Ribuan berkas naskah Batak kuno berupa surat-surat penting berbahasa Batak maupun dokumen dengan aksara Batak, selama ini ternyata hanya jadi pajangan belaka di sejumlah negara di luar negeri, sehingga butuh upaya dan gerakan atau kebijakan khusus untuk menarik naskah-naskah tersebut kembali ke Indonesia, khususnya ke daerah Batak, asalnya.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak di Medan, Manguji Nababan SS, menyatakan produk aksara Batak sebagai bagian dari ciri asli kebudayaan dan sastra Batak, kini benar-benar terancam punah kalau tidak ada upaya berbagai pihak untuk mempertahankan dan melestarikannya, khususnya untuk kaum generasi muda Batak.
"Saat ini, terdapat ribuan berkas naskah Batak kuno yang tersebar di beberapa negara luar negeri seperti di Jerman, Belanda. Austria dan Inggris. Kebanyakan berkas itu cuma jadi pajangan di museum setempat, sebagian tersebar di kalangan masyarakatnya sebagai koleksi atau untuk riset. Itu semua merupakan 'harta warisan budaya' yang sangat berharga peninggalan nenek moyang suku Batak yang harus kembali ke tempat asalnya di Indonesia, di Tanah Batak," ujar Manguji Nababan kepada pers di Medan, Jumat pekan lalu (22/12).
Dia mengutarakan hal itu dalam temu ramah komunitas sastrawan Batak di salah satu kampus PTS di Medan, sehubungan undangan temu riset histori aksara Batak dari Deutsch Indoneische Gesellschaft eV (DIG--semacam lembaga kerja sama Jerman-Indonesia), Jerman. Undangan tersebut merupakan tindak lanjut dari undangan yang sama untuk seminar tentang 'Identifikasi Ethnisitas Batak' yang digelar DIG di Cologne, Jerman, pada 2 November 2013 lalu.
Pada seminar yang langsung digagasi chairman DIG Karl Metes itu, Manguji Nababan mengungkap histori aksara Batak yang merupakan penggabungan sejumlah huruf Samawi berbentuk kalimat yang mengandung nilai dan makna penting berupa silsilah marga (tarombo), resep ramuan obat tradisionil untuk kesehatan atau penyembuhan, pantun-pantun petuah (umpasa), kalender dan penujuman (mirip primbon) surat menyurat atau korespondensi serta berkas komunikasi lainnya.
Histori dan kondisi aksara Batak itu juga sempat dicetuskan Manguji dalam presentasi penulisan aksara Batak secara manual dan elektronis, yang digelar Department of Indo Pacific Languanges and Literatures (IPLL), University of Hawai, pada medio 2015 lalu. Pada piagam yang ditandatangani Prof Uli Kozok dari University of Hawai dan Dr Stephen O Harrow chairman IPLL itu, disebutkan presentasi tersebut untuk memasyarakatkan penulisan Batak untuk keahlian di bidang aksara Batak.
"Kalau jumlah huruf pada aksara latin yang kita kenal sehari-hari ada 26 huruf abjad (alfabet), maka jumlah huruf pada aksara Batak ada 19 huruf yang terdiri dari induk surat (Ina ni Surat) dan anak surat. Semua warga enis Batak seperti Karo, Toba atau Tapanuli, Simalungun, Dairi, Pakpak, Alas, Angkola dan Mandailing memang memiliki aksara dengan bentuk huruf yang berbeda, akan tetapi, jika dikaji mendalam dan cermat, aksara itu justru memiliki kesamaan dan berinduk pada aksara Palawa (India) yang disebarkan ke Indonesia di Tanah Batak, melalui daerah Barus di pesisirTapanuli Tengah, ujar Manguji mengungkap analisis risetnya.
Naskah kuno itu, ujar dia, dulunya tertulis pada objek elemen kayu atau bambu, kulit hewan dan kain-kain tertentu. Tapi kini, generasi muda Batak umumnya sudah tidak lagi mengenal kekayaan budaya tulis warisan leluhur itu. Ini sebenarnya berbahaya pada sisi atau aspek peradaban Batak itu sendiri. Bila aksara Batak itu punah kelak, maka akan hilang pula objek dokumentasi budaya yang terekam dan terukir dengan aksara kuno tersebut. Sehingga, literatur atau 'pustaha' (pustaka) Batak berupa teks asli atau naskah tua dari budaya Batak tidak akan lagi dipahami oleh generasi mendatang, sebagaimana eksistensi sastra Batak pada masa berabad-abad silam.
Hal itu dibenarkan rekan-rekan Manguji dari sesama sastrawan Batak, antara lain John Fawer Siahaan, Nestor Rico Tambunan, Imran Sahat Barita Lumbantoruan, Rose Lumbantoruan, Pardomuan Malau dan lainnya dari kalangan mahasiswa peduli sastra dan budaya Batak dari sejumlah kampus PTS-PTN di daerah ini. Mereka selama ini aktif dalam kegiatan sehari-hari di berbagai komunitas terkait seperti komunitas musik Batak, grup sanggar tari dan lagu Batak, penulis buku berbahasa Batak, penyelenggara even-even budaya Batak, pemasar kain tenun 'ulos', dan sebagainya.
Sembari mempersiapkan konsep dan program untuk menentukan langkah dan upaya penarikan berkas dan naskah asli aksara Batak kuno di luar negeri itu kembali ke Indonesia, Manguji menegaskan pentingnya tahapan jangka pendek untuk pemasyarakatan aksara Batak itu di daerah-daerah.
Salah satu bentuk atau caranya adalah menggelar sosialisasi berupa lomba penulisan aksara Batak antar-pelajar di kalangan SD atau SMP kawasan Danau Toba (Tapanuli) seperti yang terlaksana di Humbang Hasundutan pada 31 Agustus 2016 lalu di kompleks perkantoran Tanotubu Dolok Sanggul.
Selain untuk menanamkan serta menumbuhkan kepedulian di kalangan generasi muda Batak, Manguji Nababan yang dijuluki 'Si Torsa Hombung' itu juga mewanti-wanti 'nasib' dari 500 hingga 600-an berkas naskah Batak kuno yang ada di Jerman saat ini, dan ribuan berkas lainnya yang ada di Belanda, Austria dan Inggris .
Masa puncak penulisan aksara Batak ini, menurut Manguji selaku peneliti, terjadi ketika ahli bahasa dari Belanda, Neubronner van der Tuuk, meminta orang-orang Batak di Tapanuli Utara (Silindung) menulis cerita-cerita kuno di kalangan rakyat Batak berupa mitos atau legenda bahkan sejarah marga dan kampung-kampung (huta) setempat pada tahun 1850-an. Pada tahun 1857, Van der Tuuk kembali ke Belanda dengan memboyong 100-an pustaha Batak, dan 20 berkas karangan yang masing-masing terdiri dari 300 lembar naskah beraksara Batak.
Akankah kita biarkan naskah-naskah asli Batak kuno itu dimiliki orang lain di luar negeri sana? Di sana, semua itu hanya jadi pajangan, sementara di sini, di negeri asalnya, itu dibutuhkan untuk riset pelestarian dan pengembangan pustaka aksara Batak, khususnya di kalangan generasi muda, kendati untuk kalangan senioren dan para tetua, itu tetap perlu dan penting.
Lalu, sembari menunggu dan gerakan yang digagasi Manguji dan para rekannya untuk pemulihan eksistensi dan kelestarian aksara Batak sebagai bagian dari profil sastra budaya Batak, mari uji diri kita masing-masing dengan mempelajari kalimat dengan aksara Batak. (A04/l)