengkonfirmasi keduanya telah tewas. Keduanya beraksi di acara pesta yang digelar di gedung Inland Regional Center pada Rabu (2/12) sekitar pukul 11.00 waktu setempat. "Kami belum mendapatkan motifnya saat ini," kata Burguan. "Kami tidak mengesampingkan terorisme," imbuhnya seperti dilansir AFP, Rabu (3/12).
Fasilitas tempat insiden penembakan terjadi -- Inland Regional Center -- didirikan lebih dari 40 tahun lalu untuk membantu mereka yang memiliki gangguan perkembangan mental. Pasca peristiwa penembakan, fasilitas tersebut ditutup untuk sementara waktu.
Takut Bertemu Orang
Kejadian penembakan di Inland Regional Center menimbulkan trauma mendalam bagi para warga. "Staf kami dengan sabar menunggu dievakuasi ke tempat lain yang lebih aman. Ini adalah kejadian yang menimbulkan trauma mendalam bagi kami," kata Direktur Eksekutif Pusat Layanan Sosial Bagi Penyandang Cacat, Lavinia Johnson seperti dilansir CNN, Kamis (3/12).
Para keluarga karyawan panik begitu mendengar kabar penembakan tersebut. Dengan penuh ketakutan, para keluarga mencoba mencari tahu kondisi orang yang mereka sayangi. "Selama sejam saya merasa begitu tegang hingga akhirnya bertemu putri saya dalam kondisi baik-baik saja," kata Olivia Navarro (63). "Dia sangat ketakutan saat saya berbicara dengannya, tapi dia terlihat kalem," imbuhnya. Sementara itu polisi saat ini tengah memeriksa seluruh ruangan di kawasan tersebut. Mereka meneliti dengan detil setiap ruangan dan bungkusan yang ada, yang mungkin ditinggalkan oleh 3 orang pelaku penembakan brutal tersebut.
Tak Ada Duanya
Presiden AS Barack Obama menyerukan adanya reformasi pengendalian senjata di negeri itu. Hal ini disampaikan Obama dalam wawancara di stasiun televisi CBS usai penembakan massal di San Bernardino, California, Rabu (2/12) sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Obama menyerukan perlunya UU baru mengenai keselamatan bersenjata.
Dikatakannya, para anggota parlemen juga harus mengeluarkan aturan hukum yang mencegah orang-orang yang masuk dalam "Daftar Dilarang Terbang" bisa membeli senjata api secara legal. "Kita belum tahu motif para penembak namun yang kita tahu adalah ada langkah-langkah yang bisa kita ambil untuk membuat warga Amerika lebih aman," tutur Obama seperti dilansir CNN, Kamis (3/12). "Kita jangan pernah berpikir bahwa ini terjadi begitu saja secara kebetulan, karena ini tidak terjadi dengan frekuensi yang sama di negara-negara lain," imbuhnya. Menurut Obama, Amerika memiliki pola penembakan massal yang tidak ada duanya di dunia.
Sementara itu, pejabat Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) mengingatkan untuk tidak terburu-buru menggunakan istilah terorisme untuk menyebut insiden penembakan yang terjadi pada Rabu (2/12) sekitar pukul 11.00 waktu setempat itu. "Itu kemungkinan terorisme, namun kami belum tahu. Dan kami tak akan menyebutnya seperti itu saat ini," tutur David Bowdich, wakil direktur FBI yang memimpin kantor cabang Los Angeles seperti dilansir AFP, Rabu (3/12).
Seorang pria dan seorang wanita yang melakukan penembakan brutal tersebut tewas dalam baku tembak dengan polisi, beberapa jam setelah insiden penembakan di Inland Regional Center tersebut. Sementara satu orang lainnya yang diduga terlibat penembakan itu, telah ditahan polisi.
Penembakan ini merupakan kekerasan senjata paling mematikan di AS sejak pembantaian di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut pada Desember 2012 yang menewaskan 27 orang, termasuk pelaku penembakan. Penembakan massal ini terjadi kurang dari satu minggu setelah seorang penembak menewaskan tiga orang dan melukai sembilan lainnya dalam penembakan membabi-buta di klinik Planned Parenthood di Colorado Springs, Colorado. Pada Oktober lalu, seorang penembak juga membunuh sembilan orang di sebuah kampus di Oregon. Sebelumnya pada Juni, seorang penembak berkulit putih menewaskan sembilan jemaat gereja kulit hitam di South Carolina. (AFP/CNN/dtc/R17/f)