Jakarta(harianSIB.com)
Kasus korupsi yang menjerat pengusaha Harvey Moeis, suami dari artis Sandra Dewi, menjadi salah satu skandal hukum paling menyita perhatian publik tahun 2025. Di balik hukuman berat yang dijatuhkan kepada Harvey, publik juga menyorot diamnya Sandra Dewi, sebuah sikap yang justru menimbulkan lebih banyak tafsir dibanding kata-kata.
Harvey Moeis telah dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cibinong sejak Juli 2025 untuk menjalani hukuman 20 tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp1 miliar serta uang pengganti sebesar Rp420 miliar. Putusan ini merupakan hasil banding dari vonis Pengadilan Negeri yang sebelumnya menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara, putusan yang sempat menuai kritik karena dianggap tidak sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi komoditas timah yang mencapai triliunan rupiah.
Perjalanan hukum Harvey berliku. Setelah vonis pertama yang dinilai ringan, Kejaksaan Agung mengajukan banding. Hasilnya, hukuman diperberat lebih dari tiga kali lipat. Dalam sidang pembacaan putusan banding, Harvey tampak tak kuasa menahan tangis, aura yang berbanding terbalik dengan senyum tenangnya di sidang sebelumnya.
Namun, di balik penjara besi yang menanti Harvey, badai sesungguhnya justru menerpa sang istri. Sosok Sandra Dewi, yang selama ini dikenal dengan citra keluarga harmonis dan kehidupan glamor, tiba-tiba menjadi sasaran penghakiman publik. Setiap ekspresi wajahnya, atau bahkan keheningannya, menjadi bahan tafsir di ruang digital.
Baca Juga:
Ketika Harvey digiring aparat dengan tangan terborgol, kamera menyorot Sandra yang tampak tanpa ekspresi. Publik kemudian menilai keheningan itu sebagai tanda dingin, tegar, atau bahkan pasrah. Padahal, menurut sejumlah psikolog, situasi yang dihadapinya mencerminkan apa yang disebut sebagai krisis identitas sosial ganda, tekanan untuk tetap tenang di tengah kehilangan pribadi sekaligus tuntutan publik sebagai figur selebritas.
Dalam analisis sosial, sikap diam Sandra dapat dilihat sebagai bentuk impression management, upaya menjaga kendali atas citra diri ketika narasi publik sudah di luar kendalinya. Namun, dalam konteks budaya patriarkal, banyak yang menilai diamnya justru sebagai bentuk "hukuman sosial" terhadap perempuan yang dianggap menikmati hasil dari kesalahan suami, sebuah fenomena yang disebut patriarchal punishment.