Medan (SIB)- Seorang korban penggusuran
proyek Jalan Tol Medan- Binjai, Alimin Sagala, penduduk Jalan Orde Baru,
Desa Mulyorejo, Kecamatan Sunggal, Deliserdang, melalui kuasa hukumnya H
Hamdani Harahap SH, MH dari kantor Biro Hukum Citra Keadilan Jalan
Sutomo Medan, memohon Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI agar mengaudit
total keuangan dan kinerja Kementerian PUPR sebagai Pengguna Anggaran
(PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Proyek Jalan Tol Medan-Binjai terkait pembebasan tanah dan pembayaran
ganti kerugian tanah/bangunan milik warga.
Permintaan audit itu
dimohonkan karena, Kementerian PUPR dinilai tidak transparan dan
diskriminatif serta melanggar mekanisme dan substansi hukum, sebagai
mana diatur dalam UU No.2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum (PTBPUKU) dan peraturan terkait
lainnya. Hal itu dapat dibuktikan dengan apa yang dialami kliennya,
dimana panitia tidak memperhitungkan dan tidak membayar ganti kerugian,
teras, kedai sampah dan ganti kerugian prospek usaha kliennya,
sebagaimana mestinya. Demikian pula besaran ganti kerugian tanah di
sekitar kediaman Alimin. Pemilik tanah/bangunan yang diduga bersedia
memberi upeti kepada oknum, akan lebih besar bayarannya daripada yang
diterima kliennya yang tidak mau berkolusi, hanya dibayar Rp 2.408.333/
meter persegi.
Menurut Alimin, yang datang menemui SIB, Jumat
(2/3), dalam surat yang dilayangkan melalui kuasa hukumnya Hamdani
Harahap, Selasa (27/2) lalu, pembayaran ganti rugi di Desa Mulyorejo
berbeda dengan yang terjadi di segmen lain Proyek Tol Medan- Binjai
tersebut. Seperti di kawasan Tajung Gusta, Kecamatan Sunggal Deliserdang
panitia justru membayar ganti rugi warung, teras, selasar, sumur bor,
PDAM, sumur galian, septik tank dan harga prospek usaha milik warga.
Sedangkan di Jalan KL Yossudarso KM 8 Kelurahan Tanjung Mulia Medan Deli
tanah masyarakat dihargai Rp 4.600.000/ meter persegi. Perbedaan sistem
pembayaran dan harga ini mengesankan terjadinya diskriminasi.
Dikatakan,
sesuai undang-undang, tanah dan bangunan teras, kedai sampah dan
lainnya telah ditetapkan untuk diganti rugi. Namun faktanya, yang
diperhitungkan dan dibayarkan Satuan Kerja Pengadaan Tanah Jalan Tol
Wilayah I Jalan Tol Medan-Binjai melalui PPK Jalan Tol Medan-Binjai
kepada Alimin, hanyalah tanah dan bangunan induk saja, itupun tidak
diumumkan di kantor desa, sebagai mana diatur dalam Pasal 34 UU No.2
Tahun 2012 Tentang PTBPUKU sehingga terkesan tidak transparan atau
tertutup, dan membuat sesama warga yang tanahnya terkena proyek jalan
tol tidak saling mengetahui harga yang diterima masing-masing.
Menurut
Hamdani, sesuai dengan perhitungan kliennya, harga yang seharusnya
dibayarkan pemerintah kepada kliennya untuk seluruh item yang terdampak
proyek mencapai Rp 958.992.000. Namun, yang dihitung Kantor Jasa Penilai
Publik yang ditunjuk pemerintah hanya Rp 497.700.000 untuk nilai tanah
dan bangunan saja. Menurut Hamdani, penetapan itu tidak adil bila
dibandingkan dengan penetapan di sektor lain pada proyek yang sama yakni
Jalan Tol Medan-Binjai. Karena itu pihaknya memohon agar BPK mengaudit
total keuangan dan kinerja perangkat Kementerian PUPR yang menangani
Proyek Jalan Tol Medan-Binjai.
Sudah Sesuai Perhitungan
Sementara
itu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Jalan Tol Medan-Binjai Pairin
Sitompul, yang dimintai konfirmasi, Kamis (8/3) membantah ada
diskriminasi dalam pembayaran ganti kerugian tanah dan bangunan milik
warga yang terdampak proyek. Perhitungan atas besaran ganti kerugian itu
dilakukan oleh tim appraisal bekerjasama dengan instansi terkait,
seperti BPN, Dinas Pertanian, PUPR, Pemukiman dan instansi lainnya."
Jadi perhitungannya sudah menyeluruh dan tidak mungkin pemerintah
merugikan rakyatnya," kata Sitompul.
Terkait dengan ganti
kerugian tanah dan bangunan milik Alimin Sagala, Sitompul menyebutkan
sebenarnya tidak ada persoalan lagi. Sebab yang bersangkutan telah
mengambil ganti rugi tanah, bangunan dan kedai sampahnya sebesar Rp
497.700.000,-." Kami tidak mungkin mengambil atau menerima sesuatu dari
proses pembayaran ganti rugi itu, sebab pembayaran dilakukan Kementerian
langung ke rekening tabungan masing-masing warga. Kemudian, dalam
proses ini tugas kami hanya membayarkan, sedangkan yang menentukan
besaran harga ganti rugi adalah tim yang terdiri dari berbagai instansi.
Soal ada tuntutan lain dari yang bersangkutan silakan saja. Tapi perlu
diketahui bahwa pembayaran itu sudah menghitung dan mempertimbangkan
segala aspek yang terkait dengan dampak pembebasan lahan untuk proyek
tersebut," kata Pairin.
Perlu diketahui, penyelesaian proyek
Jalan Tol Medan-Binjai, khususnya jalan menuju pintu tol Jalan Binjai KM
12,5 di Jalan Orde Baru, Desa Mulyorejo kini terkendala, karena
sebagian bangunan rumah milik Alimin Sagala belum bisa dibongkar sebab
yang bersangkutan membawa kasus itu ke Pengadilan Negeri Lubukpakam
melalui gugatan perdata. (R14/d)